Jalan Diponegoro dan Jalan Kiai Mojo


Sebelum menusukkan kerisnya ke atas langit untuk menggelorakan jihad akbar melawan penjajah Belanda, Diponegoro telah mempersiapkan gerakannya dua belas tahun sebelum 1825. Diam-diam, dalam kekuasaan penjajah yang menindas dan amat mudah menjebloskan seseorang yang belum tentu bersalah ke dalam penjara, atau malah langsung ditembak mati, Diponegoro diam-diam telah membangun pabrik-pabrik senjata dan mesiu di berbagai tempat terpencil dan bahkan di bawah jurang atau lereng terjal. Diponegoro juga melatih berbagai laskar dengan olah kanuragan, batin dan fisik, mental dan spiritual. Setiap laskar wajib mengetahui tujuan jihad fi sabilillah yang akan digelorakan semata-mata untuk menegakkan kalimat Allah: menegakkan al-haq dan menghancurkan al-bathil.




Sebab itu, saat perang berlangsung Jenderal De Kock sampai berkata heran: “Selama ini kami mengira orang Jawa itu lemah dan lembut, namun dugaan kami ternyata salah. Mereka adalah prajurit-prajurit yang tangguh dan ulet, berani maju ke medan tempur tanpa memperdulikan nyawanya sendiri!”
Saat Belanda untuk kesekian kali mematoki tanah makam leluhur Mataram, rakyat marah. Diponegoro pun mengambil momentum dengan memulai jihad fi sabilillahnya. Rakyat di berbagai daerah menyambut dengan pekik “Allahu Akbar”. Dalam waktu singkat ratusan ribu laskar telah terbentuk dan menghancurkan pasukan Belanda di banyak tempat hingga Belanda harus memanggil pasukannya yang ada di Sumatera, Borneo, Celebes, dan lainnya ke Jawa untuk mengeroyok para mujahidin Diponegoro. Belanda juga mendatangkan pasukan-pasukan pribumi, para pengkhianat Nusantara, untuk melawan Diponegoro. Belanda-Belanda ireng ini jauh lebih kejam dan buas ketimbang tentara bule sendiri dalam menghadapi para mujahidin.
Dua tahun pertama jihad Diponegoro, 1825-1827, Belanda dipukul mundur dan menderita kekalahan hebat. Pasukan-pasukan Belanda Ireng bisa dihancurkan. Mujahidin Mataram membebaskan Tanah Jawa sejengkal demi sejengkal dari cengkeraman kaum kufar dan antek-anteknya. Kekalahan besar ini membuat Belanda sadar jika barisan Mujahidin Diponegoro tidak bisa dihadapi dengan perang frontal. Maka Belanda mengubah taktit dengan Benteng-Stelsel disertai penguasaan teritorial yakni setelah suatu wilayah diduduki maka kepada rakyat setempat akan diberikan berbagai makanan, yang sebagiannya dilemparkan begitu saja dari kereta-kereta kuda kaum kolonial tersebut. Rakyat yang memang menderita kelaparan akibat perang pun banyak yang memunguti ‘hadiah-hadiah’ tersebut. Selain Benteng-Stelsel dan Penguasaan Teritorial, Belanda juga melancarkan politik Devide et Impera, dengan mendekati bujuk rayu, dan membina lalu mempengaruhi orang-orang terdekat Diponegoro dengan sangat halus, agar mau mengakhiri perang dan rekonsiliasi.



Kepada orang-orang terdekat Diponegoro, Belanda membujuk agar perang segera diakhiri karena hanya membawa kesengsaraan terhadap rakyat banyak. Belanda juga menawarkan berbagai hal dan kelezatan dunia kepada Diponegoro agar mau berunding dan berdamai. Namun semua itu ditolak mentah-mentah oleh Diponegoro.
Sejarah mencatat, taktik Belanda ini akhirnya menuai hasil. Panglima Sentot Prawiranegara tunduk dan ditangkap. Demikian juga dengan Kiai Mojo yang akhirnya meninggalkan Diponegoro hingga membuat Diponegoro sangat gusar dan tidak ingin melihat wajah Kiai Mojo lagi sampai mati.
Dalam Babadnya, Diponegoro menulis: “Sungguh perbuatan yang nista, berkelana hanya ingin hidup dan takut mati, ilmunya tidak bisa, perintahnya tidak bisa diteladani kata-katanya, ulama macam apa dia itu! Demikian Kiai Mojo, tidak saya ijinkan berunding, jika tidak berani berperang lebih baik pulang!”
Diponegoro sangat mengetahui karakter penjajah dan antek-anteknya yang penuh tipu daya, sehingga dia menutup rapat-rapat pintu perundingan (dalam istilah sekarang: rekonsiliasi). Kaum penjajah dan antek-anteknya hanya bisa dihancurkan dengan jalan perang, tidak dengan yang lain. Namun beberapa orang terdekatnya, yang masih menyisakan prasangka baik terhadap para penjajah, terbujuk dan mau menggelar perundingan diam-diam, tanpa sepengetahuan Diponegoro, hingga akhirnya mereka terperdaya dan akhirnya ditangkap Belanda.
Jalan Diponegoro adalah jalan para Nabi, yang setelah mendakwahkan Al-haq secara baik-baik namun malah ditertawakan dan dihujat serta ingin dibunuh, maka akhirnya memilih jalan jihad fi sabilillah tanpa kompromi. Hanya lelaki sejati yang sanggup bertahan dalam jalan ini, sendirian dalam kesempitan dunia, menjalani hari dalam kesunyian, dan kesusahan, demi memperjuangkan kebenaran (al-haq). Diponegoro sangat paham jika dunia hanyalah tempat untuk menabung amal demi anak cucu. Dia merasa sangat trenyuh melihat rakyatnya sengsara akibat perang, tapi dia terus berjuang karena apa yang diperjuangkan jauh lebih besar manfaatnya di masa depan, bagi anak cucu, ketimbang melihat yang sekarang. Apa yang dilihat sekarang belum tentu baik bagi masa depan. Diponegoro sangat mengerti hal ini.


Tidak ada kata damai terhadap penjajah dan antek-anteknya yang jelas-jelas berlaku curang, zalim, dan memusuhi agama Allah.
Sedangkan sejumlah orang terdekatnya masih menyisakan prasangka baik terhadap penjajah dan antek-anteknya, sehingga ketika dengan wajah dan mulut manis kaum penjajah mengeluarkan bujuk rayunya, bahkan banyak yang bersumpah atas nama tuhan, maka luluhlah hati mereka dan mau diajak ke meja perundingan. Mereka pada akhirnya tersadar telah salah memahami penjajah Belanda namun semuanya terlambat.
Di akhir episode Jihad Diponegoro, orang besar ini melalui hari dalam kesendirian, kesusahan, dan kesengsaraan, namun dia tidak pernah mengeluh sedikit pun.
Sesuai dengan tradisi Jawa dimana selama bulan Ramadhan semua peperangan dihentikan, maka demikian pula dengan Diponegoro. Belanda pun mengetahui dan menghormati hal ini. Bahkan di antara musuh pun sudah bisa saling silaturahmi.
Menjelang Ramadhan 1245 H (1830 M), de Kock menunjukkan itikad baiknya dengan memberikan beberapa kain dan bahkan juga kuda kepada Diponegoro. De Kock, seperti Ramadhan sebelumnya, juga mengundang Diponegoro dan pasukannya untuk bertemu dalam suasana ramah tamah. Namun kali ini ternyata de Kock menyimpan niat busuk. Pada hari Senin, 13 Ramadhan 1245 H (8 Maret 1830 M), Diponegoro memenuhi undangan de Kock bersilaturahmi di Karesidenan Kedu. Namun dengan penuh tipu daya de Kock menangkapnya.
Saat menyadari dirinya ditipu habis-habisan, Diponegoro marah. Dalam babadnya beliau mengaku bisa membunuh de Kock saat itu juga, namun diurungkan mengingat tidak elok jika dalam undangan silaturahmi yang seharusnya dipenuhi dengan sifat-sifat kebaikan dia harus menumpahkan darah, walau darah musuhnya sendiri. Diponegoro ditangkap, namun Diponegoro tetap tidak mau menyerah dan tidak mau mengakui kekuasaan penjajah Belanda. Sampai akhir hayatnya, Diponegoro tetap dalam komitmennya: hidupku hanya untuk meninggikan Kalimat Allah Swt. [end/rizki ridyasmara]
=======================================================================
Banyak buku atau novel terkait Pangeran Diponegoro ini, tapi sangat jarang sekali pemaparan kisah hidupnya dengan pendekatan tinjauan aqidah islam.
Novel ini sangat menarik untuk dibaca, saat ini adalah sekuel pertama dari 3 sekuel yang direncanakan. Pada sekuel pertama ini, diawali kisah diponegoro kecil yang beranjak dari kehidupan di lingkungan Istana hingga memulai pertempuran dengan Belanda. Novel ini membantah pertempuran diponegoro dengan belanda hanya sekedar makam leluhurnya yang di”beslah” pihak Belanda, jauh sekali alasan itu sebagai pemicu perangnya, apa alasan Diponegoro bertempur? Silahkan dilanjutkan dengan memiliki Buku ini…
Dan yang terpenting , kisah ini tersaji dengan mengalir, senikmat menonton dan jarang diungkap di buku buku lainnya terkait perjuangan beliau…
Selamat membacanya. .

No comments: