Sejak Kapan Dialog Islam dan Kristen Diadakan? Ini Jawabannya
Selama paro kedua, abad keduapuluh, acara-acara dialog yang terorganisasi bertambah banyak di tingkat lokal, regional, dan internasional. Pertemuan itu sangat bervariasi dalam hal organisasi, fokus, dan tempat, begitu pula komposisi pesertanya.
Mengutip "Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern" karengan John L Esposito, pertemuan dialogis Muslim-Kristen berawal dari kebangikatan Islam pada abad ketujuh.
Berakar dalam tradisi monoteistik dari Ibrahim, kedua komunitas itu sama-sama mendapat warisan yang sama.
Selama lebih dari 14 abad, Muslim dan Kristen dipertalikan baik oleh pemahaman teologis mereka maupun karena hidup berdampingan.
Sejarah hubungan itupun meliputi periode keteganan yang tinggi, permusuhan, dan perang terbuka, begitu pula toleransi yang tidak mudah, hidup berdampingan dalam damai, dan kerjasama untuk meraih tujuan bersama.
Ada beberapa motif yang mendorong gerakan dialog ini. Antara lain. Keinginan emupuk pemahaman, merangsang komunikasi, memperbaiki stereotip, menangangi permasalahan tertentu yang menyangkut kepentingan bersama, menyingkap persamaan dan perbedaan, sertea memermudah sarana kesaksian dan kerjasama.
Kebutuhan pragmatis akan pemahaman dan kerjasama yang lebih baik antarumat dua agama terbesar di dunia—Islam dan Kristen—sudah sangat mendesak. Kira-kira setengah populasi dunia adalah umat Kristen dan Muslim.
Beberapa perkembangan pada abad ke-19 dan ke-20 menata panggung dialog Muslim-Kristen kontemporer.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pertama, sarana transportasi dan komunikasi terus membaik memudahkan perdangnan internasional dan tingkat migrasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pertama, sarana transportasi dan komunikasi terus membaik memudahkan perdangnan internasional dan tingkat migrasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Kedua, kajian akademis tentang agama
menggerakkan para ilmuwan untuk mengumpulkan banyak informasi mengenai
berbagai praktik agama dan sistem kepercayaaan yang ada di dunia.
Meskipun kajian Barat tentang Islam dan
tradisi keagamaan lainnya di Timur cenderung tidak obyektif, tetapi
sudah terjadi perubahan signifikan.
Banyak ilmuwan non Muslim berkesimpulan bahwa Muhammad tulus dan salih, tidak seperti yang dicitrakan negatif selama ini.
Faktor ketiga ialah gerakan misionaris
modern di kalangan Kristen Barat. Pengalaman kontak pribadi dengan
Muslim membuat banyak misionaris menilai kembali persangkaan mereka.
Tiga konferensi yang masing-masing
digelar di Edinburgh 1910, Yerussalem 1928, dan Tambaram 1938 berkutat
pada pelayanan di tengah-tengah perbedaan agama.
Gerakan dialog sendiri dimulai pada
1950-an. Ketika itu, Dewan Geraja Dunia atau WWC dan Vatikan
menyelenggarakan sejumlah pertemuan dan perundingan antara para
pemimpin Kristen dan wakil-wakil dari tradisi agama lain.
Hasilnya, pada 1964 berdiri Sekretariat
bagi Agama-Agama Non Kristen yang dibentuk oleh Paus Paulus VI. Pada
1989, sekretariat itu ditata kembali dan dinamai Dewan Pontifikal untuk
Dialog Antaragama.
Program dialog Muslim-Kristen dapat
dijumpai di seluruh Amerika Utara, Nigeria, dan Indonesia. Sementara
itu, sifat pertemuan berbeda dari tempat yang satu ke tempat lain, dan
dari masa ke masa.
Muncul kemudian istilah berbagai macam
istilah dalam dialog seperti “dialog parlementer”, “dialog teologis”,
dialog dalam komunitas, dan dialog spiritual.
Yang dimaksud dengan dialog Parlementer
ialah ebuah istilah yang digunakan untuk majelis besar yang bersidang
dalam diskusi antaragama. Contoh paling awal ada Parlemen Agama Dunia
1893 di Chicago.
Pertemuan semacam ini menjadi lebih
sering digelar di 1980-an dan 1990-an di bawah pengawasan
organisasi-organisasi multiagama, seperti Konferensi Dunia mengenai
agama dan perdamaian, serta Kongres Agama se-Dunia.
Namun, bukan berarti upaya dialog
antarkedua entitas itu berjalan mulus. Bagi kalangan Muslim, mereka
mengkhawatirkan seluruh kegiatan ini, baik karena sejarah panjang
permusuhan maupun pengalaman kolonialisme yang masih baru.
Intrik politik kontemporer yang
melibatkan AS atau kekuatan besar Barat lainnya menciptakan persoalan
bagi kebanyakan calon peserta Muslim.
Sebagiannya bahkan, masih curiga bahwa dialog itu adalah bentuk samaran baru kegiatan misionaris Kristen.
Kekhawatiran juga menyerang komunitas Kristen. Masih banyak kendala konseptual dan teologis yang tersisa.
Walaupun dorongan utama muncul dari
umat Kristen dan lembaga yang berkaitan dengan gereja. Sebagian orang
Kristen berpendapat bahwa dialog itu melemahkan atau bahkan meruntuhkan
misi dan aksi Kristen.
Bagi yang lain, persepsi Islam sebagai ancaman sudah berurat-berakar
sehingga mereka tidak bersedia atau tidak mampu bergerak melampaui
stereotip atau membedakan antara orang yang bersimpati dan orang yang
bermusuhan dari komunitas lain.
No comments:
Post a Comment