Kakek Dian Sastro, Sunario Sastrowardoyo, Sang Perintis Kemerdekaan dan Pejuang Pembebasan Palestina

 

Sunario Sastrowardoyo berkiprah dalam upaya advokasi kemerdekaan Palestina saat Menlu Kabinet Ali Sastroamijoyo dan aktif  di DPR RI tahun 1950-1953, menekankan pentingnya Indonesia menjalankan politik bebas dan aktif

Pizaro

NAMA Prof. Sunario Sastrowardoyo SH tidak bisa dilepaskan dari jasanya bagi kemerdekaan Republik Indonesia dan melakukan advokasi pembebasan Palestina. Sunario adalah salah satu tokoh penting perintis kemerdekaan RI yang telah berjuang sejak menjadi mahasiswa di Belanda pada tahun 1920-an bersama Mohamamd Hatta, Sukiman, A. Monontu, dan lain sebagainya.

Sunario lahir di Madiun pada 28 Agustus 1902. Ia merupakan putra dari Sutejo Sastrowardoyo, seorang pembantu bupati yang membawahi beberapa camat. Sedangkan salah satu adiknya, Sumarsono Sastrowardoyo, adalah kakek dari pelaku seni peran Dian Sastrowardoyo.

Saat menjadi mahasiswa di Belanda, Sunario tercatat sebagai anggota Perhimpunan Indonesia (PI). Tujuan PI adalah Indonesia Merdeka dengan melalui sikap non-kooperasi terhadap penjajah Belanda.

Dalam organisasi itu, Sunario banyak terlibat dalam upaya advokasi terhada kemerdekaan. Ia pun turut merumuskan dan mencetuskan manifesto politik Perhimpunan Indonesia di Belanda.

Setelah Indonesia merdeka, Sunario Sastrowardoyo menjabat sebagai Menteri Luar Negeri sejak 1 Agustus 1953 hingga 24 Juli 1955, pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo. Selama menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, Sunario juga menjadi Kepala Delegasi Indonesia dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada 1955.

Sejak mengisisi jabatan di pemerintahan Indonesia, Sunario dikenal sebagai individu yang sangat concern dalam memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Palestina. Dalam tulisan-tulisannya, Sunario kerap menyoroti problem penjajahan zionis-’Israel’, penjajahan di Palestina, sebagai agenda prioritas kebijakan luar negeri Indonesia.

Dalam tulisannya yang berjudul Konferensi Asia-Afrika dan Masalah Timur Tengah (1978), Sunario menegaskan pada era 1950-an dunia masih terus menyaksikan merajalelanya kolonialisme dan imperialisme di Timur Tengah yang menimbulkan rasa keprihatinan bangsa Indonesia dan dunia. Hal itu, kata Sunario, terjadi karena kaum Zionis Yahudi mendeklarasikan “negara ‘Israel’” pada tahun 1948 di Palestina.

Tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) itu lalu mengkiritik kelompok Yahudi yang saat itu dibinasakan oleh Hitler sehingga harus melarikan diri dari Eropa. Tapi di sisi lain, terang Sunario, kelompok Zionis Yahudi ini “tanpa sedikitpun mempunyai perasaan perikemanusiaan” justru mengusir bangsa Palestina yang telah bermukim berabad-abad di kampung halamannya sehingga menimbulkan gelombang pengungsi hingga dua juta orang.

Bahkan, lanjut Sunario, ‘Israel’ melakukan ekspansi wilayah yang lebih Iuas lagi yakni ke Tepi Barat, Gaza, Sinai, hingga dataran tinggi Golan. “Karena fakta-fakta itu, maka Indonesia dari semula belum pernah bersedia untuk mengakui ‘Israel’ sebagai negara. Masalah Jerusalem yang diduduki ‘Israel’ jtu, adalah penting pula bagi ummat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia,” ungkap Sunario.

Sunario juga berkiprah dalam upaya advokasi kemerdekaan Palestina saat menjabat menjadi Ketua Seksi Luar Negeri DPR RI pada tahun 1950-1953. Posisi itu setara dengan Badan Kerjasama Antar Parlemen dalam struktur DPR dewasa ini.

Dalam pidato pembukaanya dalam rapat DPR, Sunario menekankan pentingnya memecehkan masalah Timur Tengah di samping problem Indo China yang saat itu tengah menghangat. Upaya itu disampaikan Sunario di muka forum anggota dewan dalam rangka menghadapi rasialisme dan agresi ‘Israel’ terhadap wilayah Palestina.

Spirit perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme itulah yang akhirnya mendorong terwujudnya Konferensi Asia Afrika apda 18-24 April 1955. Sunario yang saat itu menjadi Menlu RI mengatakan KAA 1955 di Bandung itu sangat besar manfaatnya untuk memupuk semangat anti penjajahan dan mewujudkan perdamaian dunia.

“Perhatian dunia terhadap konferensi Asia Afrika itu besar sekali baik secara negatif yang banyak berasal dari negara kolonial, maupun positif khususnya dari bangsa-bangsa Asia Afrika sendiri,” tulis Sunario.

Roeslan Abdulgani dalam The Bandung Connection (1980) mengatakan KAA 1955 akhrinya melahirkan rumusan yang menegaskan bahwa forum tersebut menyatakan sokongannya kepada hak-hak asasi bangsa Arab atas Palestina dan menyerukan dilaksanakannya resolusi-resolusi PBB mengenai Palestina dan menyerukan tercapainya penyelesaian damai dari masalah Palestina.

Dalam bukunya Politik Luar Negeri Jang Bebas (1951), Sunario menekankan pentingnya Indonesia berdiri sendiri dalam menjalankan politik bebas dan aktif. Menurut Sunario, politik bebas aktif bukanlah politik yang netral melainkan politik yang berdasarkan kepentingan rakyat untuk ikut memelihara perdamaian dunia. Bahkan, bagi Sunario, perdamaian dunia adalah wujud dari panggilan ruhaniah bangsa Indonesia.

“Kalau kita memperhatikan benar-benar kepentingan nasional kita, bukan sadja dari sudut kebendaan, melainkan lebih-lebih lagi dari sudut kerohaniaan atau dengan tegas dari sudut filsafat negara kita Pantja Sila, nampaklah dengan djelas, bahwa tudjuan terachir itu dengan sendirinja ta’ lain ialah perdamaian dunia,” ucapnya.*

Penulis adalah pengajar HI Universitas Al-Azhar Indonesia

Rep: Admin Hidcom
Editor: Insan Kamil

No comments: