Nabi

Di Kompleks Masjid Ibrahimi ini, terdapat makam Nabi Ibrahim Alaihissalam dan istrinya, Siti Sarah, Nabi Ishaq (Putra Nabi Ibrahim Alaihissalam) beserta istrinya yang bernama Ribka dan Nabi Ya’kub Alaihissaiam (Putra Nabi Ishaq AS) beserta istrinya bernama Leah, juga makam Nabi Yusuf Alaihissalam (Putra Nabi Yakub Alaihissalam)

Nabi disebut basyiir (penyampai berita), dan nazir, karena ia memang menyampaikan berita penting dari Allah kepada umat yang diserunya

DIKSI نبي/ (bacanya Nabii), kita kenal pertama kali dari Al Quran. Jadi diksi نبي/ Nabi adalah kata dalam bahasa ‘Arab. Yang secara bahasa diksi Nabi berasal dari kata نُبُوْءَة/ Nubuu-ah atau النبوة/ An-Nubuwah. Yang maknanya adalah manusia yang diberitahu oleh Allah tentang peristiwa dan fakta yang akan datang bersama mereka.

Secara bahasa  النبوة/ AnNubuwah berarti الارتفاع/ AlArtifaa’ – Ketinggian, atau المكان المرتفع من الأرض/ Almakaan AlMurtafa’ AlArdho – tempat yang tinggi di bumi. Akar kata النبوة/ AnNubuwah adalah النبأ/AnNabaa (berita), نبأ/ Nabaa (berita), أنباء/ Anbaa-i (berita).

Jadi Nabi maknanya adalah العلم من أعلام الأرض التي يهتدى بها (Al ‘alam min ‘alaa al ardho al latii yahtadaa bihaa). Tempat tertinggi di bumi yang darinya diangkat sebuah berita sehingga dengannya manusia mendapatkan petunjuk atau bimbingan.

Dan النبى/An-Nabi adalah ciptaan Allah yang tertinggi, karena dia dibimbing langsung oleh Allah. Dan kata النبأ/AnNabaa (berita),  نبأ/ Nabaa (berita), أنباء/ Anbaa-i (berita) merupakan derivasi dari  النبى/AnNabi.

Jadi diksi النبى/ AnNabi maknanya karena ia menubuatkan tentang Allah Yang Maha Tinggi – لأنه أنبأ عن الله. Atau bisa juga Nabi yang akar katanya berasal dari نبأ/ Nabaa artinya pembawa berita, maksudnya berita dari langit (wahyu) atau berita tentang Allah ﷻ.

 Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): Nabi/na·bi/ orang yang menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya: Muhammad ﷺ ialah — dan Rosul terakhir; kenabian/ke·na·bi·an/ n sifat (hal) Nabi; yang berkenaan dengan Nabi: mukjizat hanya diberikan Allah kepada Nabi untuk menguatkan ~ dan kerasulannya.

Kata Nabi terdiri dari:

nun ن : huruf ini memiliki makna nur/cahaya, atau pengetahuan dalam hal ini berarti pengetahuan yang berasal dari Tuhan.

ba ب : huruf ini memiliki makna suatu pintu gerbang

ya ي : huruf ini adalah huruf tambahan, memiliki makna bahwa sesuatu itu memiliki tujuan tertentu

Dari huruf-huruf pembentuknya, maka kata Nabi memiliki makna seseorang yang menjadi gerbang bagi pengetahuan dari Robb, yang mana pengetahuan tersebut memiliki sebuah tujuan khusus diturunkannya. Sedang terminologi نُبُوْءَة/ Nubuu-ah atau النبوة/ AnNubuwah maknanya adalah orang yang menginformasikan tentang masa depan yang didapatnya lewat wahyu.

Menurut bahasa ‘Arab Nabi berarti orang yang memberitakan atau penyampai berita. Yang mengacu kepada manusia pilihan Rabbul ‘Aalamiin. Yakni manusia yang tergolong tingkatan tertinggi.

Para Nabi itu dipandang demikian karena mereka diyakini memiliki keistimewaan atau kemampuan khusus, yang tidak dimiliki manusia lainnya. Keistimewaan itu adalah kemampuan khusus yang dianugerahkan Allah kepada mereka untuk memperoleh hidayah-Nya berupa agama melalui wahyu tingkat tertinggi.

Manusia yang bukan Nabi tidaklah memiliki kemampuan untuk memperoleh wahyu tingkat tertinggi itu. Mereka hanya mampu (jika mereka beriman, beramal sholih dan tekun mempertajam kesucian hati mereka) menerima jenis wahyu yang lebih rendah. Seperti: ilham, inspirasi, ide, gagasan, mimpi yang benar, kasyav dan lain-lain yang juga diterima para Nabi.

Supaya tidak timbul salah paham di kalangan masyarakat terminologi wahyu dibatasi penggunaannya oleh para ulama untuk wahyu tertinggi yang diterima khusus oleh para Nabi, sedang jenis yang lebih rendah, yang bisa diperoleh oleh manusia bukan Nabi, tidak lagi disebut wahyu. Tapi cukup disebut ilham, inspirasi, ide, gagasan, mimpi yang benar atau sebutan yang lain.

Kalangan filosof muslim dan para sufi juga ikut memperjelas dan memperkuat pandangan  bahwa para Nabi adalah manusia yang paling utama. Ibnu Sina, misalnya dari kalangan filosof muslim, menyatakan bahwa Allah menganugerahkan hanya kepada para Nabi, daya akal yang besar dan kuat serta memiliki daya suci (quwwat qudsiyyat). Dengan akal daya istimewa itu, yang mereka peroleh tanpa melalui perlatihan, mereka dapat berhubungan dengan Akal Aktif (Jibril) dan dapat menerima cahaya atau wahyu dari Allah.

Dengan ungkapan lain, Ibnu Sina pernah menyatakan bahwa manusia yang memiliki akal mustafad tanpa melalui usaha, lebih utama dan unggul dari manusia yang memperolehnya melalui usaha. Yang pertama adalah para Nabi dan yang kedua adalah para filosof.

Para Nabi dengan akal mustafad mereka itu, menerima wahyu Allah melalui Akal Aktif (Jibril), sedang para filosof memperoleh pengetahuan biasa. Karena keistimewaan jiwa atau hati para Nabi itulah, mereka dapat memperoleh wahyu Allah.

Ma’rifatuLlah yang dicari para sufi tidaklah lebih tinggi atau setara dengan ma’rifatullah yang diperoleh para Nabi melalui jalan wahyu. Sebagian ulama dan umat, karena berpegang pada hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad bahwa jumlah Nabi 120 ribu orang dan Rasul hanya 315 orang, merumuskan bahwa setiap Rasul pastilah Nabi.

Tapi tidak setiap Nabi menjadi Rosul. Rosul adalah Nabi yang ditugaskan mengajarkan atau menyampaikan wahyu yang diterima oleh Allah.

Jika Nabi itu tidak diberikan tugas demikian oleh Allah, maka ia hanya disebut Nabi saja. Sebagian ulama dan umat Islam yang lain tidak mau berpegang pada hadits di atas.

Mereka menilai hadits tidak kuat dan tidak pasti dari Nabi. Mereka cenderung para pendirian bahwa Nabi dan Rosul itu identik.

Menurut mereka Nabi itu disebut ‘Nabi’ (penyampai berita). Karena ia memang menyampaikan berita penting dari Allah kepada umat yang diserunya. Ia disebut Rosuul (duta atau utusan) karena ia memang diutus Allah untuk menyampaikan pesan-pesanNya kepada umat.

Ia disebut juga ‘basyiir’ (yang menyampaikan berita gembira) karena ia menyampaikan berita gembira bagi pengikutnya yang shalih, bahwa mereka kelak akan berbahagia di hari akhirat. Dan ia disebut pula ‘naziir’ (yang menyampaikan peringatan) karena ia juga berkewajiban mengingatkan kaumnya yang durhaka, bahwa mereka niscaya memperoleh azab yang pedih kelak. Sebagai akibat kejahatan dan kedurhakaan mereka kepada Allah.

Predikat Nabi, Rosul, Baasyiir dan Nazir itu mengaju pada satu diri, yang tugas dan posisinya dapat diperinci atau diisyaratkan dengan sejumlah nama. Oleh karena itu setiap Nabi pastilah Rosul, Baasyiir dan Nazir.

Tapi akan terasa aneh atau janggal oleh golongan kedua ini, bahwa ada manusia yang dianugerahi jiwa yang istimewa dan wahyu. Tapi dibebaskan dari tugas untuk menyampaikan kebenaran wahyu kepada orang lain.

Keistimewaan jiwa para Nabi tidak hanya berkaitan dengan menerima wahyu, tapi juga berkaitan dengan keteladan mereka dalam kepribadian bagi kaum mereka. Mereka berani teguh, cerdas, jujur, benar, terpercaya dan memiliki daya ‘ismat’ (kemampuan untuk mengendalikan dan menjaga diri, sehingga tidak terjatuh kedalam dosa).

Mereka adalah teladan terbaik dalam mengamalkan dan  menegakkan syariat Islam pada pribadi mereka dan masyarakat. Kehadiran Nabi pada setiap ummat di masa lalu dan telah berakhir pada Nabi Muhammad, merupakan manivestasi kasih sayang dan kebijaksanaan Allah kepada segenap ummat manusia.

Tujuan para Nabi hanya satu: menyembah hanya kepada Allah dan membangun peradaban Islam berdasarkan syariat yang tercantum dalam Al Quran.*/Haryono MadariEnsiklopedi Islam Indonesia. IAIN Syarif Hidayatullah (1992)

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: