Sadaka Tası, Jejak Tradisi Masyarakat di Era Usmani

sadaka taşı, batu sedekah di era Khilafah Usmani (Ottoman)
Sadaka tasi adalah secuil contoh peradaban Islam yang sejati, yang telah berkembang di era Kesultanan Usmani (Ottoman)

SEORANG renta berdiri tidak jauh dari pintu masuk area Masjid Eyüp Sultan atau Eyup Sultan Cami, Turki. Dia tampak sibuk menyodorkan bawaannya, sebuah boks kardus.

Saya mengira dia berjualan dan menawarkan barang dagangannya seperti pedagang pada umumnya. Namun perkiraan saya keliru, ternyata dia membagikan, lebih tepatnya, menyedekahkan isi boks berupa kue tersebut kepada masyarakat yang melintas di depannya.

Tidak jauh dari tempatnya berdiri, tampak sebuah batu tegak, dengan tinggi kurang lebih 1-2 m, dan berbentuk persegi delapan. Batu ini memiliki satu lubang di bagian atasnya.

Itulah yang disebut sadaka tasi, sebagaimana tertulis di beberapa sisinya. Dalam bahasa Turki, kata sadaka (amal) digunakan untuk mendefinisikan apa yang diberikan seseorang secara sukarela kepada mereka yang membutuhkan baik berupa uang atau sejenisnya.

Dalam artikel singkat ini, saya hanya membatasi penjelasan; apa itu sadaka taşı atau tulisan Turkinya sadaka taşı. Dan mengapa tradisi mulia tersebut bisa mengakar di masyarakat Ottoman (Usmaniyah)?

Batu amal atau sadaka taşı, tradisi masyarakat di era Khilafah Usmani 

Sadaka taşı dan Masyarakat Usmani

Salah satu tradisi yang mengakar kuat di masyarakat ottoman (Usmani) adalah sedekah. Baik diwujudkan dalam bentuk wakaf, infak, zakat dan sejenisnya. Sadaka taşı adalah salah satu “wadah”nya, atau dengan kata lain batu sedekah.

Di masa Utsmani, sadaka tasi merupakan bagian dari tradisi kepedulian sosial. İa merupakan simbol kasih sayang. Bangunan tegak yang terbuat dari batu tersebut berfungsi layaknya kotak amal.

Melalui lubang tersebut, seseorang bisa mensedekahkan ataupun mengambil uang yang terdapat di dalam sadaka tasi. Dengan itu, tidak diketahui apakah orang tersebut pemberi sedekah ataukah yang membutuhkannya (fuqara).

Dengan meletakkan sedekah di sadaka tasi, harapanya seseorang bisa membantu sesama tanpa perlu pamrih. Hal ini sesuai dengan hadis nabi ﷺ yang bunyinya, ”Seseorang yang mengeluarkan shadaqah lantas di-sembunyikannya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diperbuat tangan kanannya.”

Lewat medium sadaka tasi pula kehormatan fuqara juga tetap terjaga, tanpa perlu malu. Sadaka tasi memiliki prinsip “memenuhi kebutuhan yang membutuhkan tanpa harus meminta” ini tersebar luas di wilayah kekuasaan Utsmani, umumnya terletak di depan setiap gang, masjid, dan tempat strategis lainnya.

Süheyl Ünver, seorang penulis Turki mengabarkan dirinya menemukan tujuh buah sadaka tasi berada di sudut jalan menuju Baghdad. Hal ini menandakan tradisi penduduk Utsmani kala itu sudah gemar bersedekah.

Mayarakat Usmani memang “tergila-gila” dengan sedekah. Hal ini dituturkan seorang ulama Turki, Musa Topbaş Efendi (meninggal tahun 1999) mengisahkan masa kecilnya.

Menurutnya, mereka (masyarakat Utsmani) ketika melihat para pendatang dan fakir miskin, saling berlomba untuk membantunya dan memenuhi kebutuhannya. Bahkan, lanjutnya, adakalanya jika di antara mereka dalam kondisi sakit, para dokter memberikan obat tanpa meminta bayaran.

Jadi, antara yang tua dan muda, kaya dan miskin saling menjalin ukhuwah dan menolong satu sama lain. Lantas, mengapa tradisi sadaka tasi ini mengakar di masyarakat Usmani?

Untuk menjawab ini, patut kita cermati perkataan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya: “…Jiwa manusia selalu meyakini kesempurnaan orang yang menguasainya dan patuh kepadanya..”

Maksudnya (dalam konteks ini), rakyat akan mematuhi dan mengikuti apa yang dilakukan oleh sang raja. Benar adanya, dalam catatan sejarah, para Sultan Usmani terkenal gemar memberi, bersedekah, dan berwakaf.

Di masa Utsmani, sadaka tasi merupakan bagian dari tradisi kepedulian sosial

Untuk yang terakhir, Osman Nuri Tobaş, mencatat setidaknya ada 26.300 wakaf Usmani dalam berbagai bentuknya. Memang, hal tersebut tıdak lepas dari peran pendiri Usmani; Usman bin Ertughrul.

Dalam wasiatnya kepada putranya Orhan, dia menasehati agar menjaga diri dan harta manusia, serta menunjukan ajaran Islam. Utsman berkata;

“Ketahuilah wahai putraku, menyebarkan Islam, memberikan petunjuk manusia kepadanya, menjaga harta diri manusia dan harta mereka adalah merupakan amanah yang diletakkan pada lehermu, dimana Allah Swt akan menanyakannya kepadamu….”. (Ziyād Abū Ghanīmah, Jawānib Mudhīah fi Tārīkhi-l Utsmāniyyīn al-Atrāk)

Sadaka tası inilah bagian dari cerminan sebuah peradaban yang berbasiskan wahyu. Menjadikan ukhrawi sebagai orientasi hidup.

Dengan tradisi mulia ini, masyarakat mengutamakan pahala ilahi dari materi, dimana ridha khāliq lebih diharapkan ketimbang makhluk. Manusia ditempatkan sesuai fitrahnya dengan diberi ladang berbuat kebaikan.

Sadaka tasi adalah secuil contoh peradaban Islam yang sejati. Pada akhirnya saya menyadari bahwa tindakan kakek tersebut adalah “potret” dari sebuah peradaban gemilang di masa lalunya.*/ Royyan Bachtiar, mahasiswa Universitas Fatih Sultan Mehmet Vakif, Istanbul

Rep: Admin Hidcom
Editor: -

No comments: