Jejak Standar Ganda Penguasa Terhadap Muslim Indonesia

Awalnya umat Islam berjuang bersama melawan Orde Lama, ketika Orde Baru muncul, lambat laun kebijakan penguasa –yang disokong kalangan Kristen Radikal-- tidak ramah pada Muslim
Jejak Standar Ganda Penguasa Terhadap Muslim Indonesia
Presiden Soekarno

SEJAK zaman penjajahan hingga sekarang, perlakuan standar ganda penguasa terhadap umat Islam Indonesia masih terus berlangsung. Yang dimaksud “perlakuan standar ganda” di sini adalah sikap mereka yang mengganda terhadap umat Islam. Bahkan, pada kasus tertentu menunjukkan sikap tebang-pilih dan diskriminatif bila dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan kepada umat lain.

Dalam sejarah Islam di Indonesia, salah satu bentuk perlakuan standar ganda adalah ketika umat Islam menguntungkan penguasa, maka mereka dijunjung, didekati dan terlihat seolah bersahabat. Namun, ketika umat Islam dirasa membahayakan kepentingan penguasa, berbagai cara akan ditempuh untuk menghadangnya walau harus menggunakan pendekatan represif.

Paza zaman kekuasaan kolonial Belanda misalnya umat Islam mendapat perlakuan standar ganda (pilih kasih) dalam sektor pendidikan. Ajib Rosidi dalam buku “M. Natsir Sebuah Biografi” (1990: 96, 97) mencatat bahwa meski pemerintah mengaku bersikap netral terhadap agama, namun sokongan mereka terhadap umat Kristen –baik Protestan maupun Katolik– tak bisa ditutup-tutupi.

Saat itu, pemerintah kolonial menganakemaskan orang Kristen dan menganaktirikan orang Islam. Buat umat Kristen, disediakan dana sebesar F. 1.000.000; tapi untuk umat Islam hanya disediakan F. 7.500; suatu jumlah yang sangat kecil dibanding yang didapatkan oleh orang Kristen. Padahal, uang itu adalah hasil pajak dari penduduk yang mayoritas beragama Islam.


Ahmad Mansur Suryanegara dalam “Api Sejarah I” (2014: 447) bahkan mencatat bahwa praktik Politik Etis yang dilakukan Belanda dalam bidang edukasi sangat diskriminatif. Sekolah tak banyak didirikan, tak semua pribumi berhak mendepatkan kesempatan sekolah (kecuali putra bangsawan dan anak etnis China serta Ambon). Diskriminasi pun juga diberlakukan dalam pemberian jumlah subsidi seperti yang disebutkan tadi. Sementara pesantren dijadikan serangan target, kiai atau ulamanya digantung. Santri-santri ditangkap dan dibuang jauh dari wilayah asalnya (2014: 141)

Umat Islam yang berhenti pada ibadah ritual saja dibiarkan, sedangkan yang peduli politik maka akan segera dihentikan dengan berbagai cara. Snouck Hurgronje –sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer dalam “Gerakan Moderen Islam Indonenesia” (1988: 29) pernah memberi nasihat kepada pemerintah kolonial bahwa syekh dan para pengikutnya –yang berjuang untuk kemerdekaan—dikatakan sebagai musuh yang sangat berbahaya. Gerakan itu dianggap sama bahayanya dengan gerakan Sanusi terhadap kekuasaan Prancis di Aljazair.

Pada era kekuasaan Jepang, umat Islam juga mengalami perlakuan standar ganda. Ketika umat Islam tak dibutuhkan, mereka ditekan, diawasi dan disingkirkan dijadikan sebagai musuh. Namun, setelah mereka terdesak (perang), umat Islam dirangkul dan dijadikan teman. Ulama-ulama didekati. Bahkan, diadakan pelatihan-pelatihan militer. Lebih dari itu, mereka memberi janji manis berupa kemerdekaan Indonesia.

Padahal, menurut catata Mansur Surya Negara dalam “Api Sejarah II” (2015: 64), tindakan Jepang yang mendekati ulama dan umat Islam hanya untuk dimanfaatkan memenangkan perang. Bahkan menurut Mohammad Abdul Aziz, sebenarnya Jepang tak menginginkan kesatuan umat Islam. Umat hanya dijadikan kuda tunggangan.

Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan pun, sumbangsih umat begitu besar. Para ulama dan santri beserta yang lainnya dengan pantang menyerah melawan kolonialisme sehingga banyak sekali yang gugur di kalangan mereka. Perlawanan Imam Bonjol, Imam Diponegoro hingga resolusi jihad KH.Hasyim Asy’ari misalnya, adalah sekian bukti yang menunjukkan kontribusi umat Islam. Sampai pada waktu ini, umat Islam masih dianggap teman.

Bandingkan ketika kemerdekaan sudah diraih. Umat Islam harus bersabar lagi. Tujuh kata dalam Piagam Jakarta harus dicoret dengan alasan toleransi dengan minoritas. Mereka juga mendapat janji, bahwa itu bisa diperjuangkan lagi beberapa bulan kemudian. Ternyata, janji tinggal janji. Apa yang dijanjikan penguasa, tak pernah ditepati.

Pada Orde Lama, menjelang kekuasaan Presiden Soekarno tumbang, umat Islam pun diperlakukan dengan standar ganda. Orang-orang yang anti ide Nasakom, dianggap kontra revolusi dan melawan pemerintah. Tak sedikit di antara mereka yang harus mendekam di penjara gara-gara tidak setuju dengan ide penguasa. Namun, sebagian umat Islam lain yang setuju dengan pemerintah, diperlakukan bak kawan sendiri dan tak mendapatkan intimidasi.

Zaman Orde Baru juga tak ada perubahan berarti. Meski awalnya umat Islam turut berjuang bersama-sama untuk melawan kezaliman Orde Lama, namun ketika Orde Baru sudah muncul, lambat laun kebijakan penguasa –yang disokong oleh tokoh Kristen Radikal– tidak ramah kepada umat Islam. Justru pendekatan-pendekatan represif banyak sekali dilakukan. Umat Islam yang peduli pada politik –seperti eks Masyumi dan semacamnya—seolah tak mendapat ruang di ranah politik. Sampai-sampai seorang Natsir misalnya mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII).


Orde Baru pun kemudian tumbang. Berdirilah era Reformasi. Umat Islam juga punya andil sangat besar dalam perjuangan ini. Mereka dan umat-umat lainnya dalam fase ini masih deperlakukan sebagai teman yang sedang menghadapi musuh yang sama: tirani Orde Baru.

Apa di era Reformasi kemudian umat Islam mendapat hak-haknya secara adil dibanding dengan era-era sebelumnya? Ternyata tidak. Pada era ini –dari sejak lengsernya Presiden BJ Habibie hingga sekarang—umat Islam seolah menjadi kuda tunggangan. Umat bahkan ulama lebih sering didekati pada masa-masa kampanye Pemilu Capres dan Cawapres. Berbagai identitas keislaman pun juga digunakan untuk mendulang suara umat Islam. Namun, kalau sudah mendapatkan kekuasaan, bak pendorong mobil mogok, setelah mobil menyala si pendorong ditinggal pergi.

Di era ini –seperti pada masa Presiden Megawati– juga, isu terorisme yang dinilai sangat menyudutkan umat digalakkan. Umat Islam lagi-lagi mendapat perlakuan standar ganda. Yang mau komitmen dengan keislamannya seolah dianggap kontra penguasa. Bahkan sekarang yang mendukung penguasa merasa paling Pancasilais sedangkan kubu lain dianggap kurang atau tidak Pancasilais. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Menjelang Pilpres 2019 pun, perlakuan standar ganda masih berulang. Ulama-ulama serta organisasi dan partai yang pro-pemerintah seolah dianakemaskan. Namun, yang oposisi mendapat perlakuan yang diskriminatif. Persekusi terhadap ulama yang tak pro penguasa kerap terjadi di era ini, namun hanya dipandang sebelah mata. Lagi-lagi, umat Islam dianggap menjadi kawan jika menguntungkan, dan dijadikan musuh ketika apa yang diinginkan sudah dalam genggaman.*/Mahmud Budi Setiawan, alumni Al Azhar, Mesir

No comments: