Abu Nawas Jadi Korban Mimpi Baginda, Dendam pun Tak Bisa Dicegah
URUSAN mimpi memang bisa menjadi masalah. Apalagi kalau pejabat tinggi yang bermimpi. Semua bisa jadi tak masuk akal dan kelewatan. Begitu juga yang terjadi di era Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Sebelumnya, ada kasus Qadhi (Kadi) yang memaksa pemuda Mesir untuk melamar putrinya dengan seluruh harga yang ia miliki. Pemaksaan itu dasarnya adalah mimpi si pemuda itu.
Akibatnya, pemuda Mesir itu bangkrut dan mendadak menjadi miskin. Untung Abu Nawas menyelamatkannya, sehingga pemuda itu bisa pulang ke Mesir dan membawa kembali hartanya.
Nah, kini giliran Abu Nawas yang menjadi korban. Pelakunya bukan sembarang orang. Dia adalah Baginda Raja.
Lihatlah, Abu Nawas yang tidak berdaya. Ia hanya tertunduk sedih mendengarkan penuturan istrinya. Tadi pagi beberapa pekerja kerajaan atas titah langsung Baginda Raja membongkar rumah dan terus menggali tanpa bisa dicegah. Kata mereka semalam Baginda bermimpi bahwa di bawah rumah Abu Nawas terpendam emas dan permata yang tak ternilai harganya.
Maka ia pun memerintahkan pekerja untuk membuktikan mimpinya itu. Hasilnya, mimpi hanyalah kembang tidur saja. Tak ditemukan emas dan permata di rumah Abu Nawas. Hal yang membuat Abu Nawas sangat kesal bahkan dendam, jangankan mengganti kerugian, meminta maaf pun Baginda tidak lakukan.
Lama Abu Nawas memeras otak, mencari cara membalas dendam. Ia ingin mencari muslihat yang setimpal. Makanan yang dihidangkan oleh istrinya tidak dimakan karena nafsu makannya lenyap. Malam pun tiba, namun Abu Nawas tetap tidak beranjak. Keesokan hari Abu Nawas melihat lalat-lalat mulai menyerbu makanan Abu Nawas yang sudah basi, la tiba-tiba tertawa riang.
"Tolong ambilkan kain penutup untuk makananku dan sebatang besi." Abu Nawas berkata kepada istrinya.
"Untuk apa?" tanya istrinya heran.
"Membalas Baginda Raja," kata Abu Nawas singkat.
Dengan muka berseri-seri Abu Nawas berangkat menuju istana.
Seperti biasa, setiba di istana Abu Nawas membungkuk hormat dan berkata, "Ampun Tuanku, hamba menghadap Tuanku Baginda hanya untuk mengadukan perlakuan tamu-tamu yang tidak diundang. Mereka memasuki rumah hamba
tanpa izin dari hamba dan berani memakan makanan hamba."
"Siapakah tamu-tamu yang tidak diundang itu wahai Abu Nawas?" sergap Baginda kasar.
"Lalat-lalat ini, Tuanku," kata Abu Nawas sambil membuka penutup piringnya. "Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Baginda junjungan hamba, hamba mengadukan perlakuan yang tidak adil ini."
"Lalu keadilan yang bagaimana yang engkau inginkan dariku?"
"Hamba hanya menginginkan izin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba bisa dengan leluasa menghukum lalat-lalat itu."
Baginda Raja tidak bisa mengelakkan diri menolak permintaan Abu Nawas karena pada saat itu para menteri sedang berkumpul di istana. Maka dengan terpaksa Baginda membuat surat izin yang isinya memperkenankan Abu Nawas memukul lalat-lalat itu di manapun mereka hinggap.
Tanpa menunggu perintah, Abu Nawas mulai mengusir lalat-lalat di piringnya hingga mereka terbang dan hinggap di sana sini. Dengan tongkat besi yang sudah sejak tadi dibawanya dari rumah, Abu Nawas mulai mengejar dan memukuli lalat-lalat itu. Ada yang hinggap di kaca.
Abu Nawas dengan leluasa memukul kaca itu hingga hancur, kemudian vas bunga yang indah, kemudian giliran patung hias sehingga sebagian dari istana dan perabotannya remuk diterjang tongkat besi Abu Nawas. Bahkan Abu Nawas tidak merasa malu memukul lalat yang kebetulan hinggap di tempayan Baginda Raja.
Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruan yang telah dilakukan terhadap Abu Nawas dan keluarganya. Dan setelah merasa puas, Abu Nawas mohon diri. Barang-barang kesayangan Baginda banyak yang hancur. Bukan hanya itu saja, Baginda juga menanggung rasa malu. Kini ia sadar betapa kelirunya berbuat semena-mena kepada Abu Nawas.
Abu Nawas pulang dengan perasaan lega. Istrinya pasti sedang menunggu di rumah untuk mendengarkan cerita apa yang dibawa dari istana.
(mhy)Miftah H. Yusufpati
No comments:
Post a Comment