Lawan Pendapat adalah Kawan Berpikir

KH. Wabah Hasbullah (NU) - A. Hassan (Persis)

Setajam apapun perbedaan bisa diselesaikan dengan, bisa diselesaikan dengan cara bermartabat melalui diskusi hingga debat, hal ini yang pernah terjadi antara NU dan Persis, tapi jaman dulu

SAAT membuka perpustakaan pribadi, penulis menemukan data menarik pada tahun 30-an terkait cara umat Islam menghadapi perbedaan dalam internal mereka. Misalnya, perbedaan paham antara kaum Islam tradisionalis dan modern.

Telah maklum bahwa Persatuan Islam (Persis), sejak berdirinya pada 1923 konsisten dalam ajakan kembali kepada Al-Qur’an  dan As-Sunnah, serta pemurnian akidah dan ibadah dari bid’ah, khurafat dan takhayyul, yang umumnya dipengaruhi corak yang dibawa muslim modernis.

Dalam dakwahnya, Persis dengan gaya blak-blakan dan apa adanya, kerap kali mengkritisi amalan yang waktu itu disebut “kaum tua” (tradisionalis) yang menjadi mayoritas di nusantara. Namun menariknya, apakah perbedaan pendapat ini melahirkan persekusi dan cara-cara kekerasan atas nama mayoritas, yang kala itu yang lebih dominan adalah kalangan tradisionalis?

Rupanya tidak. Mereka memang berbeda pendapat, tapi diselesaikan dengan cara bermartabat. Tidak adu kekuatan, tapi kebijaksanaan.

Dalam majalah Al-Lisan (yang dipimpin oleh A. Hassan), nomer extra bertajuk “Debat Taqlied” tahun 1935. Di dalamnya ada informasi tentang perdebatan antara Persis yang diwakili oleh A. Hassan dengan NU yang diwakili oleh KH. Wahab Hasbullah. Acaranya sangat tertib, tidak ada kekerasan dan perbedaan diselesaikan dengan cara bermartabat melalui debat ilmiah, bukan dengan bulliyan dan kekerasan.

***

Pada tanggal 15 November 1935, bakda shalat Jumat, Persis mendapat informasi bahwa di Bandung tanggal 17 dan 18 November NU akan mengadakan semacam pengajian di masjid Besar Bandung. Temanya waktu itu di antaranya adalah taklid. Tepanya “Wajib Taqlied kepada Ulama”. Jargonnya “Boleh dengar, tak boleh debat!”

Mendengar informasi ini, pihak Persis melayangkan surat kepada NU cabang Bandung. Intinya, jika tidak diberi kesempatan untuk bertanya atau diskusi di masjid itu, di mana KH. Wahab Hasbullah menjadi pembicara, maka Persis mengundang KH. Wahab untuk datang ke masjid Persis menguraikan masalah wajibnya taklid. Kalau tidak bisa, maka Persis meminta diberikan kesempatan menyampaikan pandangannya tentang keharaman taklid di markas NU Bandung atau tempat yang dipilih mereka.

Surat itu dipungkasi dengan kalimat berikut;

“Sekali lagi kami oelangkan, bahwa lantaran mas-alah ini sangat penting, harap ketoea-ketoea Nahdlatoel-Oelama jang soeka membela kebenaran, akan datang ke tempat kami atau soeka terima kedatangan kami di tempat toean-toean boeat bertoekar fikiran.” (Selesai Nukilan)

***

Persis pun kemudian menyebarkan selebaran dalam surat kabar berjudul “Wajibkah Taklid?” sebagai antisipasi kalau pihak NU tidak mau berdiskusi. Karena menurut informasi yang didapat Persis,  Tuan Sa’id Hassan Wiratama (penanggung jawab NU Bandung) berkata, “Pertemoean itoe pertjoema sahadja, tidak akan ada hasilnja; lantaran itoe, saja rasa tidak akan djadi.” Rupanya, cabang NU Bandung awalnya pesimis dengan pertemuan ini.

Pada hari Senin jam 09.00 pagi (18 November 1935), akhirnya Persis mendapat balasan dari NU Bandung. Intinya, permintaan pihak Persis untuk diskusi bahkan debat dikabulkan pada pada malam Selasa (tanggal 18 ke 19) di Clubhuis Nahdlatoel-Oelama di Kopoweg. Pembicaraan akan dimulai pada jam 08.00 bakda Isya. Yang diperkenankan hadir dari pihak Persis hanya 6 orang, dan yang diberi kesempatan berbicara hanya satu.

Untuk mempersiapkan pertemuan ini, Persis hanya punya waktu 11 jam. Yang boleh ikut serta hanya 6 orang, dan satu saja yang boleh mewakili berbicara di hadapan mayoritas jamaah NU. Waktu jam 07.30 malam, Persis membawa 30 orang. Setelah berunding, diputuskan yang 24 orang di pekarangan, yang 6 boleh masuk dalam gedung untuk berdiskusi. Namun pada perjalanannya diskusi, rupanya orang Persis bisa masuk gedung berjumlah 40 orang untuk ikut menyimak.

Sebelum diskusi, Tuan Sa’id Hassan Wiratmana sudah mengatakan hal yang bisa menghangatkan perdebatan, “Orang-orang mesti toeroet kompoelan jang banjak orangnja seperti Nahdlatoel-‘Oelama. Kalau masoek koempoelan jang ketjil-ketjil, maka kami idak tanggoeng di achirat.”

Jam 08.30 malam, KH. Wahab Hasbullah mulai menerangkan dajjal dan kedatangan Isa di akhir zaman, kemudian ditutup dengan pembahasan wajibnya taklid kepada ulama. Khusus keterangan wajibnya taklid ini, menghabiskan waktu 1 jam setengah. Setelah itu A. Hassan dari Persis diberikan kesempatan untuk menerangkan keharaman taklid.

Acara berlangsung aman, saling menghormati perbedaan. Kemudian pada masing-masing pembicara baik dari kalangan NU dan Persis diucapkan terima kasih. Dan yang menarik adalah gambaran dari berakhirnya diskusi ini, “Masing-masing berpisah dengan tjara persaudaraan jang baik. Moedah-moedahan tjara jang begini didjadikan tjontoh boeat lain kali, disini dan di lain-lain tempat.”

***

Luar biasa bukan? Setajam apapun perbedaan NU dan Persis pada waktu itu, bisa diselesaikan dengan cara bermartabat melalui diskusi hingga debat. Bahkan diberi kesempatan untuk mengutarakan pendapat masing-masing. Ketika acara usai, tidak sampai kehilangan rasa persaudaraan. Yang NU dengan jumlahnya yang mayoritas tidak semena-mena dan menindas, yang Persis dengan jumlah minoritas tetap merasakan aman seperti di kandang sendiri dan bebas mengungkapkan pendirianya. Semua berjalan tertib dan aman.

***

Ternyata hal seperti ini masih tetap dijaga misalnya oleh generasi setelahnya. Penulis ambil contoh Natsir sebagai orang Persis yang merupakan murid A. Hassan dan Wahid Hasyim sebagai anak KH. Hasyim pendiri NU, serta Buya Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah.

Sudah jamak diketahui, persatuan umat Islam dalam satu wadah politik bernama Masyumi, rupanya tak berjalan mulus. Pada 1 Mei 1952, NU keluar dari Masyumi. Banyak desas-desus, syak-wasangka dalam menilai keluarnya NU ini. Terlebih, di level grass root.

Menurut catatan Babe Ridwan Sa’idi dalam “Zamrud Khatulistiwa” (1993: 83) hubungan tokoh NU setelah keluar dari Masyumi, dengan para tokoh yang masih di Masyumi, tak separah dugaan kebanyakan orang.

Untuk menguatkan pandangannya, beliau mengangkat satu contoh konkret. Pada hari Ahad 19 April 1953, saat Buya M. Natsir berada di rumah Buya Hamka untuk menyiapkan makalah memperingati “Malam Pujangga Iqbal”, Tiba-tiba datang berita duka.

Sahabat mereka yang sebelumnya pernah bersinergi di dalam Masyumi meninggal dunia, yaitu: KH. Wahid Hasyim.

Seketika, keduanya menghentikan aktivitasnya. Tak hanya itu, banyangan persahabatan selama bersama di Masyumi membuat mata kedua tokoh ini meleleh, berkaca-kaca. Ini sangat wajar karena ikhwan seperjuangan selama puluhan tahun itu telah pergi.

Hubungan mereka tetap terjaga, meski perbedaan menganga; interaksi mereka tetap baik, meski berlainan pandangan politik; mereka tetap saling hormat walau tidak bersama lagi dalam satu tempat.

***

Alangkah indahnya jika apa yang dilakukan Buya Hamka dan Natsir bisa diteladani. Di tengah upaya pembelahan umat Islam yang disadari atau tidak terus terjadi. Perbedaan diselesaikan dengan cara bermartabat. Bukan dengan kekerasan, persekusi, merasa paling mayoritas dan semacamnya, tapi dengan diskusi, silaturahim dan toleransi.

Tulisan ini akan penulis tutup dengan statemen Anwar Harjono, tokoh Masyumi dan DDII, “Kita tidak pernah merasa mempunyai lawan. Saya berkali-kali mengatakan bahwa saya tidak ingin mempunyai sikap siapa yang tidak setuju dengan pendapat saya, maka menjadi musuh saya. Saya tidak ingin demikian. Itu bukan sikap orang Islam. Saya punya ajakan kepada umat atau masyarakat bahwa lawan pendapat adalah kawan berfikir.” (Lukman Hakim, Utang Republik pada Islam, 2021:6).*/Mahmud Budi Setiawan

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: