Haramkah Bekerja di Bank Konvensional?

Bekerja di bank konvensional menurut jumhur ulama tidak diperbolehkan, telah difatwakan keharamannya

Haramkah Bekerja di Bank Konvensional?


Agus Fianuddin, SHI, ST, MA, Dosen FEBI UIN Ar-

Agus Fianuddin, SHI, ST, MA, Dosen FEBI UIN Ar-Raniry, Praktisi perbankan

Bekerja di bank konvensional menurut jumhur ulama tidak diperbolehkan, telah difatwakan keharamannya bagi seorang muslim walaupun pekerjaannya tidak berhubungan langsung dengan sistem ribawi, tetapi karena ianya telah membantu menyediakan keperluan bagi para pegawai yang melakukan transaksi dengan sistem tersebut. Masalah ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah Ayat 2 “Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam membuat dosa dan permusuhan.” Yang menjadi masalah adalah bagaimana hukum bagi seorang muslim yang berkerja di bank syariah?
Ada suatu kaidah fiqh yang sangat masyhur yang berbunyi “maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu” artinya sesuatu yang tidak bisa dicapai seluruhnya jangan ditinggalkan seluruhnya. Maksud kaidah tersebut adalah bila kita tidak bisa mengamalkan sebuah amalan secara menyeluruh dan sempurna, maka tidak masalah bila melaksanakan sebagiannya saja sesuai dengan batas kemampuan. Karena sesungguhnya melaksanakan sebagaian amal shalih itu lebih mulia daripada meninggalkannya sama sekali.
Hal ini sama kaitannya dengan bank syariah. Kalau anggapan sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa itu belum syariah sepenuhnya maka hendaknya jangan meninggalkan bank syariah itu sendiri, jangan hanya karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang kita anut lalu tidak mau melakukan transaksi atau tidak mau bekerja lagi pada bank tersebut. Ini sama halnya telah menghancurkan bank syariah, kalau semua masyarakat tidak mau bertransaksi dengan sistem syariah, maka seiring waktu bank syariah akan tutup dan beralih kembali ke sistem konvensional yang jelas keharamannya.
Jika dalam perbankan syariah masih ada kekurangan bukan berarti harus ditinggalkan, akan tetapi diperbaiki bersama-sama dimana letak kekurangannya, yang lebih parah lagi adalah berhenti atau tidak mau bekerja di bank syariah (resign). Kalau hal ini terjadi maka siapa yang akan bekerja dan mendakwahkan masyarakat agar melakukan transaksi muamalah secara syariah, ini sangat patut disayangkan.

Masyarakat dan para pekerja yang ada di bank syariah merupakan volunteer dalam mendakwahkan umat untuk melakukan transaksi keuangan dengan prinsip keislaman.

Dakwah awal kenabian
Cara Nabi Muhammad SAW berdakwah dapat menjadi contoh bagi kaum muslimin bagaimana cara mengubah mindset masyarakat dari sistem jahiliyah ke peradaban yang berbudi pekerti baik. Sama halnya mengubah sistem transaksi yang telah berjalan selama ini di masyarakat, yaitu sistem ribawi ke transaksi muamalah yang bersyariah.

Nabi memulai dakwahnya di Mekkah dengan menyemaikan benih-benih tauhid ke dalam hati para sahabatnya, memberi gambaran keimanan kepada hari kiamat, tawakal dan pembersihan jiwa serta persaudaraan dan persatuan. Berbeda halnya dengan di Madinah yang lebih mudah karena masyarakatnya maju dan moderat, penekanan dakwahnya pun berbeda, yaitu lebih kepada menata pola hubungan kaum muslimin dan nonmuslin, membangun peradaban dan hukum syariat dan ibadah sudah mulai berjalan.
Bekerja di bank syariah adalah jihad bagi para pegawai yang ada di dalamnya. Hal yang paling penting adalah masyarakat sudah mulai memahami sistem perbankan syariah dan mau melakukan transaksi bisnisnya dengan bank syariah. Kekurangan pasti ada dan akan terus diperbaiki, ibarat seekor ular yang ingin masuk sebuah lubang, yang penting kepala ular sudah masuk badan dan ekornya pasti akan menyusul.
Seperti Nabi sewaktu berdakwah di Mekah, yang penting masyarakatnya mau menerima tauhid itu sudah cukup. Hukum Islam juga belum sempurna diterapkan dan tinggal diberi sosialisasi secara berkala tentang keislaman, maka akan mudah diterima ajaran Islam. Berbeda halnya dengan masyarkat di Madinah dimana hukum Islam sudah ditegakkan dan diterapkan di daerah tersebut.
Ada sebagian paradigma masyarakat yang mengatakan bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional, masyarakat belum memahami sepenuhnya bagaimana sistem pembiayaan di perbankan syariah sehingga lahirlah anggapan sama antara keduanya. Pemikiran seperti ini harus diluruskan dengan mensosialisasikan bahwa bank syariah tidak demikian, bisa dianalogikan seperti orang yang melakukan perbuatan zina dengan sepasang suami istri, kedua perbuatannya sama tetapi penzina diharamkan bahkan dicambuk sedangkan suami istri dihalalkan.
Asumsi bank syariah sama saja dengan bank konvensional seperti ini harus benar-benar hilang dalam pola pemikiran masyarakat dan perlu disosialisasikan secara berkesinambungan.
Diakui bahwa kekurangan pasti ada karena tidak ada yang sempurna selain zat-Nya Allah, akan tetapi mari benahi dan perbaiki bersama-sama, jangan ditinggalkan (resign) begitu saja. Karena keberadaan bank syariah di Indonesia masih sangat baru ibarat seorang bayi yang baru lahir dari ibunya, mustahil langsung bisa berjalan apalagi berlari, pasti butuh bantuan ibu dan keluarganya untuk belajar merangkak kemudian berjalan.
Yang penting adalah jangan kita tinggalkan bayi ini (bank syariah) sendiri, pasti akan mati sebelum dewasa atau layu sebelum berkembang atau hidup segan mati pun tak mau.

Halal dari DSN
Keberadaan Dewan Syariah Nasional (DSN) sebagai bodyguard bagi bank-bank syariah yang tumbuh bak jamur di musim hujan telah menjadi legitimasi bahwa bank syariah telah sesuai, walaupun belum sepenuhnya kaffah dengan prinsip-prinsip kaidah keislaman. DSN inilah yang dengan jelas menjamin kehalalan semua praktik bank syariah. Dengan adanya fatwa-fatwa versi DSN itu, maka bank-bank syariah di Indonesia akhirnya merasa tidak memiliki batu sandungan dalam hukum-hukum syariah.

Orang-orang yang duduk di Dewan Syariah Nasional adalah para ahli yang paling paham dan mengerti hukum halal haram dalam fiqih muamalat. Tidak sedikit dari mereka yang bergelar doktor, para konsultan perbankan, ulama, dan juga kiyai.
Seandainya masih ada anggapan “haram” bekerja di perbankan syariah dari sebagian karyawan dengan alasan dosa yang berlipat-lipat, yaitu dosa riba, qih (mengolah berbagai alasan), menipu masyarakat, menyelamatkan diri sendiri dari maksiat (dosa riba) tanpa mau tahu masyarakat akan kembali ke sistem konvensional (resign), maka hal ini patut untuk ditelaah kembali. Kalau mengatakan ingin hijrah silahkan, tetapi jangan menjastifikasi suatu kebenaran.
Oleh karena itu bertanyanyalah pada ahlinya, jangan ahli tafsir kita tanya tentang fiqih, ahli tasawuf kita tanya tentang muamalah pasti akan sedikit berbeda penafsirannya. Begitu juga jika ingin berobat jangan berharap pada dokter umum untuk semua jenis penyakit, tetapi datanglah pada dokter spesialis dan sebagainya, karena segala operasional yang ada diperbankan syariah selalu mengacu pada fatwa MUI-DSN yang tercermin dalam Pasal 1 ayat 12 UUPS 21 Tahun 2008: “Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”.
Dalam kasus perbankan syariah, kalau bukan umat Islam yang membesarkan bank syariah lantas siapa lagi yang diharapkan mendukung dan mau membantu agar tumbuh dan berkembangnya bank syariah ini? Wallahualam. cheuk.egueh@gmail.com

No comments: