Mengapa Mereka Enggan Mendekati Pintu Penguasa?
Mereka sangat hati-hati. Selalu takut murka Allah Ta’ala. Mereka enggan mendatangi penguasa, walau hanya untuk mengajar ilmu. Mereka tak pernah mau dan tertarik dengan hadiah penguasa. Apapun bentuk hadiah itu. Itulah ciri ulama salaf yang penuh dengan kemuliaan. Mereka hidup dengan zuhud dan wara’, serta menjauhi dunia.
Imam Malik suatu kali diminta Khalifah Harun Ar-Rasyid berkunjung ke istana dan mengajar hadist kepadanya. Tidak hanya menolak datang, tapi ulama yang bergelar Dar Al Hijrah itu, malah meminta agar Khalifah yang datang sendiri ke rumah beliau untuk belajar. “Wahai Amirul Mukminin, ilmu itu didatangi, tidak mendatangi”, ucap Imam Malik.
Dan, akhirnya Harun Ar-Rasyid yang datang ke rumah Imam Malik untuk belajar. Demikian sikap Imam Malik, ketika berhadapan penguasa yang adil sekalipun seperti Ar-Rasyid, tetap diberlakukan sama dengan para pencari ilmu lainnya dari kalangan rakyat jelata.
Suatu hari Harun Ar-Rasyid meminta kepada Abu Yusuf, qadhi negara waktu itu, untuk mengundang para ulama hadist agar mengajar hadist di istananya. Tapi tidak ada yang menanggapi undangan itu. Kecuali dua ulama, yaitu Abdullah bin Idris dan Isa bin Yunus, mereka bersedia mengajarkan hadist, tapi dengan syarat, belajar harus dilaksanakan di rumah mereka, dan tidak di istana.
Kemudian, kedua putra Harun Ar-Rasyid, Al Amin dan Al Makmun mendatangi rumah Abdullah bin Idris. Dan, mendapat seratus hadist. Selanjutnya, pergi menuju ke Isa bin Yunus. Usai belajar, Al Makmun memberikan hadiah 10 ribu dirham, dan Isa bin Yunus menolak. “Hadist Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, tidak untuk mendapatkan apa-apa, walau hanya segelas air untuk minum”, ucap Isa bin Yunus.
Para ulama dalam kitab Adab As-Syari’iyah, menegaskan bahwa kedekatan ulama dengan penguasa bisa menimbulkan fitnah. Menurut Abu Hazim, ulama di masa tabi’in, menyatakan, di masa sebelum beliau, jika umara mengundang ulama, ulama tidak mendatanginya. Jika umara memberi, ulama tidak menerimanya. Jika mereka memohonnya, mereka tidak menurutinya. Kemudian, para penguasa yang mendatangi pintu-pintu ulama dan mereka bertanya. (Riwayat Abu Nu’aim).
Kedekatan ulama dengan penguasa merupakan aib oleh para ulama saat itu. Abu Hazim mengatakan, “Sebaik-baik umara adalah mereka yang mendatangi ulama, dan seburuk-buruk ulama adalah mereka yang mencintai penguasa”, ucapnya. Wahab bin Munabih lebih tegas lagi, dan menyatakan, agar para ulama menghindari pintu penguasa, karena di pintu-pintu mereka itu ada fitnah. “Kau tidak akan mendapatkan dunia mereka, kecuali setelah mereka membuat musibah pada agamamu”, ucapnya. (Riwayat Abu Nu’aim).
Menurut para ulama, keakraban dengan penguasa bisa menyebabkan sang ulama kehilangan keikhlasan. Karena ketika mereka mendapatkan imbalan dari apa yang mereka berikan kepada penguasa, maka hal itu dapat menimbulkan perasaan ujub, dan akan kehilangan wibawa dihadapan penguasa.
Ujung-ujungnya, mereka tak mampu lagi melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, jika para penguasa itu melakukan kesalahan. Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, bersabda, “Barangsiapa tinggal di padang pasir, dia kekeringan. Barangsiapa mengikuti buruan ia lalai. Dan, barangsiapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa, maka ia terkena fitnah”. (Riwayat Ahmad).
Begitu agungnya akhlak para ulama salaf. Mereka menjaga kejujurannya sebagai seorang ulama yang merupakan perwaris para Nabi.
Para Ulama Salaf Menolak Pemberian Penguasa.
Muhammad bin Rafi’ An Naisaburi,ulama hadist di zaman Imam Bukhari, menerima utusan dari Amir Thahir bin Abdullah al Khuza’i, seorang penguasa waktu itu. Utusan itu menemui Rafi’ yang sedang makan roti, dan menyodorkan uang lima ribu dirham. Sekantong uang diletakkan didekat Muhammad Rafi’. “Ambillah harta itu untukmu, saya tidak membutuhkan. Saya sudah berumur 80 tahun, sampai kapan saya akan terus hidup?”, ujar Muhammad Rafi’ .
Akhirnya, utusan itu pergi dengan sekantong uang dirham. Namun, setelah utusan itu pergi, putra Muhammad, muncul dari dalam rumah, seraya berkata, “Wahai ayah, malam ini kita tidak memiliki roti!”, ujar anaknya,sebagai dikisahkan Ad-Dzahabi di dalam Thabaqat al Huffadz.
Imam al Auza’I setelah memberi nasehat Khalifah Al-Mansur, beliau meminta izin, pergi demi menjenguk anaknya di negeri lain. Al Mansur merasa Al Auza’I berjasa, karena nasehat-nasehatnya, dan Al Mansur bermaksud memberikan ‘bekal perjalanan’ untuk ulama itu. Namun, sebagaimana dikisahkan dalam kitab Al Mashabih al Mudzi, Imam Al Auza’I menolak. “Saya tidak membutuhkan semua itu. Saya tidak sedang menjual nasehat, walau untuk seluruh dunia seisinya”, tegas Al Auza’i.
Abu Hasan Al Karkhi termasuk yang menolak pemberian penguasa. Saat beliau menderita sakit keras, empat shahabatnya menjenguk, merasa iba dengan keadaan Al Karkhi. Akhirnya, mereka berunding mengenai biaya pengobatan. Karena tidak ingin memberatkan umat Islam, mereka bersepakat untuk meminta penguasa waktu itu, yaitu Saif Ad Daulah agar memberikan bantuan. Selanjutnya, mereka mengabarkan kepada Al Karkhi.
Tetapi, ulama itu bukan malah senang dengan kabar yang datang. Al Karkhi menangis, dan berdo’a , “Ya Allah. Jangan Engkau jadikan rezeki untukku, kecuali apa yang biasa engkau berikan”, do’anya. Dan, do’a Al Karkhi itu terkabul. Beliau wafat terlebih dahulu, sebelum bantuan itu sampai. Barulah, setelah Al Karkhi wafat bantuan itu tiba, berupa sepuluh ribu dirham. Itulah kehidupan para ulama salaf di zaman dahulu. (sumber : gardumuslim)
No comments:
Post a Comment