Ibadah Haji: Haruskah Mencium Hajar Aswad dan Mengusap Rukun Yamani?

Ibadah Haji: Haruskah Mencium Hajar Aswad dan Mengusap Rukun Yamani?
Hajar Aswad: Mencium batu hitam ini karena mengikuti hal yang dilakukan Rasulullah SAW. Foto/Ilustrasi: Ist
Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Umar ra :

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ يَقْدَمُ مَكَّةَ اسْتَلَمَ الرُّكْنَ الأَسْوَدَ أَوَّلَ مَا يَطُوفُ حِينَ يَقْدَمُ يَخُبُّ ثَلاثَةَ أَطْوَافٍ مِنَ السَّبْعِ

Aku pernah melihat Rasulullah SAW ketika tiba di Mekkah jika telah mengusap Hajar Aswad , diawal ibadah thawaf , Beliau SAW mempercepat langkah pada tiga putaran (pertama) dari tujuh putaran. [Shahîh al-Bukhâri, no. 1603 dan Shahîh Muslim, no. 1261]

Lalu, Imam Muslim meriwayatkan hadis dari Jabir bin Abdullah ra, beliau mengatakan:

لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَاسْتَلَمَ الْحَجَرَ ثُمَّ مَضَى عَنْ يَمِينِهِ فَرَمَلَ ثَلاثًا وَمَشَى أَرْبَعًا

Ketika Nabi SAW tiba di Mekkah, Beliau SAW memasuki masjidil Haram lalu mengusap Hajar Aswad, kemudian Beliau SAW berlalu di arah sebelah kanan Hajar Aswad. Beliau SAW berlari kecil pada tiga putaran dan berjalan pada empat putaran …[Shahîh Muslim, 2/893]

Inilah yang menjadi pegangan kaum Muslimin dalam mencium Hajar Aswad atau mengusapnya. Mereka melakukan itu dalam rangka mengikuti Rasulullah SAW dan menjadikan Beliau sebagai suri tauladan, bukan karena meyakini bahwa Hajar Aswad bisa mendatangkan manfaat atau bisa mendatangkan celaka.

Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab ra mengatakan:

إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ

Sesugguhnya saya tahu bahwa kamu itu hanya sebongkah batu yang tidak bisa mendatangkan manfaat juga tidak bisa mendatangkan bahaya. Kalau bukan karena saya melihat Rasulullah SAW menciummu, maka saya tidak akan menciummu. [HR Al-Bukhâri dan Muslim]

Ibnu Jarir ath-Thabari sebagaimana dinukil Al-hafizh Ibnu Hajar dalam al-Fath mengatakan, Umar ra mengucapkan perkataan itu karena manusia kala itu belum lama meninggalkan peribadatan mereka terhadap berhala-berhala.

Umar orang-orang bodoh mengira bahwa mengusap Hajar Aswad merupakan bentuk pemuliaan terhadap sebagian batu, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Arab pada masa jahiliyah.

Umar bin Khattab ingin memberitahu manusia bahwa mengusap Hajar Aswad itu hanya dalam rangka mengikuti sunnah Rasulullah SAW, bukan karena batu itu bisa memberikan manfaat atau mendatangkan bahaya, sebagaimana keyakinan orang-orang Arab terhadap berhala-berhala mereka.


Rukun Yamani
Sesungguhnya yang disyari’atkan terkait Hajar Aswad itu adalah menciumnya saja atau mengusapnya dengan tangan jika tidak memungkinkan untuk menciumnya atau memberikan isyarat ke arahnya jika tidak memungkinkan melakukan dua hal di atas.

Begitu juga disyari’atkan untuk mengusap Rukun Yamani. Dalam kitab Shahih al-Bukhâri dan Shahih Muslim dari Abdullah bin Umar ra, beliau mengatakan:

لَمْ أَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُ مِنَ الْبَيْتِ إِلَّا الرُّكْنَيْنِ الْيَمَانِيَّيْنِ

Saya tidak pernah melihat Rasulullah SAW mengusap bagian dari Kakbah kecuali dua rukun yamani (yaitu Hajar Aswad dan Rukun Yamani)[Shahîh al-Bukhâri, no. 1609 dan Shahîh Muslim, no. 1269]

Berdasarkan keterangan ini diketahui bahwa tidak disyari’atkan mengusap bagian manapun dari Kakbah selain dua ini, yaitu Hajar Aswad dan Rukun Yamani.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmû’ al Fatâwa mengatakan, rukun-rukun (pojok-pojok) Kakbah tidak ada yang disyari’atkan untuk diusap kecuali dua rukun yamani. Keduanya disebut rukun yamani karena kedua pojok tersebut menghadap ke arah Yaman.

Sedangkan dua rukun syamiyain (dua rukun Kakbah yang menghadap ke arah Syam) tidak disyari’atkan untuk diusap. Nabi SAW hanya mengusap dua rukun yamani saja. Hajar Aswad diusap dan dicium, sementara Rukun Yamani hanya diusap, tidak dicium.

Adapun semua sisi Kakbah, Maqam Ibrahim as, semua yang ada di muka bumi seperti wilayah masjid dan pagarnya, kuburnya para nabi atau orang-orang shaleh, misalnya kamar Nabi Muhammad SAW, magharah Ibrahim (nama sebuah tempat di masjidil Aqsha), tempat Nabi SAW biasa melakukan sholat dan kuburan-kuburan para nabi dan orang-orang lainnya begitu juga shukhrah (batu besar yang berada di Baitul Maqdis), maka ini semua tidak boleh diusap dan cium berdasarkan kesepakatan para Ulama.

Di antara pelajaran penting yang harus diketahui oleh seorang Muslim terkait masalah ini yaitu mencium dan mengusap itu tidak disyari’atkan kecuali di tempat ini saja, yaitu di Kakbah. Tidak ada nash yang menjelaskan tentang disyari’atkannya amalan mengusap dan mencium pada selain dua tempat itu.

Setiap muslim melakukan itu dalam rangka mentaati Allah Taala dan mengikuti Rasulullah SAW, bukan karena meyakini bahwa keduanya bisa mendatangkan manfaat atau menolak bahaya.

Maqam Ibrahim
Perbuatan mencium dan mengusap juga tidak disyari’atkan pada Maqam Ibrahim yang disebutkan oleh Allah Taala:

وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِلنَّاسِ وَأَمْنًا وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى

Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat sholat. [ QS Al-Baqarah/2 :125]

Padahal kita ketahui bahwa maqam Ibrahim yang ada di Syam atau di tempat lain juga maqam-maqam para nabi lainnya derajatnya di bawah derajat maqam Ibrahim yang di Mekkah. Kaum muslimin diperintahkan untuk mendirikan sholat di sana. Meskipun demikian, tempat ini tidak disyari’atkan untuk diusap apalagi dicium karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu disyari’atkan.

“Adapun mengusap kuburan yaitu kuburan mana saja dan menciumnya atau menempelkan pipi padanya, maka itu merupakan perbuatan terlarang berdasarkan kesepakatan para Ulama kaum Muslimin, sekalipun kuburan itu merupakan kuburan para Nabi. Tidak ada seorang pun para pendahulu umat ini yang melakukan itu, tidak juga para imamnya, bahkan itu termasuk perbuatan syirik,” ujar Ibnu Tamiyah.

(mhy Miftah H. Yusufpati

No comments: