Sinyal Dajjal di Era Digital

Jika sinyal-sinyal dajjal bisa terlacak di era digital, lalu bagaimana agar terlindungi dari fitnahnya? Sinyal Dajjal di Era Digital
MENURUT Thomas L. Friedman dalam buku “The World Is Flat 3.0: A Brief History of the Twenty-first Century” (2005: 9-10), pada sekitar tahun 2000, dunia masuk pada era “Globalisasi 3.0”. Di antara tanda-tanda era ini adalah penggunaan teknologi digital, masing-masing individu dan kelompok kecil terkovergensi dengan internet dan terhubung di dunia digital. Informasi dengan mudah didapatkan, bisa menjadi narasumber di jaringan internet, dan sangat mudah tampil ke publik.
Apa yang disebut dengan “Era Digital” sekarang ini, memang sangat relevan dengan catatan Friedman tersebut. Sekarang dengan beralihnya media lama ke media baru (internet dan digital) dunia terasa semakin sangat kecil, teknologi-informasi begitu cepat, kemudahan akses yang pada era sebelumnya yang terlihat mustahil, saat ini menjadi riil. Yang menarik untuk dipertanyakan adalah; pada faktanya berapa besar kadar manfaat yang ditimbulkan di era digital ini dibanding dengan bahayanya? Kemudian adakah sinyal-sinyal dajjal di era digital?
Tema ini perlu diangkat karena beberapa alasan: Pertama, sebagai kewaspadaan dan benteng diri dari bahaya fitnah dajjal. Kedua, bisa menggunakan kecanggihan digital secara proporsional untuk hal-hal positif. Ketiga, bisa memaksimalkan potensi-potensi kebaikan agar keburukan tidak menjadi dominan di era digital.
Informasi tentang kedatangan dajjal dalam hadits-hadits nabi begitu melimpah. Sebegitu banyaknya hingga mencapai derajat mutawatir (al-Mubayyadh, 2006: 657).
Bahkan, Hisyam bin ‘Amir al-Anshari pernah mendengar langsung dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sejak penciptaan Adam hingga hari kiamat, tidak ada fitnah paling besar, melebihi fitnah dajjal.” (HR. Muslim).
Di sini, penulis tidak akan membahas detail-detail riwayat mengenai dajjal, tapi berfokus kepada hal-hal subtansial seputar dajjal yang sinyal-sinyalnya bisa dilacak di era digital.


Di antara hal-hal subtansial terkait dajjal –tanpa bermaksud membatasi- adalah sebagai berikut: Pertama, pandai berdusta dan mengaburkan kebenaran. Dilihat dari sisi etimologi –sebagaimana yang tertera dalam “Lisaan al-‘Arab” (1414: 11/236)- kata ‘dajjal’ sendiri berarti: dusta, menutupi, menyamarkan, mengkamuflase, melapisi. Bila ditilik dari hadits-hadits nabi, memang dajjal memiliki kemampuan tersebut. Apa yang oleh kebanyakan orang dianggap benar, bisa ditutupi sedemikian rupa olehnya sehingga menjadi salah; demikian pula sebaliknya.
Sebagai contoh, adalah pengakuannya sebagai Tuhan atau penguasa. Dengan bukti bisa menghidupkan orang mati, menurunkan hujan di masa paceklik, menumbuhkan tanaman dan lain sebagainya yang menggambarkan kekuasaan Tuhan. Padahal, semua itu, bagi orang beriman adalah kebohongan dan pengelabuan saja. Sebab, bagi orang yang mengerti sosok sejati dajjal, akan tahu bahwa antara pengakuannya sebagai Tuhan, dengan bentuk fisiknya yang penuh cacat, tidak layak disebut Tuhan, terlebih doktrin yang dibawanya.
Kedua, buta sebelah mata. Karena itu, ia hanya melihat dari satu sisi yang negatif saja. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad dengan ungkapan “a`war” (bermata satu). Selain itu, di dahinya ada tulisan “kaf”, “fa” dan “ra” yang menunjuk pada kata “kafir”. Bila diamati dari hadits-hadits yang ada, memang orientasi dajjal hanya satu: bagaimana menutupi kebenaran sehingga orang menjadi kufur kepada Allah.
Ketiga, menggunakan syubhat dan syahwat untuk menundukkan seseorang. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim misalnya, kelak dajjal (di masa kemarau panjang) akan membawa air dan api. Apa yang terlihat api oleh kebanyakan orang sejatinya adalah air; sedangkan yang terlihat air, hakikatnya adalah api. Dengan syubhat dan syahwat ini, banyak sekali korban yang terkelabui.
Keempat, kecepatan yang luar biasa. Melalui bacaan hadits-hadits nabi, salah satu kemampuan dajjal adalah kecepatannya. Kedatangan wujud aslinya di dunia hanya empat puluh hari, namun, satu hari pertama laksana setahun; hari kedua seperti satu bulan; dan hari ketiga bagaikan satu minggu, kemudian berikutnya normal seperti hari biasa (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa dajjal memiliki kecepatan di atas rata-rata.
Kelima, daya jangkau fitnah yang luas. Menurut riwayat muslim, tidak ada satu negeripun yang tak diinjak dajjal, melainkan Mekah dan Madinah. Ini menunjukkan bahwa daya jangkau fitnah dajjal ini bukan hanya terbatas pada negeri tertentu, tapi akan mengena ke berbagai negara secara global, kecuali wilayah yang dilindungi oleh Allah.
Sebenarnya masih banyak hal-hal subtansial lainnya, bisa dirujuk dalam hadits-hadits shahih. Pertanyaannya, apakah kelima sinyal tersebut (kebohongan [manipulasi], orientasi duniawi, syubhat-syahwat, kecepatan luar biasa dan daya jangkau luas) terkandung dalam era digital?
Semua jawaban kembali pada kepekaan dan kejelian masing-masing individu dalam penggunaannya. Tapi yang jelas, sejak Adam hingga kiamat tidak pernah sepi dari peringatan sinyal-sinyal kedatangan dajjal. Setiap nabi pun juga selalu mewanti-wantinya.
Jika pada zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saja, sudah sedemikian peka dan antusias dalam menangkap sinyal-sinyalnya seperti dalam kasus Ibnu Shayyad (orang yang terindikasi sebagai dajjal) dan cerita Tamim ad-Dâri dalam sebuah pulau tentang dajjal, lalu bagaimana dengan kita di era digital ini?
Jika sinyal-sinyal dajjal bisa terlacak di era digital, lalu bagaimana agar terlindungi dari fitnahnya? Salah satunya adalah membaca 10 awal atau sepuluh akhir dari Surah al-Kahfi sebagaimana tertera dalam riwayat Muslim.
Namun, menurut penulis, meski membaca dan menghafalnya sudah bagus, tapi bagi yang mau mentadabburi lebih dalam ada pesan yang kuat di dalamnya: Jika mau terhindar dari fitnah dajjal, maka teladanilah Ashabul Kahfi. Mereka adalah para pemuda yang demi memegang teguh iman dan hidayah Allah rela melawan kebatilan, walaupun itu sudah menjadi mainstream di masyarakatnya.
Di dalam gua itu mereka seolah terisolir, tersisihkan dan menjadi manusia asing di tengah masyarakat yang menolak kebenaran, padahal hakikatnya mereka selamat dan menjadi percontohan bagi orang-orang setelahnya. Ini menunjukkan bagaimana kekuatan iman yang beriring amal dan hidayah Allah ta’ala, sebagai salah satu pelindung terbaik dari bahaya apapun, termasuk: Dajjal.*/Mahmud Budi Setiawan

No comments: