Melihat Allah Merupakan Kebahagiaan Terbesar, Begini Penjelasan Imam Ghazali

Melihat Allah Merupakan Kebahagiaan Terbesar, Begini Penjelasan Imam Ghazali
Imam al-Ghazali mengatakan agar bisa menikmati kebahagiaan sempurna, pengetahuan saja tanpa disertai cinta belumlah cukup. Foto/Ilustrasi: Ist
Imam al-Ghazali mengatakan semua muslim mengaku percaya bahwa menampak Allah adalah puncak kebahagiaan manusia, karena hal ini dinyatakan dalam syariah. Tetapi bagi banyak orang hal ini hanyalah sekadar pengakuan di bibir belaka yang tidak membangkitkan perasaan di dalam hati.

"Hal ini bersifat alami saja, karena bagaimana bisa seseorang mendambakan sesuatu yang tidak ia ketahui?" tulis Imam Al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul " Kimia Kebahagiaan ".

Imam al-Ghazali lalu menjelaskan, kenapa menampak Allah merupakan kebahagiaan terbesar yang bisa diperoleh manusia.

Pertama sekali, kata Imam al-Ghazali, semua fakultas manusia memiliki fungsinya sendiri yang ingin dipuasi. Masing-masing punya kebaikannya sendiri. Mulai dari nafsu badani yang paling rendah sampai bentuk tertinggi dari pemahaman intelektual.

Akan tetapi suatu upaya mental dalam bentuk rendahnya sekalipun masih memberikan kesenangan yang lebih besar daripada kepuasan nafsu jasmaniah.

"Jadi, jika seseorang kebetulan terserap dalam suatu permainan catur, ia tidak akan ingat makan meskipun berulang kali dipanggil. Dan makin tinggi pengetahuan kita makin besarlah kegembiraan kita akan dia. Misalnya, kita akan lebih merasa senang mengetahui rahasia-rahasia seorang raja daripada rahasia-rahasia seorang wazir," ujarnya.

Mengingat bahwa Allah adalah obyek pengetahuan yang paling tinggi, kata Imam al-Ghazali, maka pengetahuan tentangNya pasti akan memberikan kesenangan yang lebih besar ketimbang yang lain. Orang yang mengenal Allah, di dunia ini sekalipun, seakan-akan merasa telah berada di surga "yang luasnya seluas langit dan bumi"; surga yang buah-buahnya sedemikian nikmat, sehingga tak ada seorang pun yang bisa mencegahnya untuk memetiknya; dan surga yang tidak menjadi lebih sempit oleh banyaknya orang yang tinggal di dalamnya.

Akan tetapi nikmatnya pengetahuan masih jauh lebih kecil daripada nikmatnya penglihatan, persis seperti kesenangan kita di dalam melamunkan orang-orang yang kita cintai jauh lebih sedikit daripada kesenangan yang diberikan oleh penglihatan langsung akan mereka.

Menurut Imam al-Ghazali, keterpenjaraan kita di dalam jasad yang terbuat dari lempung dan air ini, dan kesibukan kita dengan ihwal inderawi, menciptakan suatu tirai yang menghalangi kita dari melihat Allah, meskipun hal itu tidak mencegah kita dari memperoleh beberapa pengetahuan tentang-Nya. Karena alasan inilah, Allah berfirman kepada Musa di Bukit Sinai: "Engkau tidak akan bisa melihat-Ku."

Hal yang sebenarnya adalah sebagai berikut. Imam al-Ghazali mengatakan sebagaimana benih manusia akan menjadi seorang manusia dan biji kurma yang ditanam akan menjadi pohon kurma, maka pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh di bumi akan menjelma menjadi penampakan Tuhan di akhirat kelak, dan orang yang tak pernah mempelajari pengetahuan itu tak akan pernah mengalami penampakan itu.

"Penampakan ini tak akan terbagi sama kepada orang-orang yang tahu, melainkan kadar kejelasannya akan beragam sesuai dengan pengetahuan mereka," tutur Imam al-Ghazali.

Tuhan itu satu, kata Imam al-Ghazali, tetapi Ia akan terlihat dalam banyak cara yang berbeda, persis sebagaimana suatu obyek tercerminkan dalam berbagai cara oleh berbagai cermin; ada yang mempertunjukkan bayangan yang lurus, ada pula yang baur, ada yang jelas dan yang lainnya kabur.

Sebuah cermin mungkin telah sedemikian rusak sehingga bisa membuat bentuk yang indah sekalipun tampak buruk, dan seseorang mungkin membawa sebuah hati yang sedemikian gelap dan kotor ke akhirat, sehingga penglihatan yang bagi orang lain merupakan sumber kebahagiaan dan kedamaian, baginya malah menjadi sumber kesedihan.

Seseorang yang di hatinya cinta terhadap Tuhan telah mengungguli yang lain akan menghirup lebih banyak kebahagiaan dari penglihatan ini dibanding orang yang di hatinya cinta itu tak sedemikian unggul; persis seperti halnya dua manusia yang sama memiliki pandangan mata yang tajam; ketika menatap sebentuk wajah yang cantik, maka orang yang telah mencintai pemilik wajah itu akan lebih berbahagia dalam menatapnya daripada orang yang tidak mencinta.

Menurut Imam al-Ghazali, agar bisa menikmati kebahagiaan sempurna, pengetahuan saja tanpa disertai cinta belumlah cukup. "Dan cinta akan Allah tak bisa memenuhi hati manusia sebelum ia disucikan dari cinta akan dunia yang hanya bisa didapatkan dengan zuhud ," jelasnya.

Ketika berada di dunia ini, kata Imam al-Ghazali, keadaan manusia berkenaan dengan menampak Allah adalah seperti seorang pencinta yang akan melihat wajah kasihya di keremangan fajar, sementara pakaiannya dipenuhi dengan lebah dan kalajengking yang terus menerus menyiksanya.

Akan tetapi jika matahari terbit dan menampakkan wajah sang kekasih dalam segenap keindahannya dan binatang berbisa berhenti menyiksanya, maka kebahagiaan sang pencinta akan menjadi seperti kecintaan hamba Allah yang setelah keluar dari keremangan dan terbebaskan dari bala yang menyiksa di dunia ini, melihatNya tanpa tirai.

Abu Sulaiman berkata: "Orang yang sibuk dengan dirinya sekarang, akan sibuk dengan dirinya kelak; dan orang yang tersibukkan dengan Allah sekarang, akan tersibukkan denganNya kelak."
(mhy)Miftah H. Yusufpati

No comments: