Kesultanan Demak Ternyata Bukan Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Ini Fakta Sebenarnya

Kesultanan Demak Ternyata Bukan Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Ini Fakta Sebenarnya
Masjid Agung Demak, peninggalan Wali Songo. Kesultanan Demak bukan kerajaan Islam tertua di Jawa? Foto/Ilustras: INews
Buku-buku sejarah di sekolah selalu mengajarkan bahwa kerajaan Islam pertama di Jawa adalah Kesultanan Demak . Namun sejarawan KH Ng Agus Sunyoto (21 Agustus 1959 – 27 April 2021) menyebut sejatinya kerajaan Islam pertama di tanah Jawa adalah Kerajaan Lamajang Tigang Juru.

Kerajaan ini dipimpin Raja Arya Wiraraja yang bernama asli Banyak Wide. Dia beragama Islam. Di dalam Babad Pararaton, disebutkan bahwa ketika menjadi Adipati Sumenep (1269 M), ia berusia 37 tahun. Sehingga, diperkirakan ia lahir pada tahun 1232 M, dan wafat pada tahun 1316 M.

Menurut Agus Sunyoto dalam buku berjudul "Atlas Wali Songo", sebelum menjadi Raja Lamajang Tigang Juru, Arya Wiraraja mendirikan Kerajaan Sumenep.

"Kisahnya dimulai dari prasasti Mula Malurung yang bertahun 1255 M," jelas salah satu tokoh Nahdlatul 'Ulama ini. Prasasti ini dibuat oleh Sri Kertanegara atas perintah ayahnya, Maharaja Tumapel (Singasari), Sri Prabu Seminingrat Jayawisynuwardhana.

Di dalam prasasti itu, disebutkan bahwa Kerajaan Lamajang (nama lama Lumajang) merupakan Juru, bagian dari Kerajaan Tumapel, yang dirajai oleh Nararya Kirana, putri dari Sri Prabu Seminingrat Jayawisynuwarddhana.

Saudara ipar Sri Prabu Seminingrat Jayawisynuwarddhana, Nararya Kulup Kuda, diangkat sebagai raja di Madura. Sedangkan putra Sri Prabu Seminingrat Jayawisynuwarddhana, yaitu Nararya Murddhaja, yang bergelar Kertanegara, diangkat menjadi Raja Daha.

Ketika Kertanegara dinobatkan menjadi Raja Singasari pada tahun 1268 M, ia bercita-cita mempersatukan Nusantara. Putra Nararya Kirana sekaligus pewaris takhta Kerajaan Lamajang, yaitu Arya Wiraraja, mengabdi sebagai demung (Kepala Rumah Tangga Raja) di Kerajaan Singasari, suatu jabatan yang sangat dekat dengan raja.


Keturunan Arya Wiraraja—keluarga Pinatih di Bali, keluarga bupati-bupati Surabaya, dan keluarga sultan-sultan Cirebon-- meyakini bahwa Arya Wiraraja adalah seorang muslim.

Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan makamnya di situs Biting, Kutorenon, Sukadana, Lumajang. Makamnya berupa makam kuno dengan tanda-tanda bahwa ahli kubur beragama Islam.

Oleh karenanya, para keturunan Arya Wiraraja kini menziarahi makam buyutnya itu sebagaimana menziarahi makam tokoh-tokoh muslim. Namun, hal ini memerlukan penelitian kembali yang lebih mendalam untuk menemukan bukti-bukti kuat, baik arkeologis maupun filologis yang dapat memverifikasi argumen ini.

Dalam sejarahnya, Prabu Kertanegara mendepak Arya Wiraraja dari jabatan demung. Ia dinohaken (dijauhkan) menjadi adipati di Madura. Kejadian ini diperkirakan terjadi sebelum tahun 1269 M, karena pada tahun ini, Arya Wiraraja mendirikan Kerajaan Sumenep.

Tindakan ini dirasa tidak adil, mengingat Arya Wiraraja adalah keponakan Prabu Kertanegara. Ada dugaan bahwa tindakan ini diambil oleh Prabu Kertanegara lantaran Arya Wiraraja beragama Islam, sedangkan Kerajaan Singasari berbasiskan Tantrayana (agama Siwa-Buddha).

Bagi Prabu Kertanegara, agama sangatlah penting karena ia punya ambisi untuk menyatukan Nusantara dalam satu naungan agama, yaitu agama Tantrayana sekte Tantra-Bhairawa, yang ajarannya sejak semula selalu berselisih dengan pemeluk Islam. Sekte ini mempunyai ritual yang aneh, yakni mempersembahkan manusia sebagai korban di ksetra-ksetra.

Bahwa Prabu Kertanegara ingin menyatukan Nusantara dalam naungan ajaran Tantra-Bhairawa dibuktikan dengan dikirimnya arca dan prasasti pada tahun 1286 ke Kerajaan Dharmasraya di Melayu yang kala itu dipimpin oleh Sri Maharaja Srimat Tribhuanaraja Mauliwarmadewa.

Di dalam prasasti itu, Prabu Kertanegara menyebut dirinya sebagai Dewa Sri Wiswarupa Amoghapasa Lokeswara. Dalam Nagarakertagama, ditegaskan bahwa pengiriman arca dan prasasti itu dimaksudkan agar raja dan rakyat Melayu takut akan kesaktian Prabu Kertanegara.

Ketika Prabu Kertanegara menurunkan jabatan Patih Amangkubumi Pu Raganata Sang Ramapati, Tumenggung Wirakreti, dan pujangga Santasmrti menjadi weddha (pejabat tua) karena mereka menolak program penyatuan Nusantara.

Kedudukan mereka digantikan oleh pejabat-pejabat muda (yuwa) yang bukan hanya berambisi menyatukan Nusantara, melainkan juga berambisi memperkuat pengaruh sekte Tantra-Bhairawa.

Arya Wiraraja menolak hal tersebut. Hal ini berkaitan dengan posisinya sebagai Muslim yang punya kewajiban moral mencegah penyebaran sekte agama Tantrayana yang biadab itu.

Sultan Al-Gabah
Mengenai kebiadaban Tantra-Bhairawa, dicatat dalam Kitab Musarar Babon Saka ing Rum bahwa Sultan al-Gabah dari Rum (yang ditafsirkan oleh Agus Sunyoto sebagai Persia) mengirim 20.000 muslim ke Jawa, tetapi hampir seluruhnya tewas dimangsa oleh para pengikut Tantra-Bhairawa yang memiliki ritual minum darah dan memakan daging manusia.

Murka dengan berita itu, Sultan al-Gabah mengirim para ulama sakti, termasuk tokoh yang dikenal dengan sebutan Syekh Subakir, untuk menumpas pengikut Tantra-Bhairawa. Misi itu disebutkan berhasil, dan Syekh Subakir pulang ke Persia membawa kemenangan.

Menurut Agus Sunyoto, sangat mungkin orang-orang muslim Persia yang dikirim oleh Sultan al-Gabah itu berasal dari Lorestan, Persia, yang datang ke Nusantara pada abad ke-9.

Kisah utusan Sultan al-Gabah itu berkaitan dengan Tragedi Pralaya, sebagaimana dicatat oleh prasasti Pucangan (1041 M). Prasasti itu menyebutkan bahwa Aji Wurawari (disebut demikian karena ia seorang raja berkulit merah seperti bunga wurawari) dari Loram (sekarang Leran, Gresik) menyerang Kerajaan Medang yang dipimpin oleh Raja Dharmawangsa di Wwatan.

Kekuatan Aji Wurawari itu disebutkan oleh prasasti Cane (1021 M) dapat dihancurkan oleh Airlangga (Raja Kerajaan Kahuripan) yang merupakan keponakan sekaligus menantu Raja Dhamawangsa. Namun, sisa-sisa kekuatan tentara Aji Wurawari tetap menyerang sehingga Airlangga melarikan ke Desa Patakan, sebagaimana dikisahkan oleh prasasti Terep (1032 M).

Perselisihan antara orang-orang Lorestan pengikut Aji Wurawari dengan Airlangga dan keturunannya, raja-raja Janggala dan Panjalu, berkaitan dengan fakta dianutnya ajaran Tantra-Bhairawa oleh Raja Dharmawangsa dan Airlangga. Bahkan, ibu Airlangga, Mahendradatta, dikenal sebagai bhairawi (pemimpin sekte Tantra-Bhairawa).

Buku "Sejarah Lengkap Islam Jawa" karya Husnul Hakim menduga bisa jadi, Sayyidah Fatimah binti Maimun (w. 1082) merupakan tokoh orang-orang Lorestan pengikut Aji Wurawari. Di luar semua itu, demikianlah bahwa perselisihan orang-orang Islam dengan penganut Tantra Bhairawa di Nusantara sudah berlangsung berabad-abad sebelum masa kekuasaan Prabu Kertanegara.

Inilah awal dari kebencian penganut Tantra-Bhairawa terhadap umat Islam. Bahkan, dikisahkan ketika utusan Kaisar Tiongkok dari Dinasti Yuan, Kublai Khan, yaitu Meng Ki yang beragama Islam tiba di Kerajaan Singasari, ia diperlakukan secara kasar.

Utusan itu dipahat keningnya dan dihina-hina. Kemudian, ia kembali ke Tiongkok, dan peristiwa itu membuat Kaisar Kublai Khan marah sehingga kelak ia memberangkatkan tentaranya untuk menghancurkan Kerajaan Singasari tetapi, kala itu Kerajaan Singasari sudah dipimpin oleh Prabu Jayakatwang.

Demikianlah kebencian Prabu Kertanegara terhadap penganut muslim. Ia mengangkat Arya Wiraraja sebagai demung hanya karena alasan tali persaudaraan. Namun, begitu Arya Wiraraja melakukan sedikit kesalahan, ia pun dibuang jauh dari pusat kerajaan, dan ini membuat Prabu Kertanegara senang karena punya alasan untuk menyingkirkan penganut Islam dari istananya.

Prabu Kertanegara marah ketika Arya Wiraraja menolak programnya untuk menyatukan Nusantara sekaligus menguatkan pengaruh Tantra-Bhairawa. Kemarahannya itu muncul karena ia menduga bahwa penolakan Arya Wiraraja tidak murni sekadar pertimbangan politik kekuasaan, tetapi juga dikarenakan oleh persoalan agama.

(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: