Cut Nyak Dien, Kiai Sanusi, dan Takzim Rakyat Sumedang

Direktur Islam Nusantara Center, A Ginanjar Sya'ban di samping makam Cut Nyak Dien, Sumedang
Direktur Islam Nusantara Center, A Ginanjar Sya'ban di samping makam Cut Nyak Dien, Sumedang
Cut Nyak Dien diasingkan ke Sumedang dan dirawat KH R Sanusi.

A Ginanjar Sya’ban, PhD* 



Selasa (2/7) pekan lalu, saya dan sahabat saya Muhammad Tabrani Basya menziarahi makam Cut Nyak Dien, perempuan pahlawan besar dari Aceh, yang terdapat di kompleks pemakaman para Bupati Sumedang di Gunung Puyuh, Sumedang, Jawa Barat. 



Pada 11 Desember 1906, dua tahun setelah masa Perang Aceh berlalu (1873-1904), Cut Nyak Dien, salah satu tokoh terpenting dalam sejarah perang tersebut, ditangkap Belanda dan dibuang ke Sumedang di wilayah Priangan (Jawa Barat). Namun, Belanda membuang perempuan paling berpengaruh yang sudah beranjak tua dan kabur penglihatannya itu secara sembunyi-sembunyi.  


Adalah Pangeran Aria Soeria Atmadja, penguasa lokal (bupati) Sumedang ke-XX (memerintah sepanjang 1882-1919), yang mengambil alih urusan tawanan perang dari Aceh itu. Pangeran Aria Soeria Atmadja adalah bupati yang dikenal sangat dekat dengan ulama dan secara terbuka banyak mendukung syiar-syiar keagamaan Islam.


Sang Bupati pun turun tangan langsung untuk mengurus Cut Nyak Dien.Dia pun menyediakan tempat tinggal dan menunjuk KH R Sanusi (imam besar dan qadi Sumedang) dan Ibu Nyai Khodijah sebagai juru rawat Cut Nyak Dien. Dua tokoh inilah yang merawat Cut Nyak Dien dengan setia dan sebaik-baiknya.  


Meski demikian, identitas Cut Nyak Dien tetap disembunyikan. Tidak ada seorang pun masyarakat awam Sumedang yang mengetahui jika perempuan tua yang sudah rabun itu adalah sosok paling berpengaruh dalam sejarah besar Aceh. Yang mereka tahu, perempuan tua itu  adalah seorang guru ngaji yang hafal Alquran. Orang-orang Sumedang pun memanggilnya dengan sebutan "Ibu Prabu" atau "Iboe Soetji" sebagai panggilan penghormatan.  


Hampir dua tahun setelah masa pengasingannya di kota Sumedang yang tenang dan sejuk, Cut Nyak Dien wafat (6 November 1908). Beliau pun, atas restu Pangeran Aria Soeria Atmadja, dikebumikan di kompleks pemakaman kehormatan para bangsawan Sumedang. Dua orang terdekat yang mengurus Cut Nyak Dien, yaitu KH R Sanusi (w. 1907) dan Ibu Nyai Khodijah (w 1967), dimakamkan di sebelah pusara Cut Nyak Dien.   


photo


Makam KH R Sanusi


Makam Cut Nyak Dien sendiri baru diketahui dan ditemukan pada 1959, atau hampir 50 tahun setelah masa kewafatannya, ketika Gubernur Aceh masa itu, Ali Hasjmi, memerintahkan untuk mencari di mana letak kuburan Cut Nyak Dien berdasarkan arsip-arsip masa  kolonial Belanda.


Saat saya menziarahi makam Cut Nyak Dien, berkelebat pula bayangan bagaimana dulu pahlawan besar ini menghabiskan masa-masa terakhir hidupnya di kota Sumedang ini, di rumah KH Sanusi yang berdekatan dengan Masjid Agung Sumedang. 


Membayangkan aktivitas perempuan ini di pengasingan, halakah pengajian Alquran yang diasuh olehnya, penerimaan dan penghormatan masyarakat Sumedang atasnya, juga perlakuan istimewa yang diberikan   Bupati Sumedang Pangeran Aria Soeria Atmadja. 


Sang Bupati sendiri memutuskan untuk menghabiskan masa tuanya di Kota Suci Makkah, bermukim di sana beberapa tempo dengan beribadah dan menyokong aktivitas keilmuan orang-orang Sunda di sana. 


Di Makkah, Sang Bupati Sumedang ini dipastikan bertemu dengan Raden Mukhtar Natanagara Bogor (Syekh Mukhtar 'Atharid Bogor al-Jawi, w 1930), "saudara jauhnya" sesama bangsawan Sunda yang menjadi ulama besar di Makkah (Raden Mukhtar adalah putra dari Raden Natanagara, Bupati Bogor). 


Salah seorang bangsawan Sumedang dan masih terhitung sebagai kerabat Sang Bupati, yaitu Raden Sulaiman b Muhammad al-Sumedangi (al-Samadani), tercatat sebagai murid Syekh  Mukhtar Bogor yang dikemudian hari juga mengajar dan wafat di Makkah. 


Dalam memoarnya, ketika pada 1924 bupati Bandung Raden Adipati Aria Wiranatakoesoemah V (w. 1965) melakukan ibadah haji, beliau menyatakan bertemu dengan Syaikh Mukhtar Bogor dan juga menziarahi makam bupati Sumedang Pangeran Adipati Soeria Atmadja yang dia sebut dengan "Pangeran [Seda ing] Makkah". Luengputu Manuskrip Aceh Mizuar Mahdi Al-As. 


Sumedang, Zulkaedah 1440 Hijri (Juli 2019 M) 


* Direktur Islam Nusantara Centre

No comments: