Imam Syafi'i Tumbuh dalam Pelukan Ibu yang Mencintai Al-Qur'an

Imam Syafii Tumbuh dalam Pelukan Ibu yang Mencintai Al-Quran
Jika di hati seorang Ibu sudah tertancap Al-Quran maka anaknya akan tumbuh dalam perlindungan, penjagaan, dan pendidikan dari Allah Subhanahu wa Taala, inilah yang tumbuh di dalam diri Imam Syafii Rahimahullah. Foto ilustrasi/ist
Seorang ibu yang sangat mencintai Al-Qur'an akan memberi dampak luar biasa kepada anaknya. Jika di hati seorang Ibu sudah tertancap Al-Qur'an maka anaknya akan tumbuh dalam perlindungan, penjagaan, dan pendidikan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Inilah yang ditunjukkan oleh ibunda Imam Syafi'i Rahimahullah , imamnya para imam kaum muslimin. Dalam didikan ibunya, Imam Syafi'i tumbuh dan terkenal dengan kecerdasan dan kekuatan hafalannya semenjak kecil.

Ibunya sangat paham bahwa anaknya harus tumbuh dalam lingkungan yang mencintai Al-Quran, harus menimba ilmu dari paara ulama. Imam Syafi’i kecil giat menghafal Al Qur’an dan hadis serta mempelajari berbagai disiplin ilmu yang tak terlepas dari motivasi ibunda. Sang ibu telah menanamkan sejak dini bahwa Syafi’i adalah hamba Allah yang istimewa. Ia bukan orang biasa. Ia akan tumbuh menjadi ulama. Doa menjadi senjata ibunya agar Allah Ta'ala selalu membimbing sang putra.

Dalam Manhaj al-Imam asy-Syafi'i Rahimahullah Ta'ala fii Itsbaat al-'Aqidah yang didudun oleh Syaikh Muhammad bin A.W. Al-'Aqil, disebutkan bahwa Imam Syafi'i adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saa’ib bin Ubaid bin Abd bin Yazid bin Hasyim bin al-Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib, Abu Abdillah al-Quraisy asy-Syafi'i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah Shallalahu 'Alaihi wa Sallam dan putra Pamannya.

Al-Muthalib adalah saudara Hasyim, ayah dari Abdul Muthalib. Kakek Rasulullah Shallalahu 'Alaihi wa Sallam dan kakek Imam Syafi'i berkumpul atau bertemu nasabnya pada Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga. Kitab Manhaj al-Imam asy-Syafi'i Rahimahullah Ta'ala fii Itsbaat al-'Aqidah tersebut menukil Imam Nawawi Rahimahullah yang berkata, Imam Syafi'i adalah Quraisy (berasal dari suku Quraisy) dan Muthalibi (keluarga besar Muthalib), yakni beradasarkan ijma' (kesepakatan) para ahli riwayat dai semua golongan, sedangkan Ibunya berasal dari suku Azdiyah.

Beliau Imam Syafi'i lahir di Gazza yaitu sebuah kota yang letaknya berada ditengah-tengah negeri Syam dari arah Mesir dan selatan Palestina, pada tahun 150 H tepatnya pada bulan Rajab yang bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah Rahimahullah. Ini adalah riwayat yang populer. Sadangkan ada riwayat yang menyebutkan beliau lahir di Kota Asqalan, sedangkan pendapat lain mengatakan beliau lahir di Yaman.

Sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Ubaidillah Azdiyah, yang masih ada jalur keluarga Rasulullah Shallalhu 'Alaihi wa Sallam dari jalur Ubaidillah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Fatimah adalah sosok yang taat, penyabar, ahli ibadah, mencintai Al-Qur'an, dan senang akan keilmuan (senang pada ulama). Suaminya, Idris bin Abbas wafat di Gaza, saat anak beliau berusia 2 tahun. Fatimah pun terpaksa harus membesarkan Imam Syafi’i sendirian, tanpa harta warisan dan serba kekurangan. Oleh karena itu, berkumpullah pada diri Imam Syafi'i kondisi kefakiran, keyatiman, dan keterasingan dari keluarga besar.

Kondisi serba kekurangan itu tidak membuat perjuangan Ibu Imam Syafi'i berhenti dan putus asa. Beliau selalu memberikan yang terbaik untuk putranya. Ibunya berharap anaknya kelak menjadi seorang yang faqih ilmu agama dan ilmunya bermanfaat bagi semua orang. Untuk mewujudkan cita-cita itu, akhirnya Ibunda Imam Syafi'i memilih kota Mekah al Mukaramah suci Syafi’i kecil bisa bertemu dengan keluarga besarnya dari Suku Quraisy.

Imam Syafi’i diarahkan agar belajar bahasa Arab langsung dari Suku Hudzail yang terkenal akan kefasihannya berbahasa Arab. Di Mekah beliau belajar Al Qur’an dan berhasil menghafalkannya di usia 7 tahun dengan fasih dan mutqin. Imam Syafi’i juga pernah mengkhatamkan hafalan Qur’annya sebanyak 16 kali saat melakukan perjalanan dari Mekkah ke Madinah. Setahun kemudian kitab Al-Muwatha’ karya Imam Malik dngan 1720 hadits pilihan, juga sudah diselesaikan beliau dengan sempurna.

Imam Syafi'i menceritakan soal dirinya tentang didikan ibundanya, "Aku hidup sebagai yatim di dalam asuhan ibuku. Ibuku tidak mampu membayar guru ngajiku. Tapi guruku ridho dan senang kepadaku. Guruku bahkan memintaku sebagai penggantinya (untuk mengajari teman-temanku)."

Dalam kesempatan lain, beliau juga bercerita, “Aku berada bersama para pencatat kitab, disana aku mendengar ustad sedang mengajari ayat al-Qur’an pada anak-anak kecil, maka aku langsung dapat menghafalnya. Dan sebelum ustad tadi selesai mendikte ayat pada mereka aku telah menghafal semua yang di diktekan tadi. Pada suatu hari beliau berkata padaku, “Tidak halal bagiku untuk menghalangimu sedikitpun”.

Begitulah jasa besar Ibunda Imam Syafi'i yang merawat dan mendidik putranya dalam bingkai Al-Qur'an dan Sunnah. Ketika Imam Syafi'i akan menuntut ilmu, Ibunya berdoa: “Ya Allah, Rabb yang menguasai seluruh alam. Anakkku ini berjalan menuntut ilmu demi mencari ridha-Mu. Hamba memohon kepadaMu ya Allah… mudahkanlah urusannya. Lindungilah ia, panjangkanlah umurnya agar aku bisa melihatnya nanti ketika ia pulang dengan dada yang penuh dengan ilmu-Mu.” Apa yang dilakukan ibunda Imam Syafi’i patut menjadi contoh bagi setiap ibu muslimah. Ia senantiasa mendoakan buah hatinya, terutama di sepertiga malam yang gulita. Saat doa tiada penghalang. Saat seorang hamba begitu dekat dengan Tuhannya.

Doa itu rutin dipanjatkan. Namun ketika momen-momen tertentu, intensitasnya ditingkatkan. Kekusyu’annya ditambah, dengan segenap harap kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Doa ibunya diijabah oleh Allah. Doa seorang ibu yang berdoa demi anaknya agar memahami ilmu agama dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Imam Syafi'i kemudian dikenal sebabgi imamnya para kaum muslimin di seluruh dunia.

Imam Syafi’i adalah seorang ahli ibadah serta zuhud pada dunia. Imam Syafi’i mencukupkan malamnya dengan ilmu dan ibadah. Sepertiga malam untuk menulis, sepertiganya lagi untuk sholat, dan sepertiga yang terakhir untuk digunakan tidur. Beliau biasa menghatamkan al-Qur’an pada bulan Ramadhan sebanyak enam puluh kali dengan khatam tiga puluh kali setiap bulannya.

Ucapan beliau yang terkenal adalah, “Ilmu itu adalah yang bermanfaat bukanlah ilmu itu yang hanya sekedar dihafal”. Beliau juga mengatakan, “Belum pernah aku merasakan kenyang semenjak sepuluh tahun yang lalu kecuali sekali, itupun aku muntahkan dengan cara memasukan jari kedalam tenggorokan. Karena rasa kenyang membikin badan menjadi malas dan membuat hati keras, serta menghilangkan kecerdasan, membawa rasa kantuk dan membuat malas beribadah”.

Di antara para guru Imam Syafi'i adalah Imam Hujjatul Islam Imam Sufyan bin Uyainah Rahimahuulah, Abdurrahman bin Abu Bakar bin Abdullah Rahimahullah, Ismail bin Abdullah, Muslim bin Khalid as-Zanji, Malik bin Anas bin Amr bin Ash Rahimahullah, Andul Aziz bin Muhammad, Ibrahim bin Sa'ad, Muhammad bin Ismail bin Abu Furdaik, Hisyam bin Yusuf, Waki' bin Jarrah, dan masih banyak lagi selainnya. Kini, berkat didikan Ibunya, Imam Syafi'i ditakdirkan oleh Allah Ta'ala menjadi imam dunia yang fatwa-fatwanya menjadi panutan umat Islam di seluruh dunia.

Wallahu A'lam
(widWidaningsih

No comments: