Abu Dzar al-Ghifari (1): Sosok yang Membuat Rasulullah SAW Takjub

Abu Dzar al-Ghifari (1): Sosok yang Membuat Rasulullah SAW Takjub
Abu Dzar berasal dari daerah nun jauh dari Makkah. Namun ia memeluk Islam pada saat syiar Islam dilakukan secara sembunyi-sembunyi di Makkah. (Foto/Ilustrasi: Ist)
Nama asli Abu Dzar al-Ghifari adalah Jundub bin Janadah. Dia dikenal sebagai sosok yang membuat Rasulullah SAW takjub. Abu Dzar berasal dari daerah nun jauh dari Makkah. Namun ia memeluk Islam pada saat syiar Islam dilakukan secara sembunyi-sembunyi di Makkah.

Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya berjudul Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah memaparkan Abu Dzar al-Ghifari datang ke Makkah dari suatu tempat yang jauh. Letih, sakit, dan lelah karena telah melewati padang pasir dengan sinar matahari yang menyengat dan udara yang panas. Namun matanya memancarkan sorot yang bahagia karena dia akan menemui seseorang yang dicarinya.

Dia datang ke Makkah dengan menyamar, seolah-olah dia adalah salah seorang peziarah yang hendak menyembah patung berhala, atau bisa juga seorang musafir yang tengah dalam perjalanan jauh dan hendak beristirahat dan mengisi perbekalan. Andai saja orang Makkah mengetahui tujuan yang sebenarnya, yakni mencari seseorang yang sangat dinantinya, niscaya dia akan dibunuh.

Dia terus mencari, setiap kali mendengar orang-orang membicarakan lelaki yang dicarinya itu dia mendekat dan menyimak. Segala petunjuk yang terserak dia kumpulkan dengan hati-hati. Sehingga setelah mendapatkan informasi yang cukup akhirnya pada suatu pagi dia mendapatkan lelaki yang dimaksud. Lelaki itu sedang duduk seorang diri.

“Selamat pagi, wahai kawan sebangsa!” ujarnya.

“Alaikum salam, wahai sahabat,” jawab lelaki tersebut.

“Bacakanlah kepadaku hasil gubahan Engkau!”

“Ia bukan syair hingga dapat digubah, tetapi adalah Quran yang mulia.”

“Bacakanlah kalau begitu!”

Maka dibacakanlah oleh lelaki itu, dan dia mendengarkan dengan perhatian, hingga tidak berapa lama dia pun berseru, “asyahadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh.”

Lelaki yang dia cari adalah seseorang yang bernama Muhammad bin Abdullah, dan sekarang Muhammad sudah berada di hadapannya membacakan Al-Quran, maka tidak ragu setelahnya dia langsung mengucap syahadat.

Kemudian Muhammad sang Rasul Allah bertanya kepada musafir yang bernama Jundub bin Janadah tersebut, “Engkau dari mana, saudara sebangsa?”

Jundub menjawab, “Dari Ghifar.”

Maka tersenyumlah Rasulullah, sementara wajahnya diliputi oleh rasa kagum dan takjub. Jundub tersenyum juga, dia paham dari mana timbulnya rasa takjub tersebut, karena orang yang sudah mengaku Islam di hadapan Rasul tersebut ternyata berasal dari Ghifar.

Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tak ada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi tamsil perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang kelam dan gelap gulita tidak menjadi soal bagi mereka, dan celakalah bagi orang yang tersesat atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam.

Pada waktu itu agama Islam baru saja lahir dan dijalankan secara sembunyi-sembunyi. Ketika ada seseorang dari jauh, dan dia berasal dari kaum Ghifar pula, yang datang dengan sengaja untuk masuk Islam, maka sebagaimana dikisahkan oleh Jundub bin Janadah, “maka pandangan Rasulullah pun turun naik, tak putus takjub memikirkan tabiat orang-orang Ghifar, lalu sabdanya, ‘Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang disukai-Nya….!’”

Menurut riwayat, sebelum bertemu Rasulullah pun Jundub adalah seorang yang menentang penyembahan terhadap berhala. Dia mempunyai keyakinan akan Ketuhanan serta iman kepada Tuhan Yang Maha Besar lagi Maha Pencipta.

Demikianlah, ketika dia mendengar sebuah berita tentang seorang Nabi yang menentang berhala dan menyeru untuk menyembah kepada Allah yang Maha Esa lagi Perkasa, maka tak ragu dia pun segera menyiapkan bekal dan mengayunkan langkahnya.
Urutan Kelima
Di kemudian hari Jundub bin Janadah dikenal dengan nama Abu Dzar al-Ghifari. Dzar sebenarnya adalah nama dari putra Jundub yang tertua, sementara al-Ghifari merujuk pada suku Ghifar.

Abu Dzar masuk Islam tanpa ditunda-tunda. Urutannya di kalangan Muslimin adalah yang kelima atau keenam. Jadi dia telah memeluk Agama Islam pada hari-hari pertama, hingga keislamannya termasuk dalam barisan terdepan.

Ketika itu Rasulullah menyampaikan dakwah secara berbisik-bisik. Dibisikkannya ajaran Islam ke enam orang tersebut termasuk Abu Dzar salah satunya. Dengan kondisi tersebut, tak ada yang dapat dilakukan oleh Abu Dzar selain memendam keimanannya di dalam dada.

Namun sebenarnya, Abu Dzar adalah seseorang yang berwatak radikal dan revolusioner, sehingga sudah menjadi tabiatnya menentang kebatilan di mana pun dia berada.
Saat itu kebathilan ada di depan matanya, dia menyaksikan orang-orang membentuk batu menjadi figur tertentu yang kemudian disembah oleh penciptanya sendiri, seraya berkata, “Inilah kami, kami datang mengikuti titahmu!” Bagi Abu Dzar ini sama saja dengan merendahkan akal mereka sendiri.

Teriakan Pertama Tentang Islam
Suatu saat Abu Dzar bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apa yang harus saya kerjakan menurut Engkau?” “Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintahku nanti!” jawab Rasul. “Demi Tuhan yang menguasai nyawaku, aku tak akan kembali sebelum meneriakkan Islam dalam masjid!” sambut Abu Dzar.

Abu Dzar pergi menuju Masjidil Haram dan menyerukan dengan sekeras-kerasnya suaranya, “asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah.” Dalam riwayat, diketahui teriakan ini merupakan teriakan pertama tentang agama Islam yang menentang kesombongan orang-orang Quraisy dan memekakkan telinga mereka.

Sebagai akibatnya, dia mendapat perlakuan yang sudah dapat diduga sebelumya. Orang-orang musyrik mengepung dan memukulinya hingga rubuh.

Seorang perantau asing, yang di Makkah dia tidak memiliki kawan, jauh dari kaumnya, juga tidak memiliki sanak keluarga maupun pembela, namun dia berani dengan lantang meneriakkan tentang agama Islam tanpa keraguan.

Berita mengenai peristiwa pemukulan terhadap Abu Dzar oleh kaum Quraisy segera sampai kepada paman Rasulullah, Abbas bin Abdul Muthalib. Ia segera mendatangi tempat terjadinya peristiwa tersebut. Dia sadar, satu-satunya cara untuk menyelamatkan Abu Dzar hanya dapat dengan cara diplomasi halus.

Maka Abbas berkata, “Wahai kaum Quraisy! Kalian semua adalah bangsa pedagang yang mau tak mau akan lewat di kampung Bani Ghifar. Dan orang ini adalah salah seorang warganya, bila dia bertindak akan dapat menghasut kaumnya untuk merampok kafilah-kafilahmu nanti!” Mereka sadar akan hal itu, maka ditinggalkannya lah Abu Dzar.

Namun watak keras Abu Dzar tidak dapat ditundukkan, terlebih dia adalah salah seorang suku Ghifar yang memang terkenal tangguh, peristiwa pemukulan tersebut bukan apa-apa baginya.

Menghina Berhala
Pada hari berikutnya dia melihat dua orang wanita sedang tawaf mengelilingi berhala-berhala Usaf dan Na-ilah sambil bermohon kepada berhala-berhala tersebut. Abu Dzar segera berdiri dan menghalangi mereka, lalu di hadapan mereka berhala-berhala itu dihina oleh Abu Dzar sejadi-jadinya.

Melihat peristiwa itu, kedua wanita tersebut menjadi histeris dan berteriak-teriak, sehingga orang-orang di sekitar gempar. Khalayak paham dengan apa yang sedang tengah berlangsung, dan segera mereka memukuli Abu Dzar hingga tak sadarkan diri. Begitu siuman, kalimat pertama yang diucapkan Abu Dzar adalah, “bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu utusan Allah.”

Rasulullah dapat memaklumi akan watak dari murid barunya yang “bengal” ini, Rasulullah takjub terhadap keberaniannya dalam melawan kebathilan. Hanya, bagi Rasulullah cara berdakwah secara terang-terangan untuk saat ini belum waktunya. Maka diulanginyalah perintah agar Abu Dzar kembali ke kaumnya. Abu Dzar diperkenankan untuk kembali apabila dia sudah mendengar kabar bahwa Islam sudah dalam tahap bisa diperjuangkan secara terang-terangan. (Bersambung)

(mhy)
Miftah H. Yusufpati

No comments: