Ulama Persia Non-Arab yang Berjasa untuk Islam dan Dunia

Peradaban Islam ditopang para ulama yang berasal dari non-Arab. Sains Islam (ilustrasi)

Peradaban Islam ditopang para ulama yang berasal dari non-Arab. Sains Islam (ilustrasi)

Peradaban Islam ditopang para ulama yang berasal dari non-Arab
— Pengaruh besar kaum mawali Persia tidak hanya pada ranah politik Abbasiyah, tetapi juga peradaban umumnya.

Ada banyak tokoh dari kelompok sosial tersebut yang berkiprah dalam perkembangan ilmu- ilmu agama, pengeta huan, dan sains. Tidak sedikit darinya memimpin sejumlah pusat keilmuan yang dibangun rezim Abbasiyah di seluruh negeri Islam.

Kebangkitan intelektual Peran signifikan kaum mawali Persia sangat terasa pada zaman keemasan Islam, yakni sejak era Abbasiyah hingga jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol 1258 M.

Mereka mencapai banyak hal, baik dalam dunia ilmu agama maupun umum. Dengan ilmu-ilmu agama yang dikuasainya, tokoh-tokoh mawali ini tidak kalah hebat dari para alim ulama Arab.

 

Di antara nama-nama yang masyhur ialah Syekh Hasan al-Bashri (wafat 728 M), Ibnu Juraij (wafat 767 M), Imam Abu Hanifah (wafat 767 M), at- Thabari (wafat 923 M), Ibnu Katsir (wafat 1373 M), dan Imam al-Ghazali (wafat 1111). Sumbangsih mereka bagi peradaban Islam bahkan diakui luas hingga saat ini.

Dalam bidang ilmu bahasa, peran kaum mawali tidak bisa dipandang sebelah mata. Golongan ini melahirkan banyak pakar gramatika dan sastra, baik bahasa Persia maupun Arab. Beberapa yang termasyhur di antaranya ialah Sibawaihi dan al-Farra.

 

Sosok yang pertama itu bernama asli Amr bin Utsman al-Bashri. Cendekiawan yang mengajar di Basrah pada zaman Abbasiyah itu menulis lima jilid buku Al-Kitab. Isinya membahas seluk-beluk bahasa Arab.

Sementara itu, al-Farra bernama asli Yahya bin Ziyad. Ia lahir di Iran utara, tepatnya daerah pegunungan Daylam. Sultan Harun al-Rasyid sangat menghormatinya karena keahliannya dalam penguasaan bahasa Arab murni. 

 

Selain itu, ada pula Abu Hasan Ali bin Hamzah. Lelaki Persia yang akrab disapa al-Kisa'i ini merupakan salah satu tokoh mazhab Kuffah untuk studi bahasa Arab.

Di samping gramatika, kepakarannya juga meliputi ilmu membaca Alquran atau qira'at. Pada abad ke- 10, terdapat sosok Abu al-Faraj al-Ashfihani. Mawali Persia yang juga penulis Kitab al-Aghani (Buku Nyanyian) itu adalah seorang ahli sastra Arab- Persia. Ia juga berjasa dalam mengembangkan teori musik.

Besarnya peran para sarjana mawali di era Abbasiyah juga berarti eratnya persentuhan kultural antara Arab dan Persia. Bahkan, lebih dari itu. Yang terjadi ialah perjumpaan multikultural.

Sebab, Persia memiliki sejarah yang sangat panjang dalam mem pertemukan banyak budaya, baik dari kawasan daratan Asia maupun pesisir Mediterania Timur. Untuk bidang sastra, contoh terpenting dalam hal ini barang kali adalah Alf Laylah wa-Laylah alias Seribu Satu Malam atau The Arabian Nights.

Kisah-kisah di dalamnya disusun sedemikian rupa sehingga menjadi cerita berbingkai. Karena mengagumi khazanah kesusastraan ini, sultan Abbasiyah memerintahkan sejumlah ilmuwan untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab.

Hasil terjemahan itu kemudian ditambahi pula dengan bumbu-bumbu cerita yang intinya mengapresiasi pemimpin Abbasiyah, utamanya Harun al-Rasyid sendiri. Bagaimanapun, porsi terbesar cerita berbingkai ini berasal dari hikayat Persia, Hezar Afsan (Seribu Kisah), yang juga mengadopsi banyak elemen budaya India. 

Kontribusi kaum mawali dalam bidang sains sangatlah nyata. Nama-nama berikut ini adalah sebagian dari banyak contohnya.

Dalam lingkup ilmu kedokteran, tersebutlah sosok Muhammad bin Zakariya al-Razi dan Fakhruddin al-Razi. Kedua al-Razi ini sama-sama berkebangsaan Persia walaupun berasal dari masa yang berbeda. Yang satu dari ke-10, sedangkan yang lain hidup pada abad ke-12 M.

Ibnu Zakaria menulis sebuah kitab fenomenal, Al-Hawi, yang menelaah dan mengkritik ilmu kedokteran pada masa Yunani Kuno. Hanya karena buku ini, orang-orang Eropa di abad pertengahan menggelarinya sebagai dokter terbesar pada masanya. Adapun Fakruddin al- Razi tidak hanya berkiprah pada ilmu medis, tetapi juga sejarah, filsafat, dan fisika. Sang polymath merupakan yang mula-mula mengembangkan teori alam semesta majemuk (multiverse) dan menghubungkannya dengan petunjuk Alquran.

Tokoh mawali Persia berikutnya ialah Ibnu Sina (wafat 1037 M). Para sarjana Eropa menye but nya Avi cenna. Ia merupakan seorang cendekiawan genius yang merintis jalan bagi ilmu kedok teran modern.

Karya monumentalnya, Al-Qanun fii al-Thibb, menjadi pegangan bagi kaum pembe lajar Eropa sejak abad pertengahan. Adapun karya lain darinya, Kitab asy-Syifaa, merupakan sebuah ensiklopedi tentang obat-obatan dan gejala-gejala penyakit.

 

Selain mereka, beberapa dari begitu banyak nama mawali Persia yang patut dikenang ialah Jabir bin Hayyan (wafat 803 M), Nashir al-Din al-Thusi (wafat 1274 M), al-Biruni (wafat 1050 M), dan Umar Khayyam (wafat 1131 M). Itulah sebagian cerdik cendekia Muslimin Persia pada masa kejayaan Islam. Status mereka sebagai mawali sama sekali tidak mengurangi reputasinya di mata dunia.   

sumber : Harian Republika

No comments: