Kisah Akhir Kekuasaan Yahudi di Jazirah Arab, setelah Kalah Perang dengan Muslim

Kisah Akhir Kekuasaan Yahudi di Jazirah Arab, setelah Kalah Perang dengan Muslim
Perang Khaibar akhrinya mengakhiri kekuasaan Yahudi di Jazirah Arab. Foto/Ilustrasi: Is
Pada perang Khaibar adalah pertempura antara kaum Muslim dan Yahudi di 150 kilometer dari Kota Madinah. Perang ini berlangsung sangat sengit, walau pada akhirnya dimenangkan pasukan muslim yang dipimpin langsung Rasulullah SAW .

Muhammad Husain Haekal dalam bukunya yang berjudul "Sejarah Hidup Muhammad" memaparkan pasukan muslim mesti menguasai benteng-benteng kaum Yahudi yang sangat kokoh. Pengepungan benteng Zubair, misalnya, terjadi cukup lama disertai dengan pertempuran yang sengit pula. Sungguh pun begitu mereka tidak juga berhasil menaklukkannya.

Baru setelah akhirnya saluran air ke benteng itu diputuskan, pihak Yahudi terpaksa keluar dan dengan mati-matian mereka memerangi kaum Muslimin sekalipun mereka itu akhirnya lari juga.

Dengan demikian benteng-benteng itu satu demi satu jatuh ke tangan Muslimin yang berakhir pada benteng Watih dan Sulalim dalam kelompok perbentengan Katiba, dua buah benteng terakhir yang kukuh dan kuat.

Sejak itulah perasaan putus-asa mulai merayap ke dalam hati kaum Yahudi. Mereka pun akhirnya minta damai. Semua harta-benda mereka di dalam benteng-benteng asy-Syiqq, Natat dan Katiba diserahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disita, asal nyawa mereka diselamatkan.

Permohonan ini oleh Nabi diterima. Dibiarkannya mereka itu tinggal di kampung halaman mereka, yang menurut hukum penaklukan sudah berada di bawah kekuasaannya. Mereka akan mendapat separoh hasil buah-buahan daerah itu sebagai imbalan atas tenaga kerja mereka.

Nabi Muhammad memperlakukan Yahudi Khaibar tidak sama seperti terhadap Yahudi Banu Qainuqa dan Banu Nadzir tatkala mereka dikosongkan dari kampung halaman itu; sebab dengan jatuhnya Khaibar ini beliau sudah merasa terjamin dari adanya bahaya Yahudi dan yakin pula bahwa mereka sama sekali tidak akan bisa lagi mengadakan perlawanan.

Di samping itu, di Khaibar terdapat pula beberapa perkebunan, ladang dan kebun-kebun kurma. Semua ini masih memerlukan tenaga-tenaga ahli yang cukup banyak untuk mengolahnya dan yang akan dapat pula mengurus pengolahan itu dengan cara yang sebaik-baiknya.

Kendatipun kaum muslim asal Madinah terdiri dari penduduk yang bercocok tanam, tanah mereka pun sangat pula memerlukan tenaga mereka. Mengingat, bahwa Nabi juga sangat memerlukan tentara untuk angkatan perangnya, maka beliau tidak suka membiarkan mereka semua itu bercocok tanam.

Haekal mengatakan dalam pada itu orang-orang Yahudi Khaibar tetap bekerja meskipun kekuasaan politik mereka sudah runtuh demikian rupa yang juga mempengaruhi kegiatan mereka, sehingga dari segi pertanian dan perkebunan pun cepat sekali Khaibar mengalami kemunduran dan kehancuran; padahal sudah begitu baik Nabi memperlakukan penduduk daerah itu, di samping Abdullah bin Rawaha utusan Nabi kepada mereka yang cukup adil, setiap tahun mengadakan pembagian hasil dengan mereka.

Demikian baiknya Nabi memperlakukan penduduk Yahudi Khaibar. Tatkala kaum Muslimin menyerbu mereka, dan di antara barang-barang rampasan perang itu terdapat juga ada beberapa buah kitab Taurat, ketika pihak Yahudi memintanya, maka Nabi memerintahkan supaya kitab-kitab itu diserahkan kembali kepada mereka.

Beliau tidak sampai berbuat seperti yang pernah dilakukan oleh pihak Romawi ketika menaklukkan Yerusalem. Kitab-kitab suci itu oleh mereka dibakar dan diinjak-injak dengan telapak kaki. Juga ia tidak melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh pihak Nasrani dalam perang menindas kaum Yahudi Andalusia (Spanyol). Kitab-kitab Taurat itu oleh mereka juga dibakar.

Akhir Kekuasaan Yahudi
Setelah Yahudi Khaibar minta damai --selama Muslimin mengepung mereka di perbentengan Watih dan Sulalim-- Nabi telah mengutus orang kepada penduduk Fadak dengan maksud supaya mereka mau menerima ajakannya atau menyerahkan harta-benda mereka.

Mengetahui peristiwa yang sudah terjadi di Khaibar, penduduk Fadak sudah ketakutan sekali. Persetujuan diadakan dengan menyerahkan separo harta mereka tanpa pertempuran. Kalau daerah Khaibar menjadi milik Muslimin karena mereka yang telah berjuang membebaskannya, maka Fadak untuk Nabi Muhammad karena pihak Muslimin tidak memperolehnya dengan pertempuran.

Selesai semua itu Rasulullah pun berkemas-kemas hendak kembali ke Madinah melalui Wadi'l-Qura. Akan tetapi pihak Yahudi daerah ini sudah menyiapkan diri hendak menyerang Muslimin. Dan pertempuran segera pecah. Tetapi mereka juga terpaksa menyerah dan minta damai seperti halnya dengan pihak Khaibar.

Sebaliknya golongan Yahudi Taima, mereka bersedia membayar jizya (pajak) tanpa terjadi peperangan atau pertempuran.

Dengan demikian, semua orang Yahudi tunduk kepada kekuasaan Nabi, dan berakhir pulalah semua kekuasaan mereka di seluruh jazirah. Dari jurusan utara ke Syam sekarang Nabi Muhammad sudah tidak kuatir lagi, sama halnya seperti dulu, dari jurusan selatan juga beliau sudah tidak kuatir lagi setelah adanya Perjanjian Hudaibiyah.

Dengan habisnya kekuasaan Yahudi itu, maka kebencian pihak Muslimin - terutama kaum Anshar - terhadap mereka jadi berkurang. Bahkan mereka menutup mata terhadap beberapa orang Yahudi yang kembali ke Yathribin. Bahkan Nabi berdiri bersama-sama dengan orang-orang Yahudi yang sedang berkabung terhadap kematian Abdullah bin Ubayy dan menyatakan turut berdukacita pula kepada anaknya.

Kepada Mu'adh bin Jabal pun dipesannya untuk tidak membujuk orang-orang Yahudi itu dari agama Yahudinya. Juga pajak jizya tidak dikenakan kepada orang-orang Yahudi Bahrain meskipun mereka tetap berpegang pada keyakinan agama mereka. Dengan Yahudi Banu Ghazia dan Banu 'Aridz dibuat pula persetujuan bahwa mereka akan memperoleh dhimma (perlindungan) dan kepada mereka dikenakan pula pajak.

Ringkasnya, pihak Yahudi itu sekarang tunduk kepada kekuasaan kaum Muslimin. Kedudukan mereka di negeri-negeri Arab sudah berantakan dan mereka pun terpaksa meninggalkan daerah itu.

Tadinya mereka di tempat itu sebagai golongan yang dipertuan, sampai selesai mereka itu dikeluarkan, yang menurut satu pendapat sejak semasa hidup Rasul, pendapat lain mengatakan setelah Rasul wafat.

Meracuni Nabi
Akan tetapi, menurut Haekal, tunduknya penduduk Khaibar dan golongan Yahudi lainnya di seluruh jazirah itu tidak terjadi sekaligus setelah mereka jatuh. Bahkan akibat kejatuhan mereka itu hati mereka masih penuh memikul kebencian dan dendam yang kotor sekali.

Zainab bint'l-Harith isteri Sallam bin Misykam pernah menyampaikan hadiah daging domba kepada Nabi Muhammad - setelah ia merasa aman dan setelah ada perjanjian perdamaian dengan pihak Khaibar. Ketika ia dan sahabat-sahabat sedang duduk hendak memakan daging itu, Nabi mengambil bagian kakinya dan sudah akan mulai di kunyah, tapi tidak sampai ditelannya.

Dalam pada itu Bisyr bin'l-Bara' yang duduk makan bersama-sama telah pula mengambil daging itu sekerat. Tapi Bisyr lalu menelannya sekaligus. Sedang Rasul memuntahkannya kembali seraya katanya. "Ada tanda-tanda tulang ini beracun."

Kemudian Zainab dipanggil, dan ia pun mengaku. Lalu katanya: "Tuan telah mengadakan tindakan terhadap golongan saya seperti sudah tuan ketahui." Lalu kataku: "Kalau dia seorang raja, aku sudah lega; kalau dia seorang nabi tentu dia akan diberi tahu!"

Akibat makan daging itu Bisyr kemudian meninggal dunia. Dalam hal ini ahli-ahli sejarah masih berbeda pendapat.

Tetapi sebagian besar menyatakan, bahwa Nabi telah memaafkan Zainab, dan sangat menghargai sekali alasannya mengingat malapetaka yang telah menimpa ayah dan suaminya itu. Disamping itu ada juga yang mengatakan bahwa dia pun dibunuh karena Bisyr yang telah mati diracun itu.

Sebenarnya perbuatan Zainab itu telah menimbulkan kesan yang dalam sekali di dalam hati kaum Muslimin. Peristiwa-peristiwa yang timbul sesudah Khaibar membuat mereka tidak percaya lagi kepada orang-orang Yahudi. Bahkan mereka khawatir akan segala akibat tipu muslihat yang akan dilakukan secara perseorangan, setelah secara massal mereka dapat dihancurkan.

(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: