Apa dan Siapa Ahlus Sunnah?

Ada baiknya umat Islam Indonesia belajar pada ulama-ulama terdahulu di Nusantara yang memiliki kelapangan dada dan toleransi terhadap teman sesama muslima yang berbeda pendapat
Apa dan Siapa Ahlus Sunnah?
Mahmud Budi Setiawan
MENYIKAPI fenomena beberapa kelompok umat Islam di Indonesia yang menuduh sesat kelompok, atau ustadz lain yang tak sepaham, ada baiknya menelaah buku Syekh Ishaq Hakim Rumi berjudul “Syarh al-Fiqh al-Akbar al-Musamma Mukhtashar al-Hikmah al-Nabawiah” (2015: 115-119) Di dalamnya terkandung apa dan siapa Ahlus Sunnah yang lebih sejuk dan menekankan persatuan.
Dalam tema yang berjudul “`Ala Man Yuthlaqu Laqab Ahli al-Sunnah wa al-Jamâ’ah?” (Kepada Siapa Gelar Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah disematkan?), beliau mengutip beberapa pendapat ulama atas permasalahan yang cukup siginifikan ini. Imam Abdul Qahir al-Baghdadi misalnya, beliau menyatakan bahwa kelompok ketujuh puluh tiga adalah Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah yaitu dari kalangan dua kelompok “ahli ra’yi” (rasio) dan ahli hadits.
Ada tambahan catatan menarik dari Imam Abdul Qahir, siapa saja yang masuk dalam kedua kategori tersebut (bisa Ahli Hadits seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ahli Ra’yi seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi), maka tergolong sebagai Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah. Dengan catatan, keimanan mereka tidak dicampur dengan bid’ah-bid’ah Khawarij, Syi’ah Rafidhah, Qadariyah dan seluruh “Ahlul-Ahwâ” (para pengikut hawa nafsu). Maka, menurut beliau, kelompok besar dari kalangan pengikut (madzhab) Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, Auza’i, Ats-Tsauri, dan pengikut Madzhab Dzhahiriyah adalah bagian dari Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah.
Sedangkan Ibnu As-Subki dalam buku “Syarh ‘Aqîdah Ibn al-Hâjib” menandaskan bahwa Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah semuanya telah sepakat mengenai akidah yang satu terkait apa yang wajib, boleh dan mustahil meski berbeda dalam masalah cara dan prinsip-prinsip yang mengantarkan pada (tujuan) itu.
“Secara global,” turutnya, “Ahlus Sunnah -berdasarkan penelitian- ada tiga kelompok: Pertama, Ahlul Hadits yang akidah mereka dilandasi dalil-dalil ‘sam’iyat’ (Al-Qur`an, Sunnah dan Ijma’). Kedua, Ahlu al-Nadhar al-‘Aqli (Ahli rasio) yaitu ‘Asyariyah dan Hanafiyah (Maturidiyah). Ketiga, Ahlul-Wujdân wal-Kasyf (Ahli Intuisi dan Kasyaf Spiritual) sebagaimana orang Shufi.”
Imam Muhammad bin Ahmad Al-Safarayaini Al-Hanbali Al-Atsari juga tidak jauh berbeda pendapatnya.
Menurut beliau, Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah itu ada tiga kelompok: Pertama, al-Atsariyah (ahli atsar atau riwayat) dan imam mereka adalah Ahmad bin Hanbal. Kedua, Asy’ariyah, dan imam mereka adalah Abul Hasan Al-‘Asy’ari rahimahullah. Ketiga, Al-Maturidiyah. Imam mereka adalah Abu Manshur al-Maturidi.
Dengan pengertian Ahlus Sunnah demikian, maka keanekaragaman kelompok Islam di Indonesia –selama tidak menyalahi prinsip-prinsip fundamental dalam akidah dan syariat yang sudah tegas dan jelas- maka tidak bisa mengeluarkannya dari sebutan Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah. Adapun perbedaan mengenai masalah “furu’iyah” (masalah cabang yang masih dalam sekup ijtihad) maka di situ tidak perlu dibesar-besarkan kerena sejak zaman nabi, perbedaan demikian tidak terhindarkan.
Ada baiknya umat Islam Indonesia belajar pada ulama-ulama terdahulu di Nusantara yang memiliki kelapangan dada dan toleransi terhadap teman sesama muslima yang berbeda pendapat. Tidak mencaci-maki, bahkan menyesatkan yang tak sepaham.
Dalam buku “Mengenang 100 tahun Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)”, disebutkan bahwa Hamka adalah sosok yang mengutamakan silaturahim ketimbang meributkan perbedaan tak prinsip. Ada beberapa contoh yang menunjukkan toleransi hamka dalam menyikapi perbedaan furu’iyah.
Pertama, ketika KH Abdullah Syafi’i menunaikan shalat Jum’at di Masjid Al-Azhar. Waktu itu, Buya Hamka sudah terjadwal sebagai khatib. Melihat kedatangan KH Abdullah Syafi’i, seketika Buya “memaksa” beliau menggantikan dirinya. Buya juga meminta adzan dikumandangkan dua kalisebagaimana tradisi Nahdhiyin yang dipegang Syafi’i.
Kedua, sejak dibukanya Masjid Al-Azhar, Buya sudah mengedepankan tasamuh (toleransi). Waktu itu, Hamka ikut hadir dan duduk bersebelahan dengan tokoh NU KH Idham Chalid. Hamka tak segan untuk ikut berdiri dan membacakan asrakai pada Maulud Diba. (Shobahussurur: 2008).
Ketiga, pada saat Hamka dan Idham Chalid berada dalam satu pesawat menuju Mekah. Masing-masing bergantian menjadi imam shalat Shubuh. Saat Idham menjadi imam, beliau tidak membaca qunut karena ada Hamka di belakangnya. Demikian juga Hamka, saat menjadi imam, beliau membaca qunut karena ada Idham Chalid di belakangnya. (Abdillah Mubarak Nurin, Islam Agama Kasih Sayang, 86).
Dari beberapa contoh di atas, terlihat dengan jelas bagaimana ulama karismatik seperti Buya Hamka, KH. Abdullah Syafi’i dan Idham Chalid, meskipun mereka secara organisasi dan pemahaman berbeda, namun tidak sampai menyesatkan yang lain hanya gara-gara perbedaan furu’iyah atau pilihan madzhab akidah yang ada di antara mereka.
Apa yang dicontohkan mereka patut diteladani di tengah kondisi umat yang sedang rawan diadudomba, dipecah belah seperti saat ini. Daripada kita sibuk mengklaim umat Islam mana yang paling benar, lebih baik kita mengevaluasi diri apa yang kita jalankan sudah benar?*
Penulis alumni Al Azhar – Mesir dan Alumni Program Kaderisasi Ulama (PKU)- VIII 204-2015

No comments: