Jerat Utang dan Jatuhnya Khilafah Ustmani

Diantara jatuhnya Daulah Utsmani karena jerat utang yang dikucurkan Yahudi

Jerat Utang dan Jatuhnya Khilafah Ustmani
Ilustrasi: Sultan Hami II dan pasukan
ADA sepuluh faktor yang menjadi sebab kejatuhan atau keruntuhan Khilafah Utsmani. Syekh Shallabi dalm buku “al-Daulah al-Utsmāniyyah Awāmil al-Nuhūdh wa Asbāb al-Suqūth” (2001: 494-535) menyebutkan: rusaknya akidah “al-walā” dan “al-barā”, menyempitnya makna ibadah hanya pada ritual dan simbol, merebaknya fenomenah bid’ah dan syirik, adanya shufi yang menyimpang, menjamurnya aliran sesat, kelangkaan pemimpin agung, menutup pintu ijtihad, menyebarnya kezaliman, hidup foya-foya dan perpecahan internal.

Tanpa bermaksud mengecilka faktor-faktor tersebut, ada satu lagi yang sangat signifikan dan jarang disebut ketika membahas kejatuhan Khilafah Turki Utsmani, yaitu: terjerat utang.

Dalam buku “The Return of the Khalifate” (1996) –sebagaimana dinukil Zaim Saidi dalam “Ilusi demokrasi: kritik dan otokritik Islam” (2007: 58-59)—Syeikh Abdalqadir menandaskan bahwa hancurnya Daulah Utsmani bukan karena kekalahan militer, tapi karena jerat utang.

Tidak mengherankan jika zionis berada di balik itu semua. Dalam protokol Herzl (The Protocols of The Learned Elders of Zion ) ke-20 misalnya disebutkan “Kita harus berusaha agar bantuan (utang) luar negeri seakan-akan bantuan dalam negeri, agar kekayaan negara yang berutang akan terus mengalir ke perbendaharaan kita. Akal hewan bangsa non-Yahudi tidak akan mengerti bahwa utang kepada negara kapitalis akan menguras kekayaan negaranya sendiri. Sebab, bunga utang itu akan diambil dan hasil bumi negaranya atau masukan keuangan Iainnya.” (Afred, 2017: 148)


Mungkin pembaca masih ingat pada sosok bernama George Soros (Yahudi) yang berperan besar dalam meluluh lantakkan perokonomian Asia yang berdampak secara langsung pada krisis di Indonesia pada 1998. Lembaga-lembaga seperti PBB, IMF dan World Bank berada di bawah kendali mereka. Negara-negara kelas tiga seperti Indonesia harus menelan kegetiran itu akibat dipinjami uang berbunga tinggi oleh IMF dan World Bank yang tidak lain adalah kepanjangan tangan para zionis  (Ramdan, 2009: 29) Pola yang dilakukan sama seperti ketika menjatuhkan Daulah Utsmani.

Kembali pada sejarah kehancuran Turki Utsmani. Khilafah ini, sejak Sultan Mahmud II (yang memerintah sejak 1808-1839) dihancurkan oleh bankir-bankir melalui utang-utang untuk membiayai berbagai proyek. Jaringan para bankir dari Prancis, Inggris, Austria, Jerman dan Swiss serta keluarga-keluarga Rothschilds –yang notabene dari kalangan yahudi dan zionis– adalah biang keladi dibalik kehancuran itu.

Setiap kali ada proyek baru, terpaksa otoritas Istambul mengambil kredit dengan syarat mencekik, misalnya: bunga yang mencapai 60 %. Pada masa Sultan Abdul Aziz (1277-1293 H), Turki Utsmani dibanjiri utang.

Waktu itu utangnya mencapai 200 juta pound. Akibatnya, manajemen keuangan menjadi berantakan, bahkan Negara-negara Eropa –sebagai pemberi utang—sampai ikut campur pada urusan internal pemerintahan. Sehingga, untuk memulihkan kondisi daulah, maka ia harus dimakzulkan (Iwadh, 1969: 211)

Utang yang sedemikian banyak itu tentu berdampak luar biasa bagi pemimpin setelahnya. Setelah Abdul Aziz diangkatlah Murad V (1239-1293 H), namun tak berlangsung lama. Tak lebih dari 3 bulan, ia pun dimakzulkan. (Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam, 2013: 240).

Kemudian digantikan oleh Sultan Abdul Hamid II (1293-1328 H) yang menanggung beban berat atas utang yang menjarat daulah akibat pemimpin sebelumnya.

Pada saat memegang tampuk kekuasaan, kondisi negara begitu memprihatinkan dan genting. Di samping utang yang membelit, beliau juga diwarisi banyak akumulasi masalah dan kas negara pun kosong. Sehingga negara sangat mudah didikte negara asing yang mengutanginya. Belum lagi kasus lain seperti merebaknya korupsi, maraknya gerakan sparatis dan lain sebagainya, yang mustahil bisa dihadapi sendiri. (Indra, 2014: 227)

Dengan kondisi seperti itu, Sultan Abdul Hamid berjuang sedemikian rupa untuk mengatasi krisis. Hasilnya lumayan baik. Hanya saja, usahanya tidak akan dibiarkan begitu saja oleh para musuh utamanya yang dimobilisasi oleh gerakan zionis.

Ada hal menarik yang dicatat sejarah terkait Sultan Abdul Hamid II. Pada masanya, beliau pernah ditawari Theodore  Herzl (tokoh Zionis-Yahudi) banyak hal seperti: pemberian hadiah sebesar 150 juta poundsterling, membantu melunasi utang Turki Utsmani yang saat itu mencapa 33 juta poundsterling, membangun kapal induk untuk menjaga pertahanan senilai 120 juta frank, memberikan pinjaman tanpa bunga sebesar 35 juta poundstering dan lain sebagainya (Adian Husaini, 2002: 50-51)


Namun, semua pemberian itu ditolak dengan tegas. Sebab, jika diterima maka Sultan Abdul Hamid II akan mengalami nasib seperti pendahulunya. Selain itu, beliau tidak rela jika tanah Palestina direbut oleh zionis walaupun sejengkal sebab itu adalah tanah wakaf umat Islam. Lebih dari itu, dia tidak mau Daulah Utsmani didikte oleh negara asing.

Betapapun usaha Abdul Hamid II sangat bagus, namun ibarat penyakit, waktu itu apa yang dialami Turki Utsmani sangat kronis. Sehingga pada akhirnya, melalui konspirasi zionis-Yahudi bekerjasama dengan Kemal At-Taturk, khilafah pun bisa ditumbangkan pada tahun 1923 M yang kemudian dijadikan sebagai negara sekular.

Apa yang dialami Turki Utsmani mengandung pelajaran luar biasa. Jika negara tidak mau mengalami nasib yang sama, maka hati-hatilah dalam menerima bantuan asing berupa utang (yang disodorkan oleh lembaga yang berbasis Zionis-Yahudi dan lainnya).

Pada tahun 1998, Indonesia sudah pernah mengalami getirnya dengan terjadinya krisis moneter akibat pinjaman dari IMF. Semoga kita tidak mengalami nasib yang sama dengan Turki Utsmani akibat jeratan utang asing.*/Mahmud Budi Setiawan

No comments: