Mengarifi Ibn Taimiyah

Terhadap sosok Ibn Taimiyah, memang ada kesan potret yang sampai kepada kita tidak utuh atau carut marut. Yang banyak berseliweran di tengah kita malah kutipan bahwa Ibn Taimiyah telah membid’ahkan ini

Surya Darma, Penulis berasal dari Makassar
SETIAP kali mengunjungi toko buku di sekitar mesjidil haram atau mesjid nabawi, penglihatan saya sepertinya tak pernah lepas dari dua nama pengarang: Ibn Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Boleh dikata semua toko buku menjual karya ulama ini. Bukan hanya satu atau dua judul, hampir semua karya mereka baik yang tipis maupun tebal tersedia dengan stock yang cukup.

Umumnya buku-buku itu ditempatkan di tempat yang cukup mencolok di rak buku. Jadi jangan heran kalau Anda masuk ke dalamnya, mata Anda seakan akan “diperangkap” untuk membaca dua nama masyhur itu saja. Saking dominannya nama mereka, sampai sampai satu waktu saya ngomong kelepasan dalam langgam bertanya,” Apa anda tidak punya ulama selain Ibn Taimiyah dan Ibnul Qayyim ?”

Dua ulama ini dikenal dan dikenang sebagai rujukan utama kalangan Salaf dalam menilai sebuah tema Islam. Ibn Taimiyah banyak mengupas problem teologi, sejarah, tasawwuf dan filsafat. Adapun Ibnul Qayyim, yang juga murid Ibn Taimiyah, banyak mengupas tema terkait akhlak, tazkiyatun nafs, pendidikan, dan sejarah. Boleh dikata hampir semua tema keislaman telah disentuh atau dibahas oleh kedua jenius besar ini baik dalam bentuk risalah maupun buku tebal hingga yang berjilid jilid jumlahnya.

Tapi bagi kalangan tertentu, keduanya, terkhusus sosok Ibn Taimiyah, dinilai sebagai figur keras, letterlijk, suka main vonis, anti dialog, karyanya ahistoris dan anti intelektual (demagog). Ibn Taimiyah dituduh suka menyudutkan lawan debatnya dengan bahasa kasar dan merendahkan. Mungkin karena itu banyak yang bersyukur ketika membaca catatan sejarah bahwa Ibn Taimiyah pernah dijebloskan ke dalam penjara.

Waktu di pesantren dulu, ada seorang guru kami yang memplesetkan nama Ibn Taimayah dengan panggilan -maaf- Ibn Taimiyong ( bahasa bugis, artinya, anak kotoran kucing). Guru kami itu memang Asy’ari tulen dan pernah mencoba menahan saya daftar lanjut kuliah di sebuah perguruan tinggi Islam di Jakarta karena dianggap sarangnya para pengagum Ibn Taimiyah di Indonesia.

Sambil menghabiskan libur lebaran di kampung mertua yang sejuk karena terletak di kaki “bulu ana’ dara” di Soppeng, saya membuka file e-book di tablet yang sudah terdownload beberapa waktu sebelumnya. Saya iseng buka buku berjudul ” Nadzarat fit Tashawwuf” karya DR. Badar Abdul Hamid. Saat membaca muqaddimah buku itu, saya sungguh suprise dengan kutipan DR.Badar tentang pendapat Ibn Taimiyah dalam masalah dialog.


Ibn Taimiyah menulis, “Kita tidak boleh meninggalkan atau menolak perkataan seorang Yahudi, atau Nashrani, apatah lagi hanya karena dia seorang rafidhi (Syiah Imamiyah), selama ia mengandung kebenaran. Yang kita tolak hanya pendapat atau perkataan mereka yang mengandung kebatilan.” (Minhajus Sunnah, 3:342). Dan terhadap firman Allah dalam Al Maidah:8, Ibn Taimiyah berkomentar, “Ayat ini turun karena kebencian orang beriman terhadap orang kafir.

Dan ini adalah kebencian yang diperintahkan. Tapi jika kebencian yang dilarang itu karena dorongan kemarahan semata, maka bagaimana kebencian itu bisa dibenarkan jika yang mengatakan itu seorang muslim hanya karena khilaf, atau takwil, atau syubhat atau dorongan nafsu. Tentu saja muslim itu lebih tidak pantas untuk dizalimi. Bahkan yang benar, ia harus bersikap adil terhadapnya”. (Minhajus Sunnah, 5: 136).

Terhadap sosok Ibn Taimiyah, memang ada kesan potret yang sampai kepada kita tidak utuh atau carut marut. Yang banyak berseliweran di tengah kita malah kutipan bahwa Ibn Taimiyah telah membid’ahkan ini, menyesatkan itu, mentakfir fulan, dan yang senada dengan ini semua. Mungkin benar bahwa Ibn Taimiyah pernah menulis dalam bahasa vonis, tapi dengan menelisik pendapat Ibn Taimiyah diatas, maka bahasa vonis itu sepantasnya dinilai kontekstual atau tidak berdiri sendiri.

Saya juga bisa mengatakan bahwa satu kemustahilan Ibn Taimiyah telah meraih posisi terhormat dalam dunia intelektual kalau karyanya sembrono dan dangkal, atau hanya bermuatan simpulan pincang berbalut bahasa norak. Mungkin karena otoritas keilmuan Ibn Taimiyah yang begitu menjulang, saat ditanya kenapa harus menjadikan karya Ibn Taimiyah “Darut Ta’arudh Bainal Aqli wan Naqli ” sebagai tema bahasan disertasinya, alm. Nurcholis Madjid menjawab,” Saya berharap ini menjadi solusi intelektual bagi yang mengatakan bahwa Islam anti akal, anti ijtihad dan anti logika.”

Jadi jangan salahkan kalau ada orang yang paham baik terhadap sosok Ibn Taimiyah melalui karya karya intelektualnya akan terlihat bingung atau bodoh jika satu kala ia mendengar orang berceramah atau mengutip pendapat Ibn Taimiyah membid’ahkan ini dan menyesatkan itu dengan bahasa ringan dan renyah. Terakhir, tapi maaf ya, sebab saya juga ingin mengucapkan: Minal Aidin wal faizin di hari lebaran ini. Tidak apa apa kan ?

No comments: