Mata-mata CIA dari Indonesia Dieksekusi Mati di Korea Utara
Hendri F. Isnaeni
Margaretha menikah dengan seorang tentara, Rudolf John MacLeod, yang berusia 20 tahun lebih tua, pemabuk, dan suka memukulinya. Dia ikut suaminya yang bertugas di Hindia Belanda. Di Jawa, dia mulai belajar menari. Mereka punya dua anak, laki-laki dan perempuan: Norman John MacLeod dan Jeanne Louise MacLeod.
Mereka kembali ke Belanda pada 1902. Empat tahun kemudian, mereka bercerai. Margaretha kemudian pergi ke Paris, Prancis, untuk menjadi penari erotis dengan nama panggung Mata Hari.
Ketika pecah Perang Dunia I, Mata Hari direkrut Jerman sebagai mata-mata pada 1915. Di balik penampilan tari erotisnya, dia mengorek informasi dari para perwira Sekutu di Prancis. Akhirnya, aksi agen H21 ini terbongkar. Dia dieksekusi mati pada 15 Oktober 1917.
Gertrude Banda
Sementara itu, di Hindia Belanda tersebutlah nama Gertrude Banda. Nama “Banda” sepertinya merujuk ke Pulau Banda di Kepulauan Maluku. Karena menjadi mata-mata, dia dihubungankan dengan Mata Hari, bahkan disebut anaknya. Ini diragukan.
“Kecil kemungkinan [Margaretha] Zelle memiliki anak tidak sah di Jawa tanpa sepengetahuan suaminya,” tulis M.H. Mahoney dalam Women in Espionage: A Biographical Dictionary.
Mahoney mengatakan, jika Mata Hari adalah ibunya, maka Banda akan berusia 50 tahun pada saat dia menjalani petualangan spionase terakhirnya. Sedangkan, sumber-sumber tentang hidupnya sebagai mata-mata menggambarkannya masih muda, cantik, dan berusia kurang dari 50 tahun.
“Banda [lahir tahun 1905] mungkin adalah seorang wanita Eurasia yang ayahnya orang Indonesia dan ibunya perempuan kulit putih,” tulis Mahoney.
Mata Hari memang memiliki seorang putri, Jeanne Louise, yang dia panggil Non. Putrinya itu lahir di Jawa pada 1898, menjadi guru sekolah di Den Haag, dan meninggal pada 1919. Sedangkan Banda berusia 12 tahun dan tinggal di Batavia ketika Mata Hari dieksekusi mati.
Mahoney menyebutkan bahwa setelah menempuh pendidikan tinggi, Banda menjadi guru di Indonesia. Cerita lain menyebut bahwa ketika berusia dua puluhan, dia menjadi simpanan pengusaha perkebunan Belanda kaya berumur lebih dari 60 tahun. Dia memberinya kemewahan dan memperlakukannya seperti istrinya. Dia meninggal pada 1935 dan meninggalkan kekayaan yang cukup besar untuknya.
Banda menjadi selebritas sosial di Batavia. Ketika Perang Dunia II meletus, rumahnya diambil alih dan menjadi tempat pertemuan para perwira Jepang. “Dia menjadi mata-mata secara kebetulan,” tulis Mahoney. “Dia hanya perlu mendengarkan pembicaraan penjajah Jepang dan gosip dari kolaboratornya orang Eurasia, yang dia lihat setiap hari ketika mengajar.”
Banda meneruskan semua informasi yang dipelajarinya kepada gerakan bawah tanah Indonesia. “Mereka kemudian meneruskannya ke dinas intelijen Inggris, yang bekerja dengan para gerilyawan di hutan, untuk disiarkan melalui radio ke London,” tulis Mahoney.
Sedangkan menurut Richard Trahair dalam Encyclopedia of Cold War Espionage, Spies, and Secret Operations, Banda memberikan informasi kepada gerakan bawah tanah Indonesia tentang orang-orang Eurasia yang mendukung Jepang.
Untuk menghindari kecurigaan, Banda menyampaikan sedikit informasi kepada Jepang yang menganggapnya berharga karena mereka tidak memiliki sumber lain untuk membandingkan informasinya. “Dia memberikan disinformasi kepada Jepang,” tulis Trahair.
Mahoney menyebut Banda sebagai agen ganda, tapi kesetiaannya kepada Sekutu dan rakyat Indonesia. “Dia mampu mengumpulkan informasi tanpa menggunakan trik seksual apa pun,” tulis Mahoney.
Direkrut CIA
Setelah perang, kata Mahoney, Banda diam-diam bekerja untuk kemerdekaan Indonesia dengan pemimpin pejuang kemerdekaan, Sukarno, yang kemudian terpilih sebagai presiden Indonesia yang baru merdeka.
“Banda bekerja untuk Achmed Sukarno, yang menentang kembalinya pemerintahan kolonial Belanda atas Indonesia setelah Perang Dunia II. Dia memberinya rencana rahasia untuk memulihkan supremasi kolonial Belanda, dan dengan demikian membantunya melawan upaya Belanda,” tulis Trahair.
Banda jatuh cinta dan menikah dengan seorang pemimpin gerilyawan Indonesia yang yakin bahwa satu-satunya cara bisa merdeka adalah bersekutu dengan faksi komunis. Banda meyakinkannya bahwa itu pendekatan yang salah. Dia berhasil mengajaknya untuk melawan komunis dan mendukung kebijakan Inggris dan Amerika Serikat di Asia Tenggara.
“Banda kemudian pergi ke Washington, mungkin atas perintah Inggris, untuk memohon peningkatan dukungan Amerika Serikat bagi rencana Inggris untuk kemerdekaan Indonesia,” tulis Mahoney.
Amerika Serikat sendiri telah menempatkan agen CIA pertama di Indonesia, yaitu Arthur Campbell. Pada 1948, dia mengatur misi Kapolri pertama Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo ke Amerika Serikat. Tujuannya studi banding dan meminta persenjataan untuk memperkuat Mobile Brigade (kini Brimob) untuk melawan komunis.
“Saat [Banda] berada di Washington, suaminya dibunuh oleh agen Komunis Indonesia dan dia direkrut oleh CIA,” tulis Mahoney.
Menurut Trahair, pada 1949 Mao Zedong mendirikan Republik Rakyat China. Banda dikirim ke China untuk mendapatkan informasi tentang Red Chinese Army dan pandangan Uni Soviet tentang rezim China baru ini.
“Dia terus bekerja bersamaan untuk intelijen Inggris dan CIA dan dikirim dalam misi ke China, di mana dia memperoleh informasi berharga tentang dukungan Rusia kepada China Komunis dan kekuatan Red Chinese Army,” tulis Mahoney.
Pada Maret 1950, Banda ditugaskan ke Korea Utara oleh petugas kasus gabungan Inggris-Amerika. Dia dikenali oleh bekas kontaknya, seorang Indonesia, yang bekerja di markas militer Korea Utara. Tidak lama setelah tiba di Korea Utara, dia pun ditangkap dan dieksekusi oleh regu tembak.
No comments:
Post a Comment