Setelah 183 Tahun Tongkat Diponegoro Kembali Ke Indonesia
Ada kabar menarik tentang sejarah Indonesia. Kabar tersebut adalah pengembalian tongkat pusaka yang dipakai Pangeran Diponegoro –yang disebut Kanjeng Kiai Tjokro - setelah 183 tahun berada di negeri Belanda dan dianggap hilang (Harian Suara Merdeka, 7 Februari 2015).
Pengembalian tongkat sepanjang 153 sentimeter tersebut dilakukan oleh kakak-beradik Michiel dan Erica Lucia Baud kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan pada pembukaan pameran seni rupa ‘’Aku Diponegoro’’ di Galeri Nasional Indonesia di Jakarta, Kamis (5/2). Pameran tersebut digelar sejak 6 Februari – 8 Maret 2015.
Riwayat Tongkat
Inilah sedikit riwayat Tongkat Pusaka Kiai Tjokro tersebut. Pada 1832 saat Diponegoro ditangkap oleh Belanda, seluruh barang-barang bawaannya termasuk tongkat disita oleh pihak lawan.
Sejak saat itu, tongkat tersebut dibawa ke Belanda, bahkan sampai Indonesia merdeka. Dalam acara penyerahan, Michiel Baud , pada acara tersebut mengatakan, keluarganya menerima tongkat itu pada 1834 dari Adipati Notoprojo, keluarga keturunan Sunan Kalijaga.
Sementara sejarawan Inggris yang telah 40 tahun meneliti Diponegoro, Peter Carey menyatakan tongkat tongkat tersebut dibuat sekitar abad 16 untuk Sultan Demak, bukan dibuat untuk khusus untuk Pangeran Diponegoro.
Peter menjelaskan, tongkat itu diberikan pada seseorang rakyat biasa kepada Pangeran Diponegoro pada 1815, sekitar sepuluh tahun sebelum perang Jawa dimulai pada 1825. Tongkat ini kemudian dipakai Diponegoro saat melakukan ziarah di berbagai wilayah di Jawa. Tongkat tersebut dirampas pada 1829, lalu setelah berpindah-pindah tangan, akhirnya dibawa ke Belanda.
Sementara itu, dalam kertas yang terselip di ujung tongkat yang diduga ditulis sendiri oleh JC Baud, Gubernur Jenderal Belanda yang bertugas 1833- 1836 yang mendapatkan tongkat ini dari Pangeran Notoprojo Juli 1834, tertulis “Tongkat ini selalu dibawa Pangeran Diponegoro setiap kali melakukan perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci untuk memohon agar segala kegiatannya diberkati.”
Dalam buku katalog tongkat ini yang ada di pameran tersebut ,”A Lost Pusaka Returned” , yang diterbitkan Rijks Museum, disebutkan, tongkat itu jatuh ke tangan Pangeran Diponegoro sekitar 10 tahun sebelum pecahnya Perang Jawa, sekitar 1815.
Tongkat itu dinamakan Tjokro atau Cakra karena ujungnya bulat seperti bulan. Simbol cakra sepertinya memiliki makna penting bagi Diponegoro. Sebab, cakra adalah senjata Dewa Wisnu, yang inkarnasinya ke-7 menjadi penguasa dunia dengan menggenggam senjata cakra. Hal ini dikaitkan dengan mitologi Jawa dengan kedatangan Sang Ratu Adil atau erucakra.
Diponegoro memulai memakai gelar ini di awal Perang Jawa dan menganggap perjuangannya sebagai perang suci untuk mengembalikan tatanan moral ilahi demi terjaminnya kesejahteraan rakyat Jawa.
Panji pertempuran Diponegoro menggunakam simbol cakra dengan panah menyilang. Kemudian, setelah Perang Jawa berakhir, tongkat itu jatuh ke tangan cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang, yakni Pangeran Adipati Notoprojo.
Jas Merah
Bagaimanapun Bangsa Indonesia harus menyambut gembira kembalinya Tongkat Pusaka Kiai Tjokro tersebut. Hal tersebut akan memperkuat ingatan bangsa Indonesia akan sejarah. Seperti yang dikatakan Bung Karno bahwa Kita jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah). Dari sejaraha kita bisa belajar banyak.
Pengembalian Tongkat Pusaka Pangeran Diponegoro merupakan momentum yang tepat untuk mengembalikan jiwa nasionalisme bangsa yang tengah terkoyak. Benda pusaka tersebut memiliki nilai sejarah karena pada masanya menjadi saksi perjuangan Pangeran Diponegoro yang sangat gigih melawan kolonialisme dan menegakkan keadilan serta kebenaran. Sebuah spirit yang saat ini tengah melemah karena godaan materialisme yang pada akhirnya mengabaikan kebenaran dan keadilan.
Akhirnya, kita tunggu juga pengemablian benda-benda pusaka yang lain- yang masih banyak tersimpan di negeri Belanda - yang akan memperkaya koleksi museum kita
Nugroho
Pengembalian tongkat sepanjang 153 sentimeter tersebut dilakukan oleh kakak-beradik Michiel dan Erica Lucia Baud kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan pada pembukaan pameran seni rupa ‘’Aku Diponegoro’’ di Galeri Nasional Indonesia di Jakarta, Kamis (5/2). Pameran tersebut digelar sejak 6 Februari – 8 Maret 2015.
Riwayat Tongkat
Inilah sedikit riwayat Tongkat Pusaka Kiai Tjokro tersebut. Pada 1832 saat Diponegoro ditangkap oleh Belanda, seluruh barang-barang bawaannya termasuk tongkat disita oleh pihak lawan.
Sejak saat itu, tongkat tersebut dibawa ke Belanda, bahkan sampai Indonesia merdeka. Dalam acara penyerahan, Michiel Baud , pada acara tersebut mengatakan, keluarganya menerima tongkat itu pada 1834 dari Adipati Notoprojo, keluarga keturunan Sunan Kalijaga.
Sementara sejarawan Inggris yang telah 40 tahun meneliti Diponegoro, Peter Carey menyatakan tongkat tongkat tersebut dibuat sekitar abad 16 untuk Sultan Demak, bukan dibuat untuk khusus untuk Pangeran Diponegoro.
Peter menjelaskan, tongkat itu diberikan pada seseorang rakyat biasa kepada Pangeran Diponegoro pada 1815, sekitar sepuluh tahun sebelum perang Jawa dimulai pada 1825. Tongkat ini kemudian dipakai Diponegoro saat melakukan ziarah di berbagai wilayah di Jawa. Tongkat tersebut dirampas pada 1829, lalu setelah berpindah-pindah tangan, akhirnya dibawa ke Belanda.
Sementara itu, dalam kertas yang terselip di ujung tongkat yang diduga ditulis sendiri oleh JC Baud, Gubernur Jenderal Belanda yang bertugas 1833- 1836 yang mendapatkan tongkat ini dari Pangeran Notoprojo Juli 1834, tertulis “Tongkat ini selalu dibawa Pangeran Diponegoro setiap kali melakukan perjalanan ziarah ke tempat-tempat suci untuk memohon agar segala kegiatannya diberkati.”
Dalam buku katalog tongkat ini yang ada di pameran tersebut ,”A Lost Pusaka Returned” , yang diterbitkan Rijks Museum, disebutkan, tongkat itu jatuh ke tangan Pangeran Diponegoro sekitar 10 tahun sebelum pecahnya Perang Jawa, sekitar 1815.
Tongkat itu dinamakan Tjokro atau Cakra karena ujungnya bulat seperti bulan. Simbol cakra sepertinya memiliki makna penting bagi Diponegoro. Sebab, cakra adalah senjata Dewa Wisnu, yang inkarnasinya ke-7 menjadi penguasa dunia dengan menggenggam senjata cakra. Hal ini dikaitkan dengan mitologi Jawa dengan kedatangan Sang Ratu Adil atau erucakra.
Diponegoro memulai memakai gelar ini di awal Perang Jawa dan menganggap perjuangannya sebagai perang suci untuk mengembalikan tatanan moral ilahi demi terjaminnya kesejahteraan rakyat Jawa.
Panji pertempuran Diponegoro menggunakam simbol cakra dengan panah menyilang. Kemudian, setelah Perang Jawa berakhir, tongkat itu jatuh ke tangan cucu komandan perempuan pasukan Diponegoro, Nyi Ageng Serang, yakni Pangeran Adipati Notoprojo.
Jas Merah
Bagaimanapun Bangsa Indonesia harus menyambut gembira kembalinya Tongkat Pusaka Kiai Tjokro tersebut. Hal tersebut akan memperkuat ingatan bangsa Indonesia akan sejarah. Seperti yang dikatakan Bung Karno bahwa Kita jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jas Merah). Dari sejaraha kita bisa belajar banyak.
Pengembalian Tongkat Pusaka Pangeran Diponegoro merupakan momentum yang tepat untuk mengembalikan jiwa nasionalisme bangsa yang tengah terkoyak. Benda pusaka tersebut memiliki nilai sejarah karena pada masanya menjadi saksi perjuangan Pangeran Diponegoro yang sangat gigih melawan kolonialisme dan menegakkan keadilan serta kebenaran. Sebuah spirit yang saat ini tengah melemah karena godaan materialisme yang pada akhirnya mengabaikan kebenaran dan keadilan.
Akhirnya, kita tunggu juga pengemablian benda-benda pusaka yang lain- yang masih banyak tersimpan di negeri Belanda - yang akan memperkaya koleksi museum kita
Nugroho
No comments:
Post a Comment