Tiada Kata Menyerah Part 1

"Anak-anak, jangan lupa Sumpah Prajurit dan Sapta Marga."
Tiada Kata Menyerah (1)Mayjen TNI Soeharto (Wikimedia Commons)
Ucapan singkat dan padat dari Mayjen TNI Soeharto saat memberikan briefing, masih diingat Serma (Pur) G. Godipun. Pria asal Maumere itu mengucapkannya dengan lancar, seperti baru mendengarnya kemaren sore, meski suaranya sangat halus. Peltu (Pur) Sahudi menegaskan dengan mengulangi instruksi Soeharto untuk menghindari vuur contact (kontak senjata), karena tugas mereka menyusup dan infiltrasi.
Briefing ini disampaikan Panglima Mandala Mayjen TNI Soeharto pada malam keberangkatan pasukan, setelah menginap beberapa malam di Ambon.
Sesuai surat yang ditandatangani Panglima Mandala pada 11 April 1962, telah dkeluarkan Perintah Operasi penerjunan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Kedua pasukan digabung di bawah satu komando untuk penerjunan pada 26 April di sebuah dropping zone di wilayah Fak-Fak dan Kaimana.
Penerjunan ini merupakan infiltrasi udara pertama yang akan dilakukan tentara Indonesia di wilayah Irian Barat dalam rangka Operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda.
Pada saat Operasi Banten Ketaton dilaksanakan menggunakan enam pesawat Dakota,  pada pagi hari itu juga 26 April diterbangkan pembom B-25  Mitchel dan dua pemburu P-51 Mustang sebagai pengawal.
Seperti ditulis di buku 52 Tahun Infiltrasi PGT di Irian Barat (2014), penerbangan ini dilakukan untuk memantau keamanan jalur penerbangan sekaligus penipuan (deception flight). Belanda tidak menduga Indonesia mampu melakukan infiltrasi melalui udara.

Pagi hari, 15 April 1962, Kolonel Udara Wiriadinata didampingi SMU Picaulima dan KU I Atjim Sunahju, dipanggil Men/Pangau Laksamana Udara Omar Dhani. Dalam pertemuan itu Men/Pangau memberitahukan bahwa Picaulima bersama 18 anggota PGT akan diterjunkan di Irian Barat. Semua sudah mendengar tentang rencana ini, namun tidak tahu kapan dan di mana. Keesokan harinya ke-19 anggota PGT ini sudah diterbangkan ke Ambon menggunakan Hercules. Di sana mereka diterima Wakil Panglima Mandala, Komodor Udara Leo Wattimeda. Beberapa hari kemudian tepatnya tanggal 25 April, ke-19 anggota PGT ini diterbangkan ke Lanud Amahai, dan di sana sudah ada anggota RPKAD.
Operasi dibagi atas dua penerbangan yang lepas landas dari Lanud Amahai dengan tahapan Operasi Banteng I (Banteng Putih) menerjunkan pasukan di Fak-Fak, dan Operasi Banteng II (Banteng Merah) di Kaimana. Penerjunan di Fak-Fak dipimpin oleh Letda Inf Agus Hernoto, sedangkan di Kaimana dipimpin Lettu Heru Sisnondo. Bersama mereka juga diikutkan anggota dari Zeni Angkatan Darat, yang akan bertugas merusak fasilitas radar Belanda di Kaimana.
Operasi Banteng I
Sambil menunggu perintah berangkat, pasukan memilih leyeh-leyeh di bawah sayap pesawat. Tiga pesawat Dakota yang dipimpin Mayor Udara YE Nayoan, Komandan Skadron 2 Transport, disiapkan untuk menerbangkan pasukan ke Fak-Fak. Operasi ini akan menerjunkan satu tim gabungan terdiri dari 10 prajurit PGT, 30 prajurit  RPKAD ditambah dua orang Zeni. Tim ini dipimpin Letda Agus Hernoto.
Sewaktu lepas landas dari Laha, hujan turun deras. Dropping dilaksanakan di tengah temaramnya subuh di sebelah utara Fak-Fak. Setelah konsolidasi di pagi hari itu, rombongan PU II Pardjo yang diterjunkan di Fak-Fak ternyata selamat dan satu anggota dinyatakan hilang. Beberapa hari kemudian datang Marinir Belanda sehingga terjadi kontak senjata. Sesuai instruksi sebelumnya, bila kekuatan tidak seimbang segera masuk hutan. Setelah keadaan tenang, mereka menyusup kembali ke kampung tersebut dan ternyata sudah kosong. Rumah-rumah penduduk dibakar oleh Belanda dan penduduknya mengungsi entah kemana.

Sementara pasukan yang diterjunkan di Fak-Fak di bawah pimpinan Letda Agus hernoto, sekitar satu bulan bertahan di sekitar kampung Urere, kemudian mendapat perintah meninggalkan kampung. Dalam kondisi sudah lemah karena kekurangan makanan, pasukan berhenti sejenak di kebun pala untuk istirahat. Kemudian secara tiba-tiba diserang pasukan Belanda dari arah seberang sungai.
Dalam kontak senjata, lima anggota gugur yaitu KU I Adim Sunahyu, PU I Suwito, PU I Lestari, dua orang dari RPKAD yakni Sukani dan seorang lagi tak diketahui namanya. Komandan Peleton Letda Agus Hernoto tertembak di kedua kakinya dan ditawan Belanda. Sedangkan PU II Pardjo, kaki kanannya tertembak namun dengan sisa tenaganya berusaha menyelinap. Setelah Belanda pergi, Pardjo berusaha merangkak (karena tak sanggup berdiri) menuju tempat kelima temannya yang gugur. Dia hanya sanggup berdoa dan tetap bertahan hidup disitu sekitar lima hari di antara mayat teman-temannya yang mulai membusuk.
Sebuah kebetulan beberapa orang Irian lewat. Mungkin kasihan melihat Pardjo yang terluka, ia digotong dan dibawa ke kampung terdekat. Setelah beberapa hari dirawat, digotong lagi bersama-sama menyusuri pantai menuju rumah sakit angkatan laut Belanda di Fak-Fak. Di sini ia memperoleh perawatan medis sebelum ditahan. Pada saat penahanan itu ia mendengar melalui radio Belanda bahwa telah terjadi gencatan senjata.
Setelah menjalani interogasi, ia dikirim dengan kapal laut ke Biak dan dari sana dibawa ke penjara di Pulau Wundi. Di sinilah akhirnya ia bertemu pasukan Resimen Pelopor, Kapten Kartawi dengan pasukannya, pasukan Peltu Nana, Serma Boy Tomas, Kapten Udara Djalaludin, Letnan Udara I Sukandar dan kru pesawat Dakota T-440.
Operasi Banteng II
Penerjunan di Kaimana yang pertama terdiri dari tiga pesawat Dakota yang diterbangkan oleh Kapten Udara Santoso dengan kopilot LU II Siboen, LU I Suhardjo dengan LU II M Diran, dan LU I Nurman Munaf dengan LU I Suwarta. Penerbangan ini dipimpin Kapten Santos. Operasi ini menerjunkan satu tim gabungan PGT dan RPKAD (23 RPKAD, 9 PGT dan satu perwira Zeni) di bawah pimpinan Letda Heru Sisnodo dan Letda Zipur Moertedjo sebagai pimpinan penghancur radar di Kaimana.
Setelah istirahat satu malam di Langgur, keesokan harinya tanggal 26 April 1962 pukul 04.45 waktu setempat, tiga Dakota lepas landas menuju sasaran di daerah Kaimana dengan terbang rendah dalam keadaan hujan. Pada saat fajar menyingsing sekitar pukul 05.30, pesawat mendekati daerah sasaran sekitar 10 km dari Kota Kaimana yang terletak di suatu lembah. Pertama-tama diterjunkan adalah logistik, baru kemudian satu persatu pasukan keluar dan mendarat di Kampung Urere.

KU II Godipun masih sempat melihat buih-buih berkejaran di pantaiKaimana sebelum bel tanda persiapan untuk terjun, memecah kesunyian subuh itu. Karena masih gelap, umunya tidak bisa menebak di mana akan jatuh. Yang terlihat hanyalah gundukan hitam yang ternyata adalah hutan belantara dengan pepohonan yang menjulang tinggi bagaikan raksasa. Sampai di sini, malapetaka langsung menimpa mereka.
Hampir semuanya mendarat di puncak-puncak pohon yang tingginya sekitar 50 meter. Karena jatuh terpencar, menyulitkan koordinasi. Situasi in sedikit menguntungkan bagi yang membawa beban ekstra berat, seperti pembawa radio. Karena jika langsung mendarat di tanah, kemungkinan cedera sangat tinggi. Namin dengan mendarat di pepohonan ini, tetap saja tidak menggembirakan buat mereka.
Dropping zone ini mereka ketahui sebagai wilayah Kampung Urere yang alias Pasir Putih. Karena jatuh di atas pohon, banyak di antara anggota mengalami cedera. Seperti KU I Sahudi, payungnya berhenti di antara dua pohon sehingga ia tergantung-gantung seperti buah mangga. Tidak mau hilang akal, Sahudi berusaha mengulur tali yang dibawa agar bisa turun. Rupanya tali yang dibawa sepanjang 30 meter itu tidak menyentuh permukaan tanah. Dia pun memutuskan menjatuhkan ransel perbekalan agar bisa mengira-ngira ketinggiannya. Cukup lama sebelum bunyi benda jatuh di tanah bisa didengarnya. "Pohonnya tinggi sekali," kenang Sahudi.
Hari sudah mulai siang dan badan pun mulai letih karena tidak makan. Tidak mau mati konyol di atas pohon, Sahudi mulai mengayunkan payung agar bisa meraih dahan terdekat. Berkali-kali ia coba namun sebanyakitu pula ia gagal. Tanpa disadarinya, karena terus bergouang, payungnya mulai merosot dari pohon. Sampai akhirnya lepas dan Sahudi pun terpental ke pohon sebelum terhempas di tanah dengan punggung jatuh lebih dulu.
Ia merasakan sakit tak terperikan di punggung, membuatnya nyaris tidak bisa bergerak. Baru kemudian ia sadari bahwa tulang punggungnya patah! Tak jauh dari tempatnya jatuh, ia melihat rekannya KU I J. Dompas yang terluka dan Pratu Margono dari RPKAD yang mengalami patah kaki. Mereka bermalam di situ selama beberapa hari, dan mendapat bantuan dari penduduk setempat.
Siang itu Belanda mulai mencium kehadiran pasukan gabungan. Gara-garanya setelah pesawat Belanda melintas, pilotnya melihat parasut bertaburan di puncak-puncak pohon. Karena itu Belanda mengirimkan sejumlah polisi yang umumnya direkrut dari putra asli Irian ntuk mengecek kebenarannya.
Untunglah ada penduduk berbaik hati mengabarkan bahwa ada polisi datang. "Tuan besar datang, tuan besar datang," kata mereka. malam itu juga Sahudi dan kedua rekannya meninggalkan kampung kecil itu. Karena sedang sakit, Margono hanya bisa merangkak, sementara Sahudi tertatih-tatih.

BERsambung

No comments: