Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat
Lima penyintas masa perang menguakkan takdir dan kesaksian mereka ketika riwayat Hindia Belanda tamat.
Kendaraan lapis baja dan kendaraan perang lainnya milik militer Jepang tengah berpatroli melintasi kawasan Harmoni, Jakarta, pada 25 September 1945. Kendati Jepang telah menyerah dan Soekarno-Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, mereka tetap menjaga ketertiban kota. (LLieutenant Robert John Buchanan/Australia War Memorial) Militer Jepang memasuki Batavia tatkala Satyawati Suleiman (1920-1988) masih menjadi mahasiswi. Satyawati dikenal sebagai perempuan pertama yang menyandang gelar ahli arkeologi di Indonesia. Kisah pengalamannya ketika awal masa pendudukan Jepang pernah terbit dalam jurnal Indonesia pada Oktober 1979.
Berbeda dengan nasib kebanyakan keluarga Belanda, kondisi Satyawati dan keluarganya tampaknya masih tenteram pada awal 1942. “Ibu saya menanam mentimun dan bunga matahari Meksiko,” ungkapnya, “dan, setelah Jepang tiba, kita bisa makan sayuran dan memotong bunga untuk mencerahkan rumah.”
Namun, beberapa bulan jelang militer Jepang masuk, perubahan yang tampak nyata adalah di kampusnya. Banyak profesor Belanda mengubah busananya dengan seragam Stadswacht dan Landwacht, yang merupakan bagian korps militer darurat di Hindia Belanda. “Jadi kami menghadiri kuliah yang diberikan oleh laki-laki berpenampilan pejuang perang,” ungkap Satyawati, “yang masuk ruangan dengan entakan sepatu bot dan dengan helm di tangan mereka.”
Beberapa ruang dosen juga dimodifikasi supaya tahan dari bom serangan udara, juga dinding darurat yang melapisi dinding luar ruang tersebut. Kebiasaan baru para penghuni kampus adalah merayapi dinding perlindungan ketika terdengar alarm peringatan serangan udara.
“Banyak mahasiswa berangsur-angsur menghilang, terutama gadis-gadis,” Satyawati berkisah. Umumnya orang tua mereka menganggap kota besar seperti Batavia tidak lagi aman bagi anak-anak perempuan mereka. Kekhawatiran itu cukup beralasan lantaran berbagai berita mengerikan tentang brutalnya pembantaian di Nanking, Tiongkok, oleh Jepang.
Mahasiswa kian menghilang dalam kelas, namun Setyawati dan segelintir temannya masih setia menghadiri perkuliahan. “Kami masih ceria dan tampak seolah-olah tidak takut sama sekali,” ungkapnya. “Kami menyimak profesor yang menjelaskan tata bahasa Jawa yang sulit, seakan tidak terjadi Perang Pasifik.”
Setiap orang mewakili kisah takdirnya sendiri dalam masa-masa sulit. Tiga tahun kemudian, sebuah negeri kepulauan bernama Indonesia menjadi takdir baru bagi rakyatnya yang merindukan kebebasan.
Kendaraan lapis baja dan kendaraan perang lainnya milik militer Jepang tengah berpatroli melintasi kawasan Harmoni, Jakarta, pada 25 September 1945. Kendati Jepang telah menyerah dan Soekarno-Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, mereka tetap menjaga ketertiban kota. (LLieutenant Robert John Buchanan/Australia War Memorial) Militer Jepang memasuki Batavia tatkala Satyawati Suleiman (1920-1988) masih menjadi mahasiswi. Satyawati dikenal sebagai perempuan pertama yang menyandang gelar ahli arkeologi di Indonesia. Kisah pengalamannya ketika awal masa pendudukan Jepang pernah terbit dalam jurnal Indonesia pada Oktober 1979.
Berbeda dengan nasib kebanyakan keluarga Belanda, kondisi Satyawati dan keluarganya tampaknya masih tenteram pada awal 1942. “Ibu saya menanam mentimun dan bunga matahari Meksiko,” ungkapnya, “dan, setelah Jepang tiba, kita bisa makan sayuran dan memotong bunga untuk mencerahkan rumah.”
Namun, beberapa bulan jelang militer Jepang masuk, perubahan yang tampak nyata adalah di kampusnya. Banyak profesor Belanda mengubah busananya dengan seragam Stadswacht dan Landwacht, yang merupakan bagian korps militer darurat di Hindia Belanda. “Jadi kami menghadiri kuliah yang diberikan oleh laki-laki berpenampilan pejuang perang,” ungkap Satyawati, “yang masuk ruangan dengan entakan sepatu bot dan dengan helm di tangan mereka.”
Beberapa ruang dosen juga dimodifikasi supaya tahan dari bom serangan udara, juga dinding darurat yang melapisi dinding luar ruang tersebut. Kebiasaan baru para penghuni kampus adalah merayapi dinding perlindungan ketika terdengar alarm peringatan serangan udara.
“Banyak mahasiswa berangsur-angsur menghilang, terutama gadis-gadis,” Satyawati berkisah. Umumnya orang tua mereka menganggap kota besar seperti Batavia tidak lagi aman bagi anak-anak perempuan mereka. Kekhawatiran itu cukup beralasan lantaran berbagai berita mengerikan tentang brutalnya pembantaian di Nanking, Tiongkok, oleh Jepang.
Mahasiswa kian menghilang dalam kelas, namun Setyawati dan segelintir temannya masih setia menghadiri perkuliahan. “Kami masih ceria dan tampak seolah-olah tidak takut sama sekali,” ungkapnya. “Kami menyimak profesor yang menjelaskan tata bahasa Jawa yang sulit, seakan tidak terjadi Perang Pasifik.”
Setiap orang mewakili kisah takdirnya sendiri dalam masa-masa sulit. Tiga tahun kemudian, sebuah negeri kepulauan bernama Indonesia menjadi takdir baru bagi rakyatnya yang merindukan kebebasan.
(Mahandis Yoanata Thamrin)
No comments:
Post a Comment