64 Tahun Deklarasi Djuanda: Benarkah Kita Jaya di Dunia Maritim?

Deklarasi Djuanda
Deklarasi Djuanda
SENIN kemarin tepat 64 tahun lalu, Deklarasi Djuanda dicetuskan pada 13 Desember 1957 oleh Ir. Djuanda Kartawidjaja, Perdana Menteri Indonesia yang menjabat kala itu. Sebuah momentum bersejarah mengenai yang berkaitan dengan aturan perairan di Indonesia.

Negara yang hampir seluruh kawasannya dibatasi dan dikitari dengan perairan laut, sungai dan danau di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia.

Deklarasi Djuanda secara umum menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia.

Sebelum adanya Deklarasi Djuanda, batas-batas wilayah Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Namun ketentuan hukum ini sangat rawan konflik yang mengancam keamanan dan keutuhan negara Republik Indonesia. Untuk itu, Deklarasi Djuanda dicetuskan sebagai solusi untuk mengatasi masalah kritis ini.

Menurut Rosyid College of Arts and Maritime Studies, Surabaya, Prof. Dr. Daniel M Rosyid, peristiwa penting dalam sejarah Indonesia modern: Deklarasi Djoeanda 1957. Dengan dibekali naskah akademik yang disusun oleh Mochtar Kusumaatmaja, Perdana Menteri Ir. Djoeanda Kartawidjaja mendeklarasikan sebuah dakuan bahwa laut-laut yang selama ini merupakan perairan internasional menjadi perairan kedaulatan Republik.

Dakuan itu, yang diakui 25 tahun kemudian oleh UNCLOS 1982 telah menyebabkan luasan Republik ini menjadi 5 juta kilometer persegi lebih. Ini pertambahan hampir dua kali lipat dari luas wilayah Republik yang pernah diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17/8/1945. Dalam perspektif ini saja NKRI bukan harga mati.

Jelas NKRI bukan harga mati karena NKRI adalah sebuah cita-cita, sebuah kompleks gagasan tentang sebuah entitas administrasi publik yang tugas-tugas pokoknya telah diamanahkan oleh Pembukaan UUD1945. NKRI juga sebuah lebensraum, ruang kehidupan yang batas-batasnya sebagian terancam oleh kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim, sekaligus dilubangi oleh globalisasi dan digitalisasi, serta dinamika kepentingan maritim regional maupun global.

Asal Usul Deklarasi Djuanda

Indonesia adalah negara kepulauan yang dikelilingi oleh laut. Pulau-pulau di Indonesia terbentang dari ujung timur ke barat sejauh 6.400 km. Garis terluar yang mengelilingi wilayah Indonesia adalah sepanjang kurang lebih 81.000 kilometer.

Luasnya wilayah Indonesia ini didominasi oleh laut, yang mengambil tempat hingga 80% dari keseluruhan wilayah. Dengan bentang geografis itu, luas wilayah Indonesia adalah 1,937 juta kilometer persegi daratan, dan 3,1 juta kilometer teritorial laut, serta luas laut ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) 2,7 juta kilometer persegi.

Dahulu, wilayah Indonesia yang baru merdeka sangatlah berbeda dengan kondisi saat ini. Wilayah laut Indonesia sebagai warisan Belanda hanya merupakan jalur laut selebar 3 mil dari garis pantai pada saat pasang tersurut yang melingkari setiap pulau. Jika ditotal, maka luas keseluruhan wilayah laut Indonesia saat itu tidak sampai satu juta km persegi.

Sebagaimana dikutip dari Wikipedia, Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.

Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Papua yang walaupun wilayah Indonesia tetapi waktu itu belum diakui secara internasional.

Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar (kecuali Papua), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut. Di luar dari wilayah itu, statusnya merupakan perairan internasional atau laut bebas.

Jadi secara hukum, pada saat itu laut hanyalah bertindak sebagai pemisah antar pulau-pulau yang ada di Nusantara. Jika menilik sejarah, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pada zaman itu jalur laut selebar 3 mil dari bibir pantai tersebut didasarkan pada jarak tembak meriam yang tidak sampai 3 mil.

Dari segi hukum, ketentuan tentang lebar laut teritorial yang sangat sempit itu didasarkan pada Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim, 1939), produk hukum zaman Hindia Belanda yang kemudian diteruskan dan diadopsi oleh Indonesia ketika baru saja merdeka, mengutip oseanografi.lipi.go.id.

Untuk menanggapi situasi kritis ini maka pada 13 Desember 1957, Perdana Menteri RI yang ketika itu dijabat oleh Ir. Juanda Kartawijaya mendeklarasikan “Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia” yang dikenal sebagai “Deklarasi Juanda”.

Menurut Shinta Ulwiya, dengan diresmikannya Deklarasi Djuanda dalam UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia, wilayah RI menjadi 2,5 kali lipat menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang saat itu belum diakui secara Internasional. Didasarkan perhitungan 196 garis batas lurus atau straight baselines dari titik pulau terluar, terciptalah garis batas maya yang mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut.

Sekarang, mari kita bayangkan, bagaimana jadinya jika batas-batas RI tidak pernah dideklarasikan?. Pastilah Indonesia tidak dapat mewarisi sepenuhnya wilayahnya seperti saat ini. Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk mempertahankan dan memanfaatkan wilayah NKRI ini?

Ada banyak potensi yang dapat dikembangakan dalam wilayah kemaritiman Idoensia. Luas wilayah laut mencapai 5,8 juta km2 dan merupakan tiga per empat dari total wilayah negara. Selain itu, terdapat lebih dari 17 ribu pulau dan dikelilingi pantai terpanjang kedua setelah Kanada, sejauh 95,2 ribu km.

Lebih-lebih, menurut pakar ekonomi maritim, Rokhmin Dahuri, potensi total ekonomi sektor kelautan Indonesia mencapai 800 miliar dolar AS atau sekitar Rp. 7.200 triliun per tahun. Sedangkan kesempatan kerja yang dapat dibangkitkan sekitar empat puluh juta orang. Kini, Indonesia harus mereorientasikan pembangunan nasional dari yang berbasis darat ke laut.*

Rep: Ahmad
Editor: -

No comments: