Mulia dengan Ilmu dan Iman

Mengukur manusia dengan jasadnya sama seperti menyerupakan manusia dengan makhluk lainnya. Cuma mungkin agar sedikit berbeda lalu dibuat tambahan aspek penilaian disana sini.
Mulia dengan Ilmu dan Iman
Mahladi/hidayatullah.com
Generasi muda Muslim di Raja Ampat, Papua Barat.

FITRAH manusia asalnya mulia. Allah mencipta manusia sebagai sosok mulia. Bahkan memotivasinya berlomba-lomba meningkatkan kemuliaan. Seperti bahagia, mulia juga idaman setiap manusia. Tak seorang pun manusia suka dihina dan ternista dalam hidupnya. Apapun akan dipertahankan dan dibelanya, jika itu dianggap simbol kemuliaan seseorang.

Firman Allah, “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra [17]: 71).

Soalannya, apakah manusia boleh bercukup dengan kemuliaan fisiknya? Hanya karena orang itu dicipta berbeda dengan makhluk-makhluk yang lain? Bahwa selain fisik yang paripurna, manusia juga dibekali perangkat akal dan hati. Akal adalah alat untuk menalar dan menimbang sesuatu sedang hati tempat bercermin dengan kejernihan bak telaga.

Bagi orang beriman, kemuliaan tak cukup dengan bersandar pada sempurnanya fisik semata. Sebab demikian itu hanya sesaat. Fana dan segera lenyap begitu saja. Mengukur manusia dengan jasadnya sama seperti menyerupakan manusia dengan makhluk lainnya. Cuma mungkin agar sedikit berbeda lalu dibuat tambahan aspek penilaian disana sini.

Buya Hamka dalam karya berjudul Pribadi, mengutip sebuah pepatah Arab yang menyatakan: “Aqbil ‘ala an-nafsi, wa-ahsin fadhaailahaa. Fainnaka bin-nafsi laa bil-jismi insaanun.” (Fokuskan dirimu pada jiwamu, dan sempurnakanlah keutamaan-keutamaannya. Sebab, pada hakikatnya, anda disebut manusia, karena jiwa anda, bukan karena tubuh anda).

Realitasnya, tak sedikit manusia terjebak dengan asumsi keliru tentang mulia tersebut. Sebagian mengartikan mulia (al-izzah) sebagai capaian dan prestasi dunia semata. Merasa dirinya (lebih) mulia hanya gara-gara hartanya yang lebih banyak atau kekuasaannya yang lebih tinggi, dan seterusnya.

Akibatnya, orang berlomba-lomba mengejar dunia dan menjadikannya tujuan nomor satu di setiap aktivitasnya. Mereka disibukkan dengan urusan jasad semata. Baik fisik secara rangka biologis ataupun fisik secara bangunan infrastruktur. Hari-harinya tersita hanya mengurus materi dan kebendaan saja. Ia lalai dari hakikat dirinya sendiri sebagai manusia yang sebenarnya bertumpu pada jiwanya.

Untuk itu mari mengetuk hati. Merenungi kembali apa yang digariskan Allah, Sang Pemilik kehidupan. “… Padahal izzah itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya, dan bagi orang-orang beriman…” (QS. Al-Munafiqun [63]: 8).

Bahwa sumber mulia itu dari Allah, Dia-lah penggenggam kemuliaan, yang memuliakan siapa saja makhluk-Nya yang diinginkan mulia dan menistakan siapa yang dikehendaki menjadi hina. Barometernya adalah ilmu, iman, dan amal shaleh. Bukan yang lain. Sebab selainnya hanyalah bonus hadiah dari Sang Khaliq Yang Maha Pemurah.

Maka, tak ada yang keliru dari segala obsesi dan cita-cita tinggi manusia di dunia. Asal jangan sampai pekerjaan dan kesibukan itu melalaikan dari mengingat Allah dan beribadah kepada-Nya. Sebab mulia itu ketika ia memilih tersungkur hina bersujud di hadapan-Nya. Mulia itu ketika berilmu tapi makin tersadar akan kebodohannya.

Sebaliknya, merugilah manusia yang gara-gara mengejar dunia untuk dibilang sukses dan dianggap mulia, sedang dirinya tak lebih dari orang yang dipenjara oleh keinginan hawa nafsunya. Ketahuilah itu hanya kebahagiaan semu yang berbalut dusta belaka. Setiap waktu, ia mesti bersembunyi di balik topeng atas nama pencitraan.*

No comments: