Pengaruh Mansa Musa Orang Terkaya Sepanjang Masa dalam Penyebaran Islam di Afrika Barat

Pengaruh Mansa Musa Orang Terkaya Sepanjang Masa dalam Penyebaran Islam di Afrika Barat
Mansa Musa orang terkaya sepanjang masa. Foto/Ilustrasi: Ist
Kisah Mansa Musa orang terkaya sepanjang masa bertalian dengan penyebaran Islam di Afrika Barat . Di wilayah ini dianggap identik dengan kemajuan. Lalu, bagaimana sejatinya penyebaran Islam di Afrika Barat pada waktu itu?

Islam masuk ke Benua Afrika sejak tahun 660, yakni di Afrika Utara. Melalui Bagian selatan Sahara, yang menjadi batas antara Afrika Barat dan Afrika Utara, Islam sudah dikenal dari sejak abad ke-8 melalui kontak dengan pedagang dari utara.

Sylviane A. Diouf dalam buku "Servants of Allah: African Muslims Enslaved in the Americas (New York University Press, 2013), mengatakan Islam, yakni mazhab Sunni, mulai menyebar setelah dua penguasa di Afrika Barat, yakni War Diaby dan Kosoy pada abad ke-11 memutuskan untuk memeluk agama Islam.

War Diaby (atau War Jabi) adalah raja Kerajaan Takrur (sekarang berada di Senegal Utara) yang setelah memeluk Islam menerapkan hukum Islam atau syariat di kerajaannya. Dengan demikian, Takrur menjadi kerajaan pertama di Afrika Barat yang menjadi negara Islam.

Sedangkan Kosoy (atau Za Kusoy), adalah raja pertama dari kerajaan tua, Songhay (sekarang berada di Mali dan Sudah Barat), yang memutuskan masuk Islam. Di bawah kepemimpinannya, dia menjadikan kerajaan kecil di Gao menjadi negara Islam. Pada masa kekuasaannya, Kosoy berhasil menarik para pedagang dari Afrika Utara untuk mendatangi kerajaannya.

Dalam waktu lima puluh tahun sejak itu, Islam kemudian berkembang lebih jauh mulai dari tepi Sungai Senegal di barat hingga ke pantai Danau Chad di timur. Kemudian pada abad ke-14, para pedagang dan ulama dari Mali mulai memperkenalkan Islam ke Nigeria Utara – di sana para Muslim dikenal dengan sebutan MalĂ©, atau orang-orang yang datang dari Mali.

Berbeda dengan kedatangannya di Afrika Utara, yakni Islam dibawa oleh orang-orang Arab dengan cara ekspansi militer, penyebaran Islam di sub-Sahara Afrika kebanyakan terjadi dengan cara-cara yang damai dan tidak menarik perhatian. Perang agama atau jihad di Afrika Barat, baru terjadi belakangan, yakni pada abad ke-18 dan terutama pada ke-19.

Para penyebar agama Islam di Afrika Barat adalah penduduk asli, yaitu para pedagang pribumi, ulama, dan penguasa, dan oleh karenanya orang-orang yang belum masuk Islam pun beranggapan bahwa Islam secara sosial dan kultural dekat dengan mereka.

Selain itu, mereka juga menganggap bahwa budaya dan adat tradisional Afrika seperti kurban hewan, sunat, poligami, doa bersama, ramalan-ramalan orang suci, dan pembuatan talisman, juga ada di dalam agama Islam.

Kedekatan-kedekatan semacam itu, dan juga toleransi Islam terhadap ritual-ritual dan kepercayaan tradisional, pada akhirnya mempermudah penyebaran Islam. Sehingga banyak orang Afrika sendiri yang menganggap bahwa Islam sejatinya adalah agama orang-orang Afrika.

Identik dengan Kemajuan
Islam dan Muslim dengan cepat kemudian menjadi bagian integral dari lanskap Afrika Barat, tetapi Islam pada waktu itu bukanlah agama mayoritas, namun para pengikutnya hidup berdampingan dengan non-Muslim. Seperti halnya agama apa pun, Islam di Afrika juga memiliki beragam pengikut – moderat, fundamentalis, sekadar identitas, dan kaum sufi mistik.

Hal lainnya yang juga mendorong penyebaran Islam secara lebih cepat adalah karena Islam dianggap identik dengan kemajuan dan peradaban yang lebih besar. Para Muslim Afrika Barat memiliki ikatan ekonomi, agama, dan budaya ke dunia yang lebih luas dan langsung, yakni dengan Maghrib, Mesir, dan Timur Tengah.

Kerajaan-kerajaan Muslim seperti Kanem dan Mali telah menjalin hubungan diplomatik dengan Maroko, Tunisia, Mesir, dan Aljazair. Para peziarah dalam perjalanannya ke Makkah akan singgah di Mesir. Sultan Kanem, Mai Dunama Dibbalemi (berkuasa sekitar 1221 – 1259), membangun sebuah sekolah di Kairo untuk rakyatnya yang belajar di sana.

Mansa Musa dari Mali, dalam perjalanan hajinya ke Mekkah pada tahun 1324, menghabiskan begitu banyak emas sehingga dia seorang diri dapat membuat pasar emas goyang. Sekembalinya dari sana dia membawa para ahli hukum dan para sayyid, yakni keturunan Nabi Muhammad. Selain itu dia juga membawa arsitek Muslim asal Spanyol dan mengirim banyak pelajar ke Afrika Utara.

Pada waktu itu terjadi pertukaran ahli tafsir, cendekiawan, ahli hukum, dan ahli ilmu kalam yang terus-menerus antara sub-Sahara Afrika, Maghrib, dan Timur Tengah. Selain itu, dapat dipastikan hampir semua Muslim dapat membaca, karena dalam sholat dan membaca Al-Quran, orang-orang Islam harus dapat menguasai bahasa Arab.

Perkembangan lebih jauhnya adalah, para komunitas Muslim mendirikan sekolah-sekolah dan Madrasah. Bukan hanya para orang tua Muslim, orang tua non-Muslim pun mengirimkan anak-anaknya untuk belajar kepada marabout (guru atau ulama), karena mereka menyadari tentang betapa bermanfaatnya ilmu yang akan mereka dapat.

Masuk ke abad 15, Islam di Afrika Barat secara perlahan mulai dikaitkan dengan tarekat sufi. Para pemimpin sufi menawarkan jalan mistik kepada Muslim secara lebih pribadi, lebih langsung, dan lebih “manusiawi”, ketimbang dengan cara-cara yang ditawarkan oleh para intelektual dan ulama fikih yang kaku, sehingga mereka menjadi lebih diminati.

Tarekat sufi yang paling besar di Afrika Barat hingga pertengahan abad ke-19 adalah Tarekat Qadiriyah, sebuah tarekat yang didirikan oleh Abdul Qadir al-Jailani di Baghdad pada tahun 1078 hingga 1166. Jejak-jejak tarekat tersebut bahkan masih dapat teridentifikasi hingga hari ini.

Mansa Musa Orang Terkaya
Sekadar mengingatkan Mansa Musa adalah orang terkaya sepanjang masa dengan pundi-pundi senilai USD400 miliar atau Rp5.897 triliun.

Eamonn Gearon, dalam bukunya Turning Points in Middle Eastern History, menyatakan Mansa Musa tidak hanya kaya, lebih dari itu, ada masa ketika nama dan legendanya demikian kuat hingga mampu mempertemukan Eropa di Era Penemuan dengan kawasan Muslim di Utara dan Barat Afrika.

Kerajaan Mansa Musa termasuk Ghana, Timbuktu, dan Mali menghasilkan setengah dari garam dan emas di dunia pada waktu itu. Ketika dia pergi haji ke Mekkah, dia memberikan begitu banyak emas sehingga harga emas turun di seluruh dunia. Meskipun sudah lebih dari 700 tahun sejak dia berjalan di bumi ini, beberapa monumen peninggalannya masih berdiri.

William Desborough Cooley dalam bukunya berjudul The Negroland of the Arabs Examined and Explained menyebutkan salah seorang anggota Klan Dinasti Keita, yang bernama Mansa Musa I (Penguasa Kerajaan Mali, lahir tahun 1280an), dikenal sebagai raja yang sangat dermawan dan sangat kaya raya.

Pada tahun 1324, Mansa Musa melakukan perjalanan haji dengan jarak tempuh 4800 km. Satu laporan mengatakan jumlah total kafilah Mansa Musa menuju ke Tanah Suci adalah 60.000 orang, termasuk 12.000 budak, yang masing-masing membawa empat pon emas (1,8 Kg) emas, di samping perbekalan lainnya.

Terdapat pula sekitar 80 unta yang berfungsi khusus untuk membawa emas. Eamonn Gearon memperkirakan, emas yang dibawa unta-unta ini sekitar 300 pound (136 Kg) per hewan, atau bila ditotalkan sama dengan 24 ton emas.


Jessica Smith dalam TED-Ed Original Leason, menyatakan tidak ada yang melakukan perjalanan dengan anggaran seperti Mansa Musa. Dia membawa kafilah yang membentang sejauh mata memandang.

Riwayat menggambarkan rombongan puluhan ribu tentara, warga sipil dan budak, 500 petarung membawa emas dan berpakaian dengan sutra halus, serta banyak unta dan kuda yang mengangkut banyak batangan emas.

Perjalanan yang ditempuh oleh kafilah Mansa Musa diperkirakan lebih dari 4800 km, melewati Gurun Sahara yang merupakan gurun panas terbesar di dunia.

Gurun Sahara adalah jalur yang paling populer di benua ini, dan sudah digunakan sekitar 6000 tahun yang lalu. Jalur ini merupakan urat nadi ekonomi benua Afrika yang menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lainnya, seperti Jalur Sutra di Asia.

(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: