Kisah Prof. Rasjidi Hendak Dimurtadkan

Musyawarah Antar Agama pada tanggal 30 November 1967
PERTAMA kali mendapat informasi ini, penulis baca dari buku Buya Hamka berjudul “Dari Hati Ke Hati” (2002: 185) terkhusus dalam artikel berjudul “Musyawarah Antar Agama Tidak Gagal”.

Artikel ini menjelaskan uraian Hamka terkait Musyawarah Antar Agama pada tanggal 30 November 1967 yang oleh kebanyakan orang dianggap gagal. Dalam musyawarah itu, di antara yang ikut adalah Buya Hamka, Natsir dan Rasjidi.

Menurut catatan Hamka, pada musyawarah itu, Prof. Dr. H. Rasjidi, Menteri Agama pertama RI, menyatakan bahwa zending dan misionaris pernah datang ke rumahnya menyampaikan seruan kepadanya, agar beliau meninggalkan Islam. Bahasa yang mudah dipahami dalam istilah Islam adalah hendak dimurtadkan.

Hanya sebatas itu awalnya informasi yang penulis dapat. Sempat terbesit dalam benak betapa penetrasi para missionaris itu sangat berani sekali, sudah menyasar ke tokoh-tokoh Islam.

Jika tokohnya saja didatangi, apalagi orang-orang yang bukan tokoh? Penulis juga teringat penuturan putra-putri Moh. Natsir dalam buku “Aba: M. Natsir Sebagai Cahaya Keluarga” yang menceritakan dalam kondisi berbaring di rumah sakit, beliau pernah hendak dimurtadkan juga.

Kemudian, pada tahun 2021 dalam momen yang masih pandemi, penulis mendapat bundel majalah lawas Kiblat tahun 1967. Pada edisi No. 14 (Thn. XV: 11) dimuat sambutan M. Rasjidi dalam musyawarah antar agama tahun 1967 dengan judul “Masalah Agama adalah Suatu Problem Mengenai Kepentingan Mutlak”. Berikut ini, akan penuliskan cerita beliau terkait upaya pemurtadan diri beliau:

“Saja harus mengakui bahwa dari fihak saja, golongan Islam nampak djuga gerakan da’wah jang mengadjak kepada agama Islam, akan tetapi saja jakin bahwa tidak ada seorang propogandist Islam jang pernah mendatangi Pak Kasimo atau Pak Tambunan dan mengadjak mereka supaja meninggalkan agama Krsiten dan memeluk agama Islam, sebagaimana saudara2 saja jang beragama Kristen telah mentjoba melakukan hal itu terhadap diri saja.

Jang saja tjeritakan kepada sdr2 itu hanja soal ketjil; apa jang terdjadi diseluruh wilajah Indonesia pada waktu ini djauh lebih besar dan lebih penting. Saja beberapa waktu jang lalu kembali dari kampung saja di Djokja. Saja didatangi oleh seorang penduduk dan mengatakan kepada saja sebagai berikut:

Pak, ipar saja terlibat dalam soal G/30 S, ia ditahan oleh jang berwadjib. Anak bininja terpaksa hidup susah dan menderita. Pada suatu waktu, dalam tahanan,, ipar saja diapproach oleh seorang jang menanjakan kepadanja apakah ia suka djika keluarganja didjamin dengan beras dan uang; tentu sadja ipar saja itu berkata tertu sadja saja akan sangat terima kasih djika ada orang jg bersedia membantu keluargaku. Orang itu mendjawab: djaminan akan datang setjara teratur, akan tetapi kamu harus menanda tangani surat kontrak ini lebih dahulu jang isinja menerangkan bahwa sdr telah memeluk agama Kristen Katholik. Ipar saja tersebut tidak memikir pandjang menanda tangani surat kontrak tersebut. Djaminan pun segera datang. Adik saja perempuan dan anak2nja telah mendapat djaminan. Akan tetapi kemudian timbul soal baru, Mbakju saja, serta melihat adiknja mendapat djaminan berkata kepada saja, “Itu adik telah dapat djaminan , bagaimana nasib saja ini?” Maksudnja, saja minta supaja engkau mendjamin aku dgn beras, kalau tidak akupun terpaksa masuk Katholik. Orang tersebut bertanja: bagaimanakah saja harus mendjawab kepada mbakju saja itu. Saja tidak suka ia masuk Katholik, akan tetapi saja djuga tidak dapat membantu penghidupannja karena saja sendiri dalam keadaan serba kekurangan.

Ada tjontoh lain. Ipar saja sendiri mempunjai sebidang tanah di kota Djogja. Sudah lebih dari lima kali tanah itu hendak dibeli oleh fihak Katholik untuk dibina mendjadi geredja, dengan disebutkan harga jang sangat menarik akan etapi ia tetap tidak mau mendjual. Dalam pada itu disuatu tempat di kota Djokja, ada suau pekarangan jang letaknja strategis, jang harganja hanja kira2 seperempat djuta telah ditawar dengan harga dua djuta untuk didjadikan geredja.

Inilah hal2 jang saja ketahui ketika berkundjung di Djokja beberapa hari jang lalu; masih banjak lagi jang telah saja dengar, akan tetapi tak perlu kiranja saja uraikan semuanja.

Dan djika hal ini terdjadi di Djokja maka hal2 jang sematjam itu djuga terdjadi dimana2, djuga di ibu kota Djakarta ini, dalam kampung2, di Tebet, di beberapa tempat di Djawa Barat, di Djawa Timur, bahkan seluruh kepulauan Indonesia.” (Selesai Nukilan)

***

Perhatikan pola pemurtadan yang disebutkan Prof. Rasjidi! Hampir semua lini menjadi sasaran pemurtadan.

Tak peduli bahkan kepada seorang tokoh Islam sekalipun. Padahal, menurut Rasjidi, meski Islam juga agama yang menganjurkan umatnya untuk berdakwah, tidak akan secara terang-terangan mendakwahi pendeta Kristen seperti Kasimo dan Tambunan.

Tapi orang seperrti Prof. Rasjidi pernah merasakan jadi obyek pemurtadan. Selain itu, pola-pola pendekatan eksploitasi terhadap kelemahan seseorang muslim juga dilakukan.

Modusnya, ada yang dipidana karena kasus G30S PKI, sehingga nasib keluarganya kesusahan. Maka ia dibujuk untuk murtad dengan imbalan akan diberi kebebasan dan jaminan keluarga asal mau murtad.

Iming-iming harta juga digunakan untuk membujuk seseorang sebagaimana yang dialami ipar Prof. Rasjidi. Tanahnya akan dibeli dengan harga yang berlipat ganda, asal mau dilepas untuk pembangunan tempat ibadah.

***

Mengingat betapa gerakan pemurtadan ini begitu masif, baik sejak pra dan kemerdekaan, maka Prof. Rasjidi yang punya pengalaman langsung dimurtadkan, amat punya perhatian besar dalam membendung arus pemurtadan misionaris. Dari data yang penulis punya, jelaslah kiprah Rasjidi cukup besar di bidang ini.

Beliau pernah menulis buku kecil berjudul: Islam dan Kristen di Indonesia. Pernah juga menulis surat kepada Paus bersama tokoh lain (M. Natsir, KH. Masykur, KH. Rusli Abdul Wahid) yang kemudian diterbitkan dengan judul: Surat kepada Paus Yohannes Paulus II agar penyalahgunaan Diakonia Dihentikan.

Kegiatan beliau juga dilakukan di luar negeri. Beliau pernah menghadiri Konferensi Meja Bundar tentang Dakwah Islam yang diadakan di Geneva pada 26-30 Juni 1976. Dalam pertemuan itu, beliau menyampaikan artikel berjudul: KMB Da’wah Islam dan Missi Kristen di Geneva (Dimuat di antaranya adalam majalah Suara Muhammadiyah, No. 19 Thn. 56 [1976]).

Catatan ini juga sudah dibukukan. Dan masih banyak lagi upaya Rasjidi yang tidak bisa disebutkan di sini dalam membendung pemurtadan, terutama kristenisasi.*/Mahmud Budi Setiawan

Rep: Admin Hid
Editor: -

No comments: