”Kelangkaan Ulama; Problem Akhir Zaman

Kalian berada pada zaman di mana ulama kian sedikit sedang orator menjadi banyak ”Kelangkaan Ulama; Problem Akhir Zaman
“Bapak! Ananda mau tanya sesuatu boleh?” tanya Azka kepada orangtua laki-lakinya yang merupakan kiai terkemuka dikampungnya. “Boleh. Silakan, dengan senang hati bapak akan menjawabnya selagi mampu,” sembari menyunggingkan senyum khasnya.
“Saat ini, teknologi `kan semakin canggih. Kita sudah memasuki era digital, di mana percepatan-percepatan teknologi-informasi sedemikian tinggi. Dengan mudahnya kita mengakses informasi dan data apa saja bisa didapat hanya dengan sambang ‘Mbah Google’ atau buku-buku dalam format digital kita bisa mendapatkan informasi dengan secepat kilat,” papar Azka memberi pendahuluan sambil menghela nafas.
“Tapi,” ia mulai menyampaikan problem, “kenapa ya, kecanggihan teknologi dan informasi ini tidak berbanding lurus dengan jumlah ulama (yang dakwah dengan lisan dan tulisan) sebagaimana yang ada di zaman generasi emas terdahulu. Padahal, dengan fasilitas ala kadarnya dan manual, zaman mereka mampu melahirkan ulama-ulama berkaliber dunia?”
Dengan jawaban bijak Bapak Azka yang bernama Asli Muhammad Fatih Aqsha ini menanggapi, “Nak! Kita sekarang berada di gerbong akhir zaman.” “Maksudnya apa pak? Kiamat ya?” tanya Azka penasaran.
“Kurang lebih demikian. Salah satu tanda akhir zaman, sebagaimana riwayat Bukhari dan Muslim misalnya, di akhir zaman ilmu akan dicabut oleh Allah secara bertahap dengan dicabutnya nyawa ulama. Konsekuwensinya, umat akan menjadikan orang yang sejatinya bodoh menjadi ulama, sehingga malah sesat dan menyesatkan.”
“Ananda bisa membuat penelitian kecil-kecilan baik skala nasional maupun internasional, ulama-ulama yang mumpuni satu persatu diwafatkan oleh Allah, sementara penggantinya belum tentu ada.”
“Kecanggihan teknologi seperti saat ini, cukup susah mencari ulama sejati. Yang terkenal di media masa belum tentu adalah ulama sejati. Cukup bermodalkan kefasihan lisan, beberapa dalil al-Qur`an-Hadits serta kepiawaian retorika, secara kasat mata bisa dipermak menjadi ulama. Maka jangan heran ketika banyak ‘ulama gadungan merebak’ di akhir zaman.”
“Ayah jadi ingat kata-kata Ibnu Mas’ud dalam kitab ‘al-Adabu al-Mufrad’ (Bukhari, 1989: 275), ‘Saat ini kalian berada pada zaman yang ulamanya banyak dan oratornya sedikit. Kelak –sesudahnya- ada zaman di mana ulama kian sedikit sedang orator menjadi banyak’.”
“Memang dulu sarana dan prasarana untuk mencari ilmu tidak secanggih zaman now. Serba manual dan menghabiskan waktu yang tidak sebentar. Namun ananda, perlu kamu tahu bahwa di balik sarana terbatas itu, hidup dan perjuangan mereka tertempa dengan baik sehingga melahirga teknologi internal yang jarang dimiliki secara kolektif oleh orang-orang kekinian.”
“Contoh teknologi internal itu apa Pak?” tanya Azka dengan nada ingin tahu. “Contohnya keimanan, keikhlasan, kesabaran, keuletan, kegigihan, tak gampang menyerah dan tidak pernah berhenti hingga berjumpa mati. Bayangkan, Baqi bin Makhlad Rahimahullah misalnya, rela berjalan ribuan kilo meter dari Andalusia ke Baghdad untuk berguru kepada Imam Ahmad bin Hanbal; ada yang dari Madinah ke Syam hanya mencari satu hadits dan lain sebagainya. Kalau mereka tidak memiliki teknologi internal tersebut, maka susah kiranya menghadapi kondisi yang cukup sulit.”
“Ilmu-ilmu mereka tersimpan dalam hati, pikiran dan karya tulis. Sedangkan sekarang, kebanyakan ilmu berada di lur diri manusia dikemas dalam bentuk buku standar atau didigitalisasi. Perlu kamu tahu nak, semakin canggih teknologi –kalau tidak cermat dalam menggunakannya- malah melahirkan budaya instan. Pada gilirinnya akan muncul generasi yang malas mencari ilmu, gampang melempem, masuk angin dan tidak tangguh dalam berjuang.”
“Makanya jangan heran ketika berbagai fasilitas sekarang begitu melimpah, namun tidak berbanding lurus dengan jumlah ulama.” “Azka sudah mulai paham Yah. Azka juga pernah membaca hadit Bukhari bahwa di antara tanda-tanda kiamat adalah ilmu semakin sedikit dan kebodohan merajalela. Yang tidak kalah penting, ada merajalelanya fenomena penyerahan sesuatu kepada yang bukan ahlinya di berbagai bidang kehidupan yang turut menjadi faktor kerusakan sosial.”
“Sebagai tambahan nak, teknologi yang begitu mentereng dan luar biasa di zaman ini, di akhir zaman kelak akan rusak dan tak berfungsi akibat jatuhnya meteor –bisa dibaca dalam riwayat Ibnu Abbas yang dinyatakan Jayyid sanadnya oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari- yang kemudian mengeluarkan Dukhan (asap tebal) 40 hari 40 malam. Semua yang tercipta dari besi akan terinduksi dan rusak.”
“Alhamdulillah,” tanggapan Azka, “saya pernah membacanya dalam buku ‘Dzikir Akhir Zaman’ (Abu Fatiah, 2017: 263) mengenai hadits dan analisis ilmuan mengenai kejatuhan meteor yang akan bisa mengakibatkan kerusakan luar biasa hingga teknologi rusak sebagaimana yang dinyatakan oleh Michael Pine. Perang pun di akhir zaman dan transaksi jual-beli akan kembali manual.”
“Tepat sekali. Makanya, kalau kita di zaman ini terlalu bergantung dengan teknologi tanpa mempersiapkan keilmuan –dan berbagai persiapan menghadapi akhir zaman- secara mandiri, maka bagaimana nasib kita kalau menjumpai zaman itu. Ulama langka, yang dijadikan rujukan bertanya kebanyakan orang bodoh yang bersolek laiknya orang alim, maka kita akan menjadi rusak sebagaimana mereka.”
“Terus apa yang perlu kita siapkan yah?” “Mumpung masih diberi kesempatan hidup, belajarlah ilmu yang sungguh-sungguh, bangun komunitas yang fokus dalam bidang keilmuan, jangan lupa mengamalkannyam, cari guru ulama yang mumpuni, jangan terlalu bergantung pada teknologi (pergunakan sesuai dengan kadar kebutuhan saja), teruslah berjuang, serahkan sesuatu kepada ahlinya dan terus berupaya dan berusaha keraslah untuk menjadi ulama. Semoga, kamu akan menjadi ulama rujukan di kala ulama semakin langka di akhir zaman.” */Mahmud Budi Setiawan

No comments: