Kisah Sufi Isra' Mikraj: Ketika Sultan Menjadi Orang Buangan

Kisah Sufi Isra Mikraj: Ketika Sultan Menjadi Orang Buangan
Berbicaralah kepada setiap orang sesuai dengan tingkat pemahamannya. (Foto/Ilustrasi: Ist)
Tiap ayat dalam Al-Qur'an mempunyai tujuh arti, masing-masing sesuai untuk keadaan pembaca atau pendengar. Kisah ini, seperti juga kisah Sufi lainnya, menekankan ucapan Nabi Muhammad SAW : "Berbicaralah kepada setiap orang sesuai dengan tingkat pemahamannya."

Metode Sufi, menurut Ibrahim Khawwas, adalah: "Tunjukkan hal-hal yang tak dimengerti dengan menggunakan istilah-istilah yang bisa 'dimengerti' oleh khalayak."


Idries Shah dalam bukunya "Tales of The Dervishes" menjelaskan versi kisah berikut ini berasal dari manuskrip berjudul Hu-Nama (Kitab Hu), dalam kumpulan Nawab Sardhana, tertulis tahun 1596. Berikut kisahnya:

Alkisah, seorang Sultan Mesir mengumpulkan orang-orang terpelajar, dan segera saja seperti biasanya, timbullah perdebatan. Pokok persoalannya adalah Mi'raj Nabi Muhammad. Dikatakan, dalam peristiwa tersebut, Nabi dibawa dari tempat tidurnya ke langit tinggi. Selama itu ia melihat surga dan neraka, berbincang dengan Tuhan sembilan puluh ribu kali, mengalami pelbagai pengalaman dain --dan dikembalikan ke kamarnya sementara tempat tidurnya masih hangat. Periuk air yang jatuh dan tertumpah isinya karena pengangkatan ke langit itu belum kosong ketika Nabi pulang.

Beberapa orang yang hadir berpendapat bahwa hal itu mungkin saja terjadi mengingat ukuran waktu di bumi dan di langit tentu saja berbeda. Namun, Sultan menganggapnya tidak masuk akal.

Para bijak mengatakan bahwa segala sesuatu adalah mungkin dengan kekuasaan Tuhan. Penjelasan ini pun tak memuaskan Baginda.

Kabar perdebatan ini akhirnya sampai kepada Sufi Syeh Shahabuddin, yang segera saja datang ke istana. Sultan menunjukkan rasa hormat terhadap guru itu, yang berkata, "Saya bermaksud membuktikan sesuatu tanpa menunda lagi: Ketahuilah bahwa kedua tafsiran itu keliru, dan ada hal-hal yang bisa ditunjukkan, yang kiranya menjelaskan peristiwa itu tanpa perlu berspekulasi secara gegabah atau menggunakan penalaran sembarangan dan tak bermutu."

Di ruang pertemuan itu terdapat empat jendela. Syeh itu minta agar yang satu dibuka. Sultan melihat keluar melalui jendela itu. Di gunung yang berada di kejauhan tampak olehnya bala tentara beribu-ribu bergerak menyerbu istana. Sultan sangat ketakutan dibuatnya.

"Lupakan saja, itu tidak sungguhan," kata Syeh itu.

Ia menutup jendela dan membukanya kembali. Kali ini laskar penyerbu itu sudah lenyap.

Ketika dibukanya jendela yang lain, kota di luar istana tampak terbakar api. Sultan berteriak panik.

"Jangan cemas Sultan, tak terjadi apa-apa," kata Syeh. Ketika ia menutup dan kembali membuka jendela itu, tak ada Iagi api yang tampak.

Dari jendeIa ketiga terlihat bajir bandang menuju istana. Dan, banjir itu pun seakan hanya mimpi.

Lalu, jendela keempat dibuka, dan, alih-alih gurun pasir, yang terlihat justru sebuah taman surga. Ketika jendela ditutup dan dibuka lagi, pemandangan itu sudah menguap.

Kemudian, Syeh itu minta dibawakan seember air. Dimintanya pula agar Sultan memasukkan kepalanya ke dalam air sesaat raja.

Setelah melakukan permintaan itu, secara gaib Sultan menemukan dirinya berada di sebuah pantai terpencil, di tempat yang sama sekali asing baginya. Sultan murka betul akan muslihat Syeh itu.

Tak lama kemudian, ia bertemu dengan beberapa penebang kayu yang menanyakan siapa dirinya. Karena sulit menjelaskan dirinya yang sebenamya, ia mengatakan bahwa kapalnya kecelakaan dan membuatnya terdampar di pantai itu.

Mereka memberinya pakaian, dan ia pun berjalan masuk ke sebuah kota. Di sana ada seorang pandai besi yang melihatnya berkelana tanpa tujuan, menanyakan siapa dirinya. "Saya seorang saudagar yang terdampar," jawab Sultan, "saya pun tak punya apa-apa lagi selain beberapa potong pakaian dari penebang kayu yang baik hati."

Orang itu kemudian menjelaskan tentang kebiasaan kota tersebut. Semua pendatang baru boleh meminang gadis pertama yang dilihatnya keluar dari rumah-mandi, dan pinangannya itu wajib diterima. Sultan itu pun pergi ke tempat mandi umum dan dilihatnya seorang wanita cantik keluar dari tempat itu. Ia bertanya apakah wanita itu sudah bersuami, dan ternyata sudah, maka ia bertanya kepada wanita berikutnya, yang buruk rupa. Dan yang berikut. Lalu, wanita keempat yang sungguh jelita dan rupawan. Gadis itu belum menikah, namun ia menolak Sultan sebab tubuh dan pakaiannya yang tak karuan.

Tiba-tiba ada seorang lelaki berdiri di hadapan Sultan dan berkata, "Aku disuruh untuk menjemput seorang yang kusut di sini. Mohon ikut aku."

Sultan pun mengikuti utusan itu, dan ia dibawa ke sebuah rumah yang sangat indah; ia pun duduk di salah satu ruang megah di rumah itu berjam-jam lamanya. Akhirnya, empat gadis molek berpakaian mulia masuk, menyertai gadis kelima, yang lebih memikat hati. Sultan mengenali gadis itu sebagal gadis terakhir yang ditemuinya di rumah-mandi itu.

Gadis itu mengucapkan selamat datang dan menjelaskan bahwa ia telah bergegas pulang untuk menyambut Sultan, dan bahwa penolakannya tadi bukan sungguhan, karena semua wanita di jalan akan mengatakan hal serupa bila dipinang.

Kemudian, menyusullah jamuan makan yang lezat. Kepada Sultan, dikenakan jubah yang sangat mewah, dan musik yang merdu pun dimainkan.

Sultan tinggal selama tujuh tahun bersama istrinya itu sampai harta warisan istrinya itu habis. Lalu, wanita itu menuntut agar Sultan kini mencari nafkah untuk istrinya dan ketujuh anak mereka.

Teringat akan teman pertamanya di kota itu, Sultan pun menemui pandai besi itu untuk meminta nasihat. Temannya itu menyuruhnya bekerja sebagai kuli di pasar sebab Sultan tak punya barang untuk ditukar uang atau kemampuan apa pun untuk bekerja.

Dalam sehari, dengan mengangkat beban yang sangat berat, Sultan memperoleh upah hanya sepersepuluh dari kebutuhan hidup keluarganya.

Hari berikutnya, Sultan berjalan ke pantai, disinggahinya tempat di mana tujuh tahun silam dirinya pertama kali muncul di tempat itu. Ia memutuskan untuk bersembahyang, dan terlebih dahulu membasuh diri dengan air wudhu. Pada saat itulah mendadak ia sudah kembali berada di istananya, dengan ember air, Syeh itu, dan para pejabat.

"Tujuh tahun dalam pengasingan, kau orang jahat!" raung Sultan. "Tujuh tahun, berkeluarga, dan harus jadi kuli! Tidakkah kau gentar pada Tuhan, Yang Mahakuasa, atas perbuatanmu ini?"

"Tetapi kejadian itu hanya sesaat," kata guru Sufi itu, "yakni selama Sultan memasukkan kepala ke dalam ember berisi air."

Para pejabat istana mengiyakan perkara ini.

Sultan tidak bisa mempercayai sepatah kata pun. Segera diperintahkannya untuk memenggal kepala itu. Mengetahui sebelumnya bahwa perintah Sultan itu akan turun, Syeh pun merapal ilmu gaib (Ilm el-Ghaibat: Ilmu Menghilangkan Tubuh) yang dikuasainya. Ajian sakti itu membuatnya sekejap hilang dan muncul di Damaskus, yang berhari-hari jaraknya dari istana itu.

Dari Damaskus, Syeh menulis sepucuk surat untuk Sultan, yang berbunyi:

"Tujuh tahun lewat bagi Tuan, seperti yang Tuan telah alami sendiri, sekalipun hanya sebentar saja Tuan merendam kepala dalam air. Hal tersebut terjadi dengan menggunakan muslihat tertentu, yang tiada lain dimaksudkan untuk menjelaskan apa yang bisa terjadi. Bukankah dalam kisah itu tempat tidur Nabi masih hangat dan periuk air belum lagi kosong?

Yang penting bukanlah sesuatu itu telah terjadi atau tidak. Segalanya mungkin terjadi. Sesungguhnya yang penting adalah makna peristiwa itu. Pada kasus Sultan, tak ada makna sama sekali. Pada kasus Nabi, ada makna dalam peristiwa."

(mhy) Miftah H. Yusufpati

No comments: