H Agus Salim: Pemimpin yang Menderita
Dalam catatan sejarah banyak sekali kita dapati para pemimpin yang mengimplementasikan pepatah Belanda tersebut. Tentu saja dimulai dari kepemimpinan Rasulullah ﷺ, Amirul Mukminin Radiyallahu Anhum hingga para sultan dan raja-raja yang terkenal adil dalam jejak rekam sejarahnya.
Dalam masa perjuangan memerdekakan Republik ini, sejarah emas Indonesia banyak menorehkan kisah keteladanan para pemimpin bangsa. Salah satunya adalah H. Agus Salim.
Menurut Mr. Kasman Singodimejo, slogan Leiden Is Lijden yang bermakna memimpin adalah menderita sangat melekat erat dalam identitas khas sang guru bangsa itu. Pejuang berjuluk The Grand Old Man (Sesepuh Agung) itu memang dikenal sangat bersahaja dalam kehidupannya.
Agus Salim Sang Jenaka Penopang Republik adalah salah satu putra terbaik Indonesia asal ranah Minang. Tokoh pergerakan yang masih keponakan dari ulama besar Syaikh Khatib Al Minangkabawi itu sangat jenius dalam bidang bahasa.
Sang Poliglot itu dikabarkan menguasai sedikitnya sembilan bahasa asing secara aktif. Diplomat ulung yang bernama asli Masyhudul Haq itu sangat disegani di kalangan kawan maupun lawan baik di dalam negeri maupun mancanegara.
Sesuai arti namanya, sang pembela kebenaran itu sangat cakap menjaga kedaulatan Indonesia di mata Internasional. Beliau bisa berbicara atas nama bangsa Indonesia tanpa harus ”menjual” Indonesia layaknya menyajikan masakan gratis atas nama investasi di atas piring-piring para kapitalis seperti yang kini jamak terjadi.
Pengkader para pejuang muda bangsa macam Mohammad Natsir, Roem, Kasman Singodimejo, Prawoto dll itu sangat dihormati oleh Presiden Soekarno. Karena kepiawaiannya dalam berdiplomasi, Bung Karno tidak pernah ragu menaruh beliau di garda terdepan gerbong diplomasi Indonesia.
Sebab Presiden Soekarno paham bahwa beliau orang yang tepat, tidak akan gadaikan kehormatan bangsanya untuk mengemis-ngemis kepada bangsa asing. Diplomasinya elegan dan pasti didengar oleh bangsa asing. Namun hanya satu kelemahan beliau, yakni hidupnya selalu melarat.
Seorang profesor, sekaligus Perdana Menteri Belanda (1945-1946), Willem Schermerhorn dalam buku hariannya, Het Dagboek van Schermerhorn, secara gamblang pernah memuji sosok Haji Agus Salim. Menteri Muda Luar Negeri periode 1946-1947 itu digambarkan sebagai sosok ouwer heer (orang tua) yang sangat pintar.
Bahkan bisa dikatakan paling cerdas di antara para perwakilan Republik (Indonesia) yang pernah ditemui Schermerhorn selama masa perjuangan diplomasi. “Dalam hubungan ini saya khusus ingat kepada Salim, yang pada suatu hari akan saya undang di Istana sini. Orang tua yang sangat pintar ini seorang jenius dalam bidang bahasa, bicara, dan menulis dengan sempurna, paling sedikit sembilan bahasa. Salim hanya memiliki satu kelemahan: selama hidupnya dia melarat,” kata Schermerhorn.
Padahal jika mau memilh hidup ”normal” beliau akan kaya raya. Tetapi beliau lebih memilih melarat karena tidak mau diikat oleh dunia. Beliau memilih jalan para sholihin yakni wara’ dan zuhud, sebab jiwanya sudah kaya. Jangankan meminta kenaikan gaji dan tunjangan seperti para anggota dewan saat ini, berfikir mengenai hal itu saja tidak terlintas dalam benaknya.
Salah satu dari sembilan perumus Pembukaan UUD 45, anggota dewan Volksraad, diplomat ulung yang meraih pengakuan internasional pertama bagi RI, dan Menteri Luar Negeri era revolusi itu sampai akhir hayatnya hidup berpindah-pindah. Sepanjang hidupnya H. Agus Salim hidup nomaden, berpindah-pindah dari kontrakan di satu gang ke gang lainnya di berbagai kota.
Baru setelah kematiannya, selang beberapa tahun kemudian, anak-anaknya patungan untuk membeli rumah kontrakannya itu demi mengenang sang ayah. Inilah sekelumit gambaran salah satu sosok pemimpin dari kalangan pribumi yang mulai langka di zaman ini.
Seorang pemimpin yang konsisten memilih jalan menderita dalam laku nyata bukan slogan kampanye belaka. Pemimpin yang berwawasan luas, cakap, paham agama, dan bisa mendengar pendapat orang lain.
Pemimpin yang mampu menyatukan bangsanya dan meredam seteru sesama anak bangsa meski berbeda pendapat. Sebab sejatinya pemimpin memang boleh dikagumi namun bukan untuk difanatiki sepenuh mati.
Pemimpin juga harus merasa legawa jika memang salah karena mereka bukanlah nabi yang ma’shum. Pemimpin juga harus mau dikritisi karena mereka hidup di dunia nyata yang di dalamnya ada potensi untuk melakukan kesalahan maupun kebenaran.
Sebab yang tak bisa dikritisi hanyalah seorang Pemimpi yang hidup hanya di ruang imaji dimana di dalamnya nilai benar dan salah bisa ditentukan sesuai kehendak pribadi. Semoga negeri kita dikarunia oleh Allah para pemimpin yang benar-benar bisa merasa menderita demi rakyatnya.
Bukan hanya seorang pemburu kuasa yang hanya bisa jadi “leiders die het de mensen vertellen” alias pemimpin yang menderitakan rakyat. Setidaknya semoga lekas muncul H. Agus Salim – H. Agus Salim yang baru di negeri ini. Wallahu A’lam Bis Showab.
Murid Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan, Pembaca Sejarah
No comments:
Post a Comment