Di Mana Bisa Kita Temukan Khalifah al-Mu’tashim di Zaman Ini?
Mari kita perhatikan, jalan mana yang saat ini kita tapaki, agar kita bisa ketahui kemana arah yang kita tuju dalam hidup ini
Karen Amstrong, dalam buku Biography of Muhammad mengatakan, “Kaum Muslim adalah peletak dasar peradaban agung di semua aspek peradaban manusia di altar kehidupan ini
PADA malam hari, kota ini diterangi lampu-lampu yang gemerlapan sehingga pejalan kaki memperoleh cahaya sepanjang sepuluh mil tanpa terputus. Lorong-lorongnya beralaskan batu ubin, dan bersih dari sampah-sampah yang berserakan. Kota ini juga berhiaskan taman-taman yang hijau, memiliki tempat pemandian berjumlah 900 buah, bangunan-bangunan sebanyak 80.000 buah, masjid 800 buah dan berpenduduk lebih dari satu juta jiwa.
Di kota ini terdapat istana az-Zahra yang megah dan keindahannya menyejarah karena bernilai seni tinggi dan dibangun dengan teknologi yang canggih, sampai-sampai sejarawan Turki, Dhiya Pasha mengatakan bahwa istana az-Zahra merupakan keajaiban zaman yang belum pernah terlintas imajinasinya dalam benak arsitek sejak Allah menciptakan alam ini. Kota ini bernama Cordoba, terletak di Andalusia, dimana negara Spanyol kini berada.
Begitulah pemandangan dan suasana ketika umat Islam mencapai zaman keemasannya dalam sejarah. Peradabannya gemerlap dengan indahnya akhlak dan kemajuan ilmu pengetahuan serta keindahan arsitektur bangunan.
Karen Amstrong, dalam buku Biography of Muhammad mengatakan, “Kaum Muslim adalah peletak dasar peradaban agung di semua aspek peradaban manusia di altar kehidupan ini. Mereka juga meletakkan dasar-dasar metodologi berpikir brilian yang menjadi acuan dasar para pemikir Eropa pada abad pertengahan, bahkan hingga masa kini.”
Tapi setelah berbagai persoalan datang mendera baik itu dari internal maupun eksternal, maka berlakulah fase kemunduran yang penuh dengan ratapan, tangisan dan penderitaan. Saat Khilafah Utsmaniyah dihapuskan oleh pengkhianat bernama Musthafa Kemal, seorang penyair Turki berkata:
Kini senandung pengantin berbalik menjadi ratapan
Aku meratap di tengah lencana-lencana kegembiraan
Kau dikafankan di malam pengantin dengan pakaiannya
Dan tatkala pagi akan menjelang, engkau telah sirna
Mimbar-mibar dan tempat adzan bergerak untukmu
Sedangkan kerajaan-kerajaan meratap menangisi kepergianmu
India, Walhah dan Mesir demikian bersedih ditinggalkanmu
Menangis dengan air mata yang deras untuk kepergianmu
Syam, Iraq dan Persia semua bertanya-tanya
Adakah oleh orang-orang dari muka bumi, khilafah telah dimusnahkan?
Wahai alangkah malang, dikubur hidup-hidup orang yang merdeka
Dibunuh tanpa melakukan kesalahan dan kejahatan
Seorang intelektual asal Aljazair, Malik bin Nabi mengatakan, bahwa sebuah peradaban akan terus menanjak naik tatkala yang menjadi panglimanya adalah ruh. Dengan ruh, sebuah peradaban akan menjadi peradaban yang bersih dan tak terkotori. Pada masa inilah peradaban akan dianggap mencapai puncak yang sebenarnya.
Pada tahapan kedua, peradaban akan mengalami perluasan dan pemekaran wilayah, tatkala yang menjadi pemain dalam peradaban itu adalah akal. Peradaban yang dikendalikan oleh akal akan mengalami tarik menarik yang demikian kencang antara ruh dan hawa nafsu.
Dan jika hawa nafsu menjadi panglimanya, maka terjadilah tahapan yang ketiga, yaitu fase kehancuran dan kebangkrutan. Pada titik inilah peradaban akan meluncur deras ke titik paling bawah dalam sejarah.
Itulah fakta sejarah. Bangsa Arab dahulu bukanlah siapa-siapa. Dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, Khulafaur Rasyidin, bani Umawiyah dan bani Abbasiyah, Islam bisa meraih kejayaan dan menjadi soko-guru dalam peradaban. Wilayah kekuasaan mereka terbentang luas dari Andalusia sampai negeri India. Hal ini bisa dicapai karena mereka bersenyawa dengan Islam, Al-Quran dan sunnah dijadikan sebagai pedoman.
Maka ketika mereka terlena dengan musik, tari-tarian, pertunjukan tengah malam dan masuknya perselisihan, maka dicabutlah amanah kepemimpinan itu dari mereka. Allah Subhanahu Wata’ala serahkan kepada bangsa Kurdi dengan tokohnya yang gemilang, Nuruddin Muhammad Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi.
Di tangan mereka, masjid al-Aqsha yang dikuasai Pasukan Salib selama 88 tahun berhasil direbut dan diselamatkan.
Ketika bangsa Kurdi berpaling dari Islam, Allah Subhanahu Wata’ala serahkan estafet kepemimpinan kepada Mamluk, bekas-bekas budak dari Asia Tengah, dan kemudian diberikan kepada bangsa Turki.
Lewat perantara salah satu pemimpinnya yang agung, Sultan Muhammad al-Fatih, Kota Konstantinopel yang telah dijanjikan akan ditaklukkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam 8 abad sebelumnya, bertekuk lutut dan menyerah di bawah telapak kakinya.
Kekuasaan Turki Utsmani mencengkram kuat di daratan Eropa dan mampu bertahan selama 6 abad lamanya dan menjadi adidaya yang ditakuti oleh bangsa-bangsa Eropa.
Sunnatullah terus berlaku, ketika sultan-sultan Turki Utsmani menjauh dari syariat Allah dan Rasul-Nya, maka kekuasaan mereka yang terbentang luas dari tanah Hindustan, India hingga wilayah Balkan, Eropa menjadi bercerai berai, seperti makanan yang terhidang di meja, diperebutkan dan disantap dengan buas oleh bangsa Eropa.
Sampai detik ini, belum ada lagi generasi Muslim yang mampu membangkitkan dan menata kembali puing-puing sejarah Islam yang telah runtuh.
Sebaliknya, umat Islam dinistakan dan mendapatkan perlakukan yang sewenang-wenang di berbagai belahan dunia. Jika dulu hanya karena seorang wanita ditawan; “Wahai Muhammad, wahai Mu’tashim!”, ratapnya dalam tawanan. Khalifah al-Mu’tashim langsung menunggang kudanya dan bersama bala tentaranya pergi menyelamatkan dan membebaskan wanita tersebut. “Ku penuhi seruanmu!”, ujar sang khalifah setelah berhasil menyelamatkan wanita tersebut.
Tapi saat ini, ratusan bahkan ribuan wanita Muslimah menjerit dan berteriak, dianiaya, diperkosa dan dizhalimi di Palestina, Suriah, Iraq, Afghanistan, Rohingya dan negeri Islam lainnya, belum ada dari kita yang bisa menyelamatkan dan membebaskan mereka. Betapa menyedihkannya!
Di mana Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash yang mengalahkan adidaya Persia?
Di mana sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang membebaskan masjid al-Aqsha?
Di mana tentara-tentara Thariq bin Ziyad yang menggemparkan bumi Andalusia?
Di mana pasukan al-Fatih penakluk Konstantinopel, yang membuat gentar Eropa?
Penulis adalah anggota Kelompok Studi Palestina (KSP). Kini magister Informatika Opsi Sistem Informasi Institut Teknologi Bandung (ITB)
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Fais al-Fatih
PADA malam hari, kota ini diterangi lampu-lampu yang gemerlapan sehingga pejalan kaki memperoleh cahaya sepanjang sepuluh mil tanpa terputus. Lorong-lorongnya beralaskan batu ubin, dan bersih dari sampah-sampah yang berserakan. Kota ini juga berhiaskan taman-taman yang hijau, memiliki tempat pemandian berjumlah 900 buah, bangunan-bangunan sebanyak 80.000 buah, masjid 800 buah dan berpenduduk lebih dari satu juta jiwa.
Di kota ini terdapat istana az-Zahra yang megah dan keindahannya menyejarah karena bernilai seni tinggi dan dibangun dengan teknologi yang canggih, sampai-sampai sejarawan Turki, Dhiya Pasha mengatakan bahwa istana az-Zahra merupakan keajaiban zaman yang belum pernah terlintas imajinasinya dalam benak arsitek sejak Allah menciptakan alam ini. Kota ini bernama Cordoba, terletak di Andalusia, dimana negara Spanyol kini berada.
Begitulah pemandangan dan suasana ketika umat Islam mencapai zaman keemasannya dalam sejarah. Peradabannya gemerlap dengan indahnya akhlak dan kemajuan ilmu pengetahuan serta keindahan arsitektur bangunan.
Karen Amstrong, dalam buku Biography of Muhammad mengatakan, “Kaum Muslim adalah peletak dasar peradaban agung di semua aspek peradaban manusia di altar kehidupan ini. Mereka juga meletakkan dasar-dasar metodologi berpikir brilian yang menjadi acuan dasar para pemikir Eropa pada abad pertengahan, bahkan hingga masa kini.”
Tapi setelah berbagai persoalan datang mendera baik itu dari internal maupun eksternal, maka berlakulah fase kemunduran yang penuh dengan ratapan, tangisan dan penderitaan. Saat Khilafah Utsmaniyah dihapuskan oleh pengkhianat bernama Musthafa Kemal, seorang penyair Turki berkata:
Kini senandung pengantin berbalik menjadi ratapan
Aku meratap di tengah lencana-lencana kegembiraan
Kau dikafankan di malam pengantin dengan pakaiannya
Dan tatkala pagi akan menjelang, engkau telah sirna
Mimbar-mibar dan tempat adzan bergerak untukmu
Sedangkan kerajaan-kerajaan meratap menangisi kepergianmu
India, Walhah dan Mesir demikian bersedih ditinggalkanmu
Menangis dengan air mata yang deras untuk kepergianmu
Syam, Iraq dan Persia semua bertanya-tanya
Adakah oleh orang-orang dari muka bumi, khilafah telah dimusnahkan?
Wahai alangkah malang, dikubur hidup-hidup orang yang merdeka
Dibunuh tanpa melakukan kesalahan dan kejahatan
Seorang intelektual asal Aljazair, Malik bin Nabi mengatakan, bahwa sebuah peradaban akan terus menanjak naik tatkala yang menjadi panglimanya adalah ruh. Dengan ruh, sebuah peradaban akan menjadi peradaban yang bersih dan tak terkotori. Pada masa inilah peradaban akan dianggap mencapai puncak yang sebenarnya.
Pada tahapan kedua, peradaban akan mengalami perluasan dan pemekaran wilayah, tatkala yang menjadi pemain dalam peradaban itu adalah akal. Peradaban yang dikendalikan oleh akal akan mengalami tarik menarik yang demikian kencang antara ruh dan hawa nafsu.
Dan jika hawa nafsu menjadi panglimanya, maka terjadilah tahapan yang ketiga, yaitu fase kehancuran dan kebangkrutan. Pada titik inilah peradaban akan meluncur deras ke titik paling bawah dalam sejarah.
Itulah fakta sejarah. Bangsa Arab dahulu bukanlah siapa-siapa. Dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, Khulafaur Rasyidin, bani Umawiyah dan bani Abbasiyah, Islam bisa meraih kejayaan dan menjadi soko-guru dalam peradaban. Wilayah kekuasaan mereka terbentang luas dari Andalusia sampai negeri India. Hal ini bisa dicapai karena mereka bersenyawa dengan Islam, Al-Quran dan sunnah dijadikan sebagai pedoman.
Maka ketika mereka terlena dengan musik, tari-tarian, pertunjukan tengah malam dan masuknya perselisihan, maka dicabutlah amanah kepemimpinan itu dari mereka. Allah Subhanahu Wata’ala serahkan kepada bangsa Kurdi dengan tokohnya yang gemilang, Nuruddin Muhammad Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi.
Di tangan mereka, masjid al-Aqsha yang dikuasai Pasukan Salib selama 88 tahun berhasil direbut dan diselamatkan.
Ketika bangsa Kurdi berpaling dari Islam, Allah Subhanahu Wata’ala serahkan estafet kepemimpinan kepada Mamluk, bekas-bekas budak dari Asia Tengah, dan kemudian diberikan kepada bangsa Turki.
Lewat perantara salah satu pemimpinnya yang agung, Sultan Muhammad al-Fatih, Kota Konstantinopel yang telah dijanjikan akan ditaklukkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam 8 abad sebelumnya, bertekuk lutut dan menyerah di bawah telapak kakinya.
Kekuasaan Turki Utsmani mencengkram kuat di daratan Eropa dan mampu bertahan selama 6 abad lamanya dan menjadi adidaya yang ditakuti oleh bangsa-bangsa Eropa.
Sunnatullah terus berlaku, ketika sultan-sultan Turki Utsmani menjauh dari syariat Allah dan Rasul-Nya, maka kekuasaan mereka yang terbentang luas dari tanah Hindustan, India hingga wilayah Balkan, Eropa menjadi bercerai berai, seperti makanan yang terhidang di meja, diperebutkan dan disantap dengan buas oleh bangsa Eropa.
Sampai detik ini, belum ada lagi generasi Muslim yang mampu membangkitkan dan menata kembali puing-puing sejarah Islam yang telah runtuh.
Sebaliknya, umat Islam dinistakan dan mendapatkan perlakukan yang sewenang-wenang di berbagai belahan dunia. Jika dulu hanya karena seorang wanita ditawan; “Wahai Muhammad, wahai Mu’tashim!”, ratapnya dalam tawanan. Khalifah al-Mu’tashim langsung menunggang kudanya dan bersama bala tentaranya pergi menyelamatkan dan membebaskan wanita tersebut. “Ku penuhi seruanmu!”, ujar sang khalifah setelah berhasil menyelamatkan wanita tersebut.
Tapi saat ini, ratusan bahkan ribuan wanita Muslimah menjerit dan berteriak, dianiaya, diperkosa dan dizhalimi di Palestina, Suriah, Iraq, Afghanistan, Rohingya dan negeri Islam lainnya, belum ada dari kita yang bisa menyelamatkan dan membebaskan mereka. Betapa menyedihkannya!
Di mana Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash yang mengalahkan adidaya Persia?
Di mana sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang membebaskan masjid al-Aqsha?
Di mana tentara-tentara Thariq bin Ziyad yang menggemparkan bumi Andalusia?
Di mana pasukan al-Fatih penakluk Konstantinopel, yang membuat gentar Eropa?
KITA sebagai umat Islam
harus bangkit dari lumpur kehinaan ini dan berupaya untuk merajut
kembali kiswah peradaban yang telah lama robek dan koyak. Memang tak ada
faedah yang akan kita dapatkan, dengan hanya meratapi dan menangisi
puing-puing masa lalu yang telah lapuk dan hancur.
Salah satu upaya cerdas yang bisa kita
lakukan adalah merenungi dan mempelajari lembar tiap lembar, membaca
buku sejarah umat Islam, mulai dari masa Rasulullaah Shallallahu ‘Alaihi
Wassallam, masa Khulafaur Rasyidin, Umawiyah, Abbasiyah, Ayyubiyah,
Mamluk hingga kekhilafahan Utsmaniyah agar kita bisa memetik hikmah dan
mengambil pelajaran apa saja yang menjadi faktor kebangkitan dan
kejayaan mereka dan apa saja yang menjadi penyebab keruntuhan peradaban
yang mereka bangun.
Dalam sebuah syair dikatakan;
Pelajarilah sejarah!
Karena suatu kaum yang melupakan sejarahnya,
ibarat anak pungut yang tak mengetahui nasabnya.
Atau seperti orang yang hilang ingatannya,
hingga ia tidak ingat tentang masa lalunya.
Pemahaman dan penghayatan mengenai sejarah
masa lampau merupakan sebuah keniscayaan bagi pembangunan umat dan
peradaban. Tatkala Allah Subhanahu Wata’ala mengutus Nabi Musa as kepada
Bani Israil yang telah lemah mentalnya dan rusak kepribadiannya, Nabi
Musa as berkata: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika
Dia mengangkat Nabi-nabi di antaramu dan dijadikannya kamu orang-orang
yang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah
diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain.” (QS. al-Maidah: 20)
Bani Israil telah melupakan kegemilangan
sejarah nenek moyangnya: Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, Nabi Yaqub, Nabi
Yusuf as, sehingga merasa diri mereka sebagai bangsa budak yang selalu
terbelenggu dan lupa terhadap keistimewaan-keistimewaan yang
dianugerahkan Allah Subhanahu Wata’ala kepada mereka. Kita adalah umat
terbaik dan umat yang dipilih Allah Subhanahu Wata’ala untuk
memperjuangkan risalah akhir zaman yang berlaku universal dan global.
Dan tentunya, mentalitas kita tidak seperti mentalitas Bani Israil di
masa Nabi Musa as, yang melupakan kejayaan yang dicapai oleh
pendahulunya bukan? Na’udzubillah…
Kita sebagai umat Islam hendaknya berusaha
menjunjung tinggi dan memperjuangkan risalah Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wassallam sebagaimana yang pernah digemakan oleh al-Miqdad bin
Amr ra saat diseru untuk berperang melawan kaum musyrikin oleh
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, “Wahai Rasulullah,
majulah terus seperti yang diperlihatkan Allah kepada engkau. Kami akan
bersamamu. Demi Allah, kami tidak akan berkata sebagaimana Bani Israil
berkata kepada Musa, ‘Pergilah engkau sendiri bersama Rabbmu lalu
berperanglah kalian berdua. Sesungguhnya kami ingin duduk menanti di
sini saja.’ Tetapi, pergilah engkau bersama Rabbmu lalu berperanglah
kalian berdua, sesungguhnya kami akan berperang bersama kalian berdua.”
Menyadari bahwa sejarah para pendahulu
kita merupakan warisan kekayaan yang begitu agung, maka mengkaji,
menelaah, mempelajari dan menghayati setiap langkah generasi terdahulu
merupakan salah satu pra-syarat utama kembalinya kejayaan Islam. Membuka
kembali lembaran-lembaran jihad, perjuangan dan pengorbanan mereka
merupakan modal utama perjuangan umat Islam yang sungguh tiada ternilai
harganya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman, “Sesungguhnya pada
kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal.” (QS. Yusuf: 111)
Menyelami sejarah para shalafus shalih
bisa menjadikan seorang Muslim memandang rendah dunia, melawan daya
tariknya dan kelezatannya yang fana. Dia juga akan menjadikan melangkah
dan bergerak di bumi namun semangat dan cita-citanya melambung
mengangkasa.
Salah seorang ulama rabbani yang sangat
berpengaruh dalam membentuk mental sang penakluk Konstantinopel, Syaikh
Aaq Syamsuddin setiap hari menceritakan sejarah perjuangan Rasulullah
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dan pengorbanannya dalam
menegakkan Islam, serta menanamkan kepribadian Rasul melalui sirah-nya
kepada Muhammad al-Fatih. Ia juga menceritakan kepahlawanan dan
kegagahan para sahabat dan penakluk lainnya, kehebatan mereka yang tak
terbendung, perjuangannya hingga berakhir syahid di jalan-Nya dan juga
usaha-usaha yang dilakukan pendahulu mereka dalam upaya menaklukkan
Konstantinopel. Dan itulah salah satu faktor penentu yang membuatnya
sukses menaklukkan ibukota kerajaan Byzantium tersebut.
Dalam membaca sejarah, hendaknya kita
melakukan analisis yang mendalam terhadap sejarah tersebut. Lembar demi
lembar kita buka untuk menengok kembali peristiwa-peristiwa yang telah
tertutupi debu selama berabad-abad lamanya.
Mari kita perhatikan, jalan mana yang saat
ini kita tapaki, agar kita bisa ketahui kemana arah yang kita tuju
dalam hidup ini. Seorang mukmin yang berakal akan memetik hikmah dan
mengambil pelajaran yang menjadi sebab-sebab kejayaan Islam yang pernah
diraih, juga tentunya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, yang
pernah dilakukan oleh orang-orang yang terdahulu, yang menyebabkan
mereka terkubur dalam puing-puing sejarah.*
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Fais al-Fatih
No comments:
Post a Comment