Sinergi Khubusyani dan Shalahuddin Al-Ayyubi dalam Pembebasan Bumi Kinanah

Sinergi apik antara umara dan ulama, Mesir yang tadinya dikuasai Dinasti Syi’ah Fathimiyah, kembali pada Sunni Sinergi Khubusyani dan Shalahuddin Al-Ayyubi dalam Pembebasan Bumi Kinanah
Wikipedia
Masjid-Madrasah Sultan Hassan atau Masjid Sultan Hassan, pusat pendidikan ahlus sunnah yang mengajarkan 4 mahzab, dibangun tahun 757 H/ 1356 M
ULAMA yang satu ini, adalah di antara sekian banyak contoh yang bersinergi dengan Shalahuddin Al-Ayyubi dalam pembebasan Bumi Kinanah dari Syi’ah Fathimiyah. Nama lengkapnya: Muhammad bin Al-Muwaffaq bin Sa’id bin Ali bin Al-Hasan bin Abdullah Al-Khabusyani. Beliau biasa dipanggil Najmuddin Al-Khubusyani (As-Subki, 1413: VII/14).
Beliau dilahirkan pada 13 Rajab 510 H di daerah Ustawa, Khubusyan (wilayah Nisyapur, sekarang masuk dalam teritorial Iran) dan wafat pada hari Rabu 12 Dzul Qa’dah 587 H di Mesir di samping kuburan Imam Syafi’i. Al-Khubusyani adalah ulama yang sangat dihormati, dimuliakan, dan dekat posisinya oleh Shalahuddin Al-Ayyubi. Keilmuan dan kompetensi ilmu agamanya diakui oleh Shalahuddin. Salah satu karyanya adalah “Tahqîq al-Muhîth” sebanyak 16 jilid.
Menurut catatan Ibnu Khillikan dalam buku “Wafayât al-A’yân wa Anbâ`u Abnâ`i al-Zamân” (1900: IV/239) beliau adalah ulama ahli fikih bermadzhab Syafi’i. Dalam sejarah beliau dikenal sebagai ulama yang luhur dan sangat ‘wara’ (hati-hati). Selain itu, oleh kawan-kawannya, beliau dikenal berhati bersih dan tidak terlalu mengenal masalah-masalah keduniaan (bahasa kita kurang lebih semacam zuhud). Salah satu gurunya yang terkenal adalah Muhammad Ali Muhammad bin Yahya.
Dalam catatan sejarah, sinergi Shalahuddin Al-Ayyubi bersama Al-Khubusyani begitu kuat. Namun sebelum menjelaskannya, ada baiknya menjelaskan bagaimana kondisi Mesir saat dikuasai Dinasti Syi’ah Fathimiyah menjelang kajatuhannya serta mengapa Shalahuddin dan Al-Khubusyani bersikeras untuk membebaskan Bumi Kinanah dari hegemoni mereka.
Menjelang kejatuhan Daulah Fathimiyah, kondisi Mesir tidak begitu stabil (baik ekonomi maupun politik). Al-‘Adhid (Penguasa Terakhir Dinasti) bahkan bermimpi ada ular keluar dari masjid terkenal di Mesir yang kemudian menyengatnya. Pada pagi harinya, ia mengirim utusan untuk mendatangi masjid sambil memeriksa setiap orang asing yang ada di dalamnya. Saat tiba di lokasi, ternyata hanya ada orang asing yang miskin dan lemah. Mimpi ini terus berulang, dan ia selalu mengirim utusan untuk memeriksanya jika mengalami mimpi yang sama. Di kemudian hari, firasat dari mimpi ini terbukti kebenarannya. Sosok asing yang digambarkan sebagai ular yang menyengat itu adalah Najmuddin Al-Khubusyani (As-Subki, 1900: VII: 18).
Selanjutnya, mengapa Shalahuddin bersinergi dengan Al-Khubusyani dan bersikeras untuk membebaskan Mesir dari hegemoni Syiah Fathimiyah. Paling tidak ada dua alasan: Pertama, meneruskan ide Nuruddin Mahmud Zanki, yaitu: untuk merajut persatuan politik umat dan melapangkan jalan menuju pembebasan Al-Aqsha. Menurut catatan DR. Lu’ai Al-Bawaknah dalam buku “Dauru al-‘Ulamâ al-Muslimîn fî Muqâwamah al-Ghazwi al-Faranji (al-Shalîbî) li al-Masyriq al-Islâmi” (2006: 61) salah satu yang membuat pasukan Shalib leluasa merebut wilayah umat Islam karena terjadinya perpecahan politik di antara umat Islam. Karenanya, membebaskan Mesir dari cengkeraman Dinasti Fathimiyah, adalah sesuatu yang niscaya untuk mempersatukan umat dan menciptakan stabilitas politik.
Kedua, Dinasti Fathimiyah layak diusir dari Mesir karena melakukan banyak penyimpangan. Dalam catatan Prof. Dr. Didin Saefuddin Bukhari dalam buku “Sejarah Politik Islam” (2009: 154-155), awal mulanya dinasti ini tampak arif, toleran, dan membebaskan penduduk menganut kepercayaan. Namun, seiring berjalannya waktu, watak aslinya mulai terlihat. Propaganda Syi’ah mulai ditonjolkan. Pada masa al-Aziz (372 H), ia pernah membatalkan shalat tarawih di seluruh masjid. Sedangkan pada masa al-Hakim, ia pernah menyuruh algojonya untuk mengeksekusi siapa saja yang tidak mengakui keistimewaan Ali radhiyallahu ‘anhu. Yang lebih memprihatinkan, al-Hakim (salah satu penguasa Daulah Syi’ah Fathimiyah) pernah mengaku dirinya sebagai Tuhan.
Jauh sebelumnya, Najmuddin Al-Khubsyani pernah bertekad, “Aku akan pergi ke Mesir untuk melenyapkan kekuasan Bani Ubaid Al-Yahudi atau Fathimiyah.” (As-Subki, 1900: VII/15).
Ini sangat wajar karena penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan dinasti ini sungguh luar biasa. Akhirnya terbukti, keinginannya direalisasikan, bahkan ketika beliau hendak disogok dengan beberapa dinar, beliau marah lantas membuangnya dan dengan tegas di atas mimbar berbicara mengenai penyimpangan Daulah Fathimiyah.
Dalam upaya memberantas pemahaman menyimpang Syi’ah Fathimiyah, ada dua kebijakan yang disinergikan Shalahuddin dengan Al-Khubusyani: Pertama, pendirian madarasah berideologi Ahlus Sunnah di samping kuburan Imam Syafi’i (Ibnu Khillikan, 1900: IV/240). Madrasah ini ditangani oleh Al-Khubusyani pada tahun 572 H. Setiap bulan diberi 40 dinar sebagai tunjangan pengajaran (As-Suyuthi, 1967: II/257)
Pembangunan madrasah Sunni yang dicanangkan Shalahuddin tak sampai di situ, di istana Kairo misalnya, juga dibangun sekolah yang bercorak sunni.
Selain itu, di samping Masyhad Husain (Kairo), dibangun madrasah. Di sini Shalahuddin mewakafkan banyak hartanya untuk pengembangan sekolah. Di rumah Said al-Su’ada (Pelayan asal Mesir) didirikan pula sekolah dengan disertai wakaf yang banyak. Sedangkan di rumah Abbas didirikan madarasah bermadzhab Hanafi, dan dikeluarkan pula wakaf yang cukup besar. Pada tahun 466 H, juga didirikan madrasah khusus bermadzhab Maliki bernama Dâr Al-Ghazal (Al-Bawaknah, 2006: 80)
Sinergi kedua adalah, meminta fatwa kepada ulama ahli fikih untuk membersihkan Syi’ah dari Mesir. Ini cukup beralasan karena Dinasti Fathimiyah memiliki akidah menyimpang. Saat mereka berkuasa memiliki akidah yang rusak, banyak mencela sahabat, merubah azan, dan teledor (semberono) dalam masalah itu. Salah satu ulama yang sangat kencang dan gencar dalam berfatwa mengenai kesesatan Syi’ah adalah Syekh Najmuddin al-Khubusyani. Beliau berhasil membuka kedok Syi’ah yang sesungguhya (Ibnu Khillikan, 1900: 3/111). Selain berfatwa, beliau berani menegur secara langsung khatib saat di mimbar ketika menyampaikan hal-hal menyimpang.
Sinergi yang apik antara umara dan ulama ini akhirnya berbuah manis. Mesir yang tadinya dikuasai oleh Dinasti Syi’ah Fathimiyah, bisa direbut sehingga stabilitas politik umat Islam terkendali, sekaligus menjadi pelapang jalan menuju pembebasan Baitul Maqdis.*/Mahmud Budi Setiawan

No comments: