Kerancuan Filosofi Islam Nusantara (2)

 Allah telah menurunkan Islam di Negeri Arab, dan Al-Quran berbahasa Arab bukan Indonesia, maka tidak sepatutnya membenturkan Indonesia dengan Islam dan Nusantara

Qosim Nurseha Dzulhadi

 PADA tulisan sebelumnya penulis sudah menyinggung tentang beberapa kerancuan isi buku Filosofi Islam Nusantara. Hanya saja, pada tulisan awal itu baru disinggung kerancuan yang ada dalam Pengantar Editornya. Pada tulisan kali ini penulis mencoba memaparkan kerancuan isi (kandungan) buku tersebut.

Tanpa catatan kaki dan catatan akhir

Sebelum mengulik lebih lanjut mengenai kandungan buku ini, perlu dicatata bahwa penulis sendiri mengalami kesulitan ketika tidak mendapati ‘catatan kaki’ (foot-note) ataupun ‘catatan akhir’ (end-note) dari buku ini. Bahkan, penulisnya juga tidak mencantumkan ‘body-note’.

Sehingga, para pembaca akan kesulitan untuk merujuk buku dan pendapat siapa yang dirujuk oleh sang penulis. Karya sekelas tesis seperti ini tentunya akan lebih baik mencantumkan ‘catatan kaki’ atau ‘catatan akhir’ karena dapat membantu dan memudahkan para pembaca dan peneliti lain dalam membaca pikiran penulisnya. 

Tidak fokus

Pada Bab I (Pendahuluan) mulai disinggung mengenai perdebatan seputar proses pembumian Islam di Nusantara.  Penulisnya menyebut satu teori bahwa Islam Nusantara adalah Islam permukaan (Islam yang dipahami dan diartikan hanya sebatas kulit luar dari ajarannya, berupa syiar, dan hiruk-pikuk seremonial yang disandingkan dengan aktivitas ibadah formal Islam); dan Islam Fansurian (proses pengislaman yang dibungkus oleh Sufisme). (Mulyadi, Filosofi Islam Nusantara, 1).

Tentu saja ini dua teori ini amat asing jika dikaitkan dengan teori masuknya Islam ke Kepulauan Melayu-Indonesia. Apalagi jika dikaitkan dengan Prof. SMN al-Attas. Penulisnya lebih tertarik menyinggung ‘Islam Nusantara’. Penulisnya tidak fokus mengawal idenya agar tetap padu dengan ide dan konsep kajian Prof. Al-Attas.

Lebih tidak fokus lagi ketika sang penulis menyatakan demikian: “Belum lama ini, sebelum argumentasi tersebut muncul setidaknya ada pengaruh dari Istana Negara Republik Indonesia yang mencoba memperkenalkan Islam bercorak Nusantara dalam bentuk lantunan ayat Al-Qur’an yang menggunakan langgam Jawa. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam Nusantara memiliki suatu sisi bangunan epistemologis tersendiri dalam menerapkan nilai-nilai Islamnya. Argumentasi tersebut memberikan pandangan bahwa corak Islam Nusantara dapat didefinisikan sebagai Islam yang dapat menyesuaikan diri dengan masyarakatnya.” (Mulyadi, Filosofi Islam Nusantara, 1).

Tentu menjadi sebuah pertanyaan: Islam yang menyesuaikan budaya lokal atau budaya lokal yang harus “di-Islamisasi-kan”?

Kasus baca Al-Qur’an denggan langgam Jawa jelas problematis. Ini bisa dilihat bagaimana respons para Qori’ internasional dan para pakar Al-Qur’an (seperti kritik KH. Muammar ZA dan Prof. Dr. Said Aqil Munawwar, dan yang lainnya). Artinya, ini bukan bagian dari Islam bukan pula bagian dari budaya. Ini hanya sensasi, bahkan cenderung merusak Islam dan budaya itu sendiri.

Pernyataan penulis Filosofi Islam Nusantara semakin menegaskan bahwa konsepsi ‘Islam Nusantara’ dalam pemikiran sang penulis bukan Islam dalam pandangan Prof. SMN al-Attas. Apalagi ketika sang penulis kemudian menekankan apa itu ‘Islam Nusantara’ dengan mengutip padangan Prof. Said Aqil Siradj yang menyatakan bahwa ‘Islam Nusantara’ adalah konsep filosofis, yang membentuk nilai, cara pandang, pola pikir dalam melihat tatanan budaya dan antropologis.

Pola Islam yang telah menyesuaikan diri dengan masyarakat Nusantara tersebut serta campuran berbagai latar belakang budaya, menyebabkan Islam yang datang mesti dapat menyesuaikan diri dengan budaya Nusantara. Hal ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa Islam Nusantara lebih bersifat lembut, sosial, serta toleran dibandingkan dengan Islam orang Arab yang terkesan keras, panas, dan jauh dari toleransi. (Mulyadi, Filosofi Islam Nusantara, 2).

Sebagaimana penulis singgung di tulisan pertama, bahwa menyatakan Islam di Arab kelas (intoleran) dan Islam di Indonesia lembut merupakan bentuk ketidakpahaman tentang hakikat Islam itu sendiri. Karena jika merujuk dakwah para Wali Songo, faktanya menyebutkan bahwa budaya Indonesia “di-Islam-kan”. Artinya, nilai-nilai budaya di Kepulauan Melayu-Indonesia harus disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. (Lihat, Atlas Wali Songo).

Maka, pernyataan bahwa Islam di Indonesia ini menyesuaikan dengan budaya adalah pernyataan yang menyesatkan. Yang benar adalah sebaliknya: Islam datang dan “mengislamkan” nilai-nilai budaya agar sesuai dengan nilai-nilai agama.*

Dosen ‘Islamic Worldview’ di STIT Ar-Raudlatul Hasanah Medan dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Aqidah dan Filsafat Islām Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: