Ulama Salaf Bersedih karena Kehilangan Waktu Tahajjud

Selasa, 2 Juli 2019 - 08:14 WIB Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdo'a kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap
  Ulama Salaf Bersedih karena Kehilangan Waktu Tahajjud

BIASANYA kesedihan sering kali dikaitkan dengan masalah materi, misalnya: kehilangan pekerjaan, jabatan, kekayaan, pasangan dan lain sebagainya. Hal itu seringkali membuat orang berduka cita. Namun, tidak demikian dengan ulama salaf. Mereka mempunyai pandangan berbeda dari kebanyakan orang.
Bagi mereka, kesedihan atau duka yang dirasakan adalah ketika tak dapat beribadah, misalnya: kehilangan shalat malam atau tahajud. Terkait hal ini, ada kisah menarik untuk dijadikan pelajaran dari ulama terdahulu berkaitan dengan masalah tersebut. Dalam catatan sejarah mereka disebut: “Ruhbānul-laīl wa fursānun-nahār” (menjadi seperti rahib [ahli ibadah] di malam hari, dan menjadi ksatria di siang hari).
Salah satu cerita sedih mereka saat tak bisa menunaikan tahajud adalah sebagai berikut. Ada seorang ulama ‘salafush-shālih’ (ulama salaf) bernama `Athā` al-Khurasāni berkata, ‘Sesungguhnya orang bangun malam menunaikan shalat Tahajud akan mendapat kegembiraan dalam hatinya lantaran bisa menunaikannya. Sedangkan ketika matanya mengantuk hingga tertidur dan tak bisa menunaikan Tahajud, maka ketika (bangun) Subuh ia merasa sedih, merasa patah hati (merasa kalut) seakan-akan ia telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga baginya.” (Al-Mawarzi, Mukhtashar Qiyâmul Lail, 54)
Luar biasa, yang membuat sedih ulama salaf ialah ketika tidak bisa menunaikan shalat Tahajud, karena tertidur. Mereka sangat bersedih dan merasa patah hati. Dalam perkara kehilangan ibadah sunnah saja, seperti tahajud mereka sedemikian sedih, apalagi dalam perkara ibadah wajib? Sebuah semangat yang patut diteladani.
Ada lagi pernyataan menarik dari Ibnu Abid Dunyā dalam “Al-Tahajjudu Wa Qiyâmu Al-Laili” terkait fenomena yang sama, diriwayatkan ada ulama salaf yang bernama: Syuraih bin Hāny. Syuraih berkata, “Orang (salaf) lebih mudah kehilangan (kesempatan tidur) daripada kehilangan kesempatan (untuk menunaikan shalat malam)”. Sebagai contoh, menjelang wafatnya Abu As-Sya`tsā menangis. Lalu ada yang bertanya kepada beliau, “Apa yang membuatmu menangis?” Ulama salaf itu menjawab, “Aku (merasa) belum puas menunaikan shalat malam.” (Mausū`ah al-Buhūts wa al-Maqālāt al-‘Ilmiyyah, 3).
Dalam hadits pun dijelaskan bahwa ketika Rasulullah ﷺ luput tidak menunaikan Tahajud maka belia menggantikannya dengan shalat Dhuha 12 rakaat, sebagaimana hadits berikut: “Rasulullah ﷺ punya kebiasaan ketika tidak mengerjakan shalat malam karena sakit atau yang lainnya, beliau shalat di siang harinya sebanyak 12 rakaat.” (HR. Muslim). Ini berarti Rasul pun merasa kehilangan dan sedih ketika tak bisa menunaikannya, sehingga menggantinya dengan shalat Dhuha 12 rakaat.
Lebih dari itu, menurut riwayat Tirmidzi, shalat tahajud atau malam adalah sudah menjadi kebiasan orang-orang saleh. Sabda Nabi, “Hendaklah kalian melaksanakan shalat malam secara baik. Karena itu adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian. Sesungguhnya shalat malam bisa mendekatkan diri kepada Allah, mencegah diri dari perbuatan dosa, menghapus keburukan dan bisa mengusir penyakit dari jasad.”
Pembaca mungkin akan bertanya-tanya: Apa yang membuat mereka sedemikian sedih ketika tertinggal shalat tahajud lantaran tertidur? Di antara jawabannya adalah: mereka telah merasakan “Halāwatul-Īmān” (manisnya iman). Sedangkan manisnya iman –salah satunya– bisa dirasakan oleh orang membiasakan diri atau mendawami ibadah misalnya shalat tahajud dengan ikhlas untuk memperoleh ridha-Nya.
Mereka adalah mukmin sejati, yang digambarkan al-Qur`an dengan uangkapan demikian:
تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفاً وَطَمَعاً وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdo’a kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan.” (QS. As-Sajdah [32]: 16).
Itulah mengapa mereka sampai bersedih hati ketika tertinggal atau kehilangan waktu tahajjud.*/Mahmud Budi Setiawan

No comments: