Tulis Ulang Sejarah Nusantara: Nanggroe Atjeh Darussalam, Pemurtadan ala World Help (Bagian 28)
Eramuslim.com – Tudingan dan berita miring bahwa di Aceh, warga Kristen yang juga menjadi korban tsunami mengalami penganiayaan dan dipaksa bersyahadat sebelum menerima bantuan adalah dusta besar. Bahkan sebaliknya, tudingan Ruyandi ternyata dibantah sendiri oleh harian Amerika ternama, The Washington Post.
Harian yang pernah membongkar skandal Watergate yang melengserkan Presiden AS Richard M. Nixon ini, dalam edisi Kamis, 13 Januari 2005, memuat satu artikel hasil wawancara dengan Pendeta Vernon Brewer, pimpinan organisasi missionaris terkemuka di Amerika bernama World Help.
Dalam wawancaranya, Vernon Brewer, seorang Pendeta Baptis lulusan Jerry Falwell’s Liberty University di Lynchburg, Virginia, AS, mengakui bahwa World Help telah membawa 300 anak yatim Aceh berusia di bawah 12 tahun ke Jakarta.
Anak-anak itu akan diasuh dan di sekolahkan di sejumlah sekolah Kristen. Pemerintah Indonesia, kata Brewer, telah mengizinkan anak-anak Aceh itu ditempatkan di rumah Kristen. Hebatnya, dalam wawancara tersebut Brewer juga mengakui bahwa ratusan anak itu akan dijadikan sebagai penganut Kristen.
Mereka akan dididik secara intens untuk bisa menjadi penginjil yang jika sudah dianggap siap, maka anak-anak itu akan dikembalikan ke Aceh untuk menyebarkan agama Kristen di Aceh. Keterangan Brewer ini juga bisa diakses di situs resmi mereka, namun setelah kasus ini ramai dibicarakan, keterangan Brewer tersebut dihapus.
Setelah The Post (sebutan warga AS terhadap The Washington Post) menurunkan wawancara kontroversial tersebut, dunia yang tengah sibuk mengamati perkembangan penanganan korban tragedi tsunami di Aceh dan daerah sekitarnya pun terperangah kaget. Nyaris semua pihak menyatakan keterkejutannya, termasuk sejumlah organisasi misi dan gereja. Bisa jadi, ada dua keterkejutan dalam hal ini:
Pertama, sungguh-sungguh terkejut karena tidak menyangka aktivis gereja seperti World Help sampai hati menunggangi misi kemanusiaan untuk aktivitas penyebaran agamanya di tanah yang berabad-abad lamanya dikenal sebagai Serambi Mekkah.
Dan yang kedua, terkejut karena menganggap Pendeta Vernon Brewer demikian naïf dan bodoh mau berterus terang memaparkan misinya kepada sebuah harian yang dibaca oleh jutaan orang di seluruh dunia. Siapa pun tahu, Kristen adalah agama misi yang menyerukan setiap umatnya untuk menyebarkan agama ini kepada setiap manusia yang belum terjamah oleh salib.
Celakanya, pernyataan Brewer itu tidak saja dimuat di dalam The Washington Post, tapi juga dikutip oleh sedikitnya 30 media cetak dan elektronik lainnya di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia pada hari yang sama.
The Telegraph menulis World Help mengklaim pihaknya telah membawa 300 anak yatim asal Aceh untuk ditampung di rumah Kristen. San Francisco Chronicle menulis bahwa anak-anak Aceh itu telah dibawa dari Aceh dan telah ditempatkan di sebuah rumah keluarga Kristen di Jakarta. Miami Herald juga menulis, Worldhelp telah bekerja sama dengan partner lokal untuk menanamkan prinsip-prinsip Kristen pada anak-anak Aceh itu.
Media Australia, Sydney Morning Herald menurunkan laporan bahwa Worlhelp mengaku, dalam situasi normal Aceh sangat tertutup bagi orang asing dan partner mereka. Karena tsunamilah, mereka bisa dan membawa anak-anak Aceh untuk dikristenkan
Setelah pengakuan Brewer itu mendapat reaksi keras, World Help segera menghapus pernyataan Brewer di situsnya. Kepada The Post, Brewer juga menganulir keterangannya, padahal The Post berencana untuk melakukan investigasi lebih dalam lagi. Kepada Kantor Berita Perancis AFP (Agence France Press), Brewer mengatakan bahwa World Help telah membatalkan niatnya untuk membawa 300 anak yatim Aceh itu. Menurutnya, anak-anak itu tidak jadi diasuh di rumah dan panti asuhan Kristen di Jakarta. Anak-anak itu, kilah Vernon, masih ada di Banda Aceh dan belum sempat dibawa ke Jakarta. Kelompok misionaris itu juga menghentikan kucuran dana 70 ribu dolar AS kepada Aceh.
Keterangan Brewer yang mencabut pernyatannya di sejumlah harian, terutama The Washington Post, agaknya berlawanan. Karena sebelumnya Brewer telah mengakui pihaknya telah membawa 300 anak yatim Aceh ke rumah-rumah dan panti asuhan Kristen di luar Aceh. Namun belakangan, Brewer meralat pernyataannya itu. Jelas, ini lebih sebagai upaya cari selamat saja.
Dalam pernyataan terakhirnya, Brewer menulis email yang dikirim ke seluruh pendukungnya, “Ketika kami sadar bahwa pemerintah Indonesia telah menolak anak-anak itu ditempatkan ke panti asuhan Kristen, kami menghentikan usaha pendanaan itu.” Sebelumnya, Brewer berniat memurtadkan 300 anak itu setelah menerima pesan dari satu keluarga Kristen di Indonesia bernama Henry dan Roy Lantang pada tanggal 3 Januari 2005. Pesan itu menyatakan, keluarga Lantang telah menerima kabar bahwa 300 anak yatim piatu di bahwa umur 12 tahun asal Aceh saat itu telah berada di bandara di Banda Aceh dan Medan, tengah menunggu pemberangkatan ke Jakarta.
Kasus World Help dan simpang-siurnya informasi sudah atau belum dibawanya 300-an anak yatim Aceh ke Jakarta ini mengundang reaksi keras masyarakat Indonesia. Secara formal, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi mengatakan akan mengusut kabar tentang pengambilan anak-anak yatim Aceh tersebut. Juru bicara Deplu Marty Natalegawa menegaskan pemerintah Indonesia tidak pernah mendukung aktivitas World Help.
Pendeta Nathan Setiabudi, mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja se-Indonesia (PGI), juga membantah adanya kristenisasi terhadap anak-anak Aceh. ”World Help tak ada kaitan dengan PGI,” tegasnya. Di Bekasi, Kepala Sekolah SMA Karya Iman, Simson Martinus Riki, mengatakan dua-tiga hari lalu ada telepon ke sekolah Kristen yang terdiri atas TK, SD, SMP, dan SMA itu. “Penelepon itu bernama Bu Nauli. Ia akan memasukkan dua kemenakannya dari Aceh. Ia bilang, mereka sudah tidak memiliki sanak saudara lagi di Aceh,” kata Simson.
World Help, menurut The Washington Post, merupakan organisasi misionaris yang fokus pada pengkristenan orang-orang di luar mereka. Selain World Help, banyak organisasi misi sejenis yang juga mengatakan bahwa Mulsim Aceh membutuhkan Kristus ‘untuk bisa hidup dalam kebahagiaan’. “Kita memberikan Injil kepada mereka karena korban bencana seperti halnya orang Aceh selalu mempertanyakan keberadaan Tuhan,” kata Oliver Asher, juru bicara Advancing Native Missions.
Bisa dibayangkan, sambung Asher, ada gelompang setinggi 15 meter dan banyak korban jatuh, tentu mereka bertanya-tanya soal Tuhan. Operation Mobilization, organisasi keagamaan berbasis di Tyrone, AS, juga telah mengumpulkan 60 ribu dolar AS. Douglas R Barclay, wakil presiden organisasi itu, mengatakan pihaknya telah mendukung kegiatan 3.700 misionaris di 110 negara.
Samaritan’s Purse of Boone, kelompok Evangelis ternama AS mengatakan pihaknya sudah masuk ke Aceh. Pendeta Franklin Graham yang sangat anti Islam mengatakan wilayah Aceh memang terlalu sensitif, tetapi mereka sudah melakukan ‘upaya-upaya besar’ di sana. Samaritan juga menyebarkan Kristen di Iraq begitu AS menjajah negeri itu. (Rizki Ridyasmara)
Harian yang pernah membongkar skandal Watergate yang melengserkan Presiden AS Richard M. Nixon ini, dalam edisi Kamis, 13 Januari 2005, memuat satu artikel hasil wawancara dengan Pendeta Vernon Brewer, pimpinan organisasi missionaris terkemuka di Amerika bernama World Help.
Dalam wawancaranya, Vernon Brewer, seorang Pendeta Baptis lulusan Jerry Falwell’s Liberty University di Lynchburg, Virginia, AS, mengakui bahwa World Help telah membawa 300 anak yatim Aceh berusia di bawah 12 tahun ke Jakarta.
Anak-anak itu akan diasuh dan di sekolahkan di sejumlah sekolah Kristen. Pemerintah Indonesia, kata Brewer, telah mengizinkan anak-anak Aceh itu ditempatkan di rumah Kristen. Hebatnya, dalam wawancara tersebut Brewer juga mengakui bahwa ratusan anak itu akan dijadikan sebagai penganut Kristen.
Mereka akan dididik secara intens untuk bisa menjadi penginjil yang jika sudah dianggap siap, maka anak-anak itu akan dikembalikan ke Aceh untuk menyebarkan agama Kristen di Aceh. Keterangan Brewer ini juga bisa diakses di situs resmi mereka, namun setelah kasus ini ramai dibicarakan, keterangan Brewer tersebut dihapus.
Setelah The Post (sebutan warga AS terhadap The Washington Post) menurunkan wawancara kontroversial tersebut, dunia yang tengah sibuk mengamati perkembangan penanganan korban tragedi tsunami di Aceh dan daerah sekitarnya pun terperangah kaget. Nyaris semua pihak menyatakan keterkejutannya, termasuk sejumlah organisasi misi dan gereja. Bisa jadi, ada dua keterkejutan dalam hal ini:
Pertama, sungguh-sungguh terkejut karena tidak menyangka aktivis gereja seperti World Help sampai hati menunggangi misi kemanusiaan untuk aktivitas penyebaran agamanya di tanah yang berabad-abad lamanya dikenal sebagai Serambi Mekkah.
Dan yang kedua, terkejut karena menganggap Pendeta Vernon Brewer demikian naïf dan bodoh mau berterus terang memaparkan misinya kepada sebuah harian yang dibaca oleh jutaan orang di seluruh dunia. Siapa pun tahu, Kristen adalah agama misi yang menyerukan setiap umatnya untuk menyebarkan agama ini kepada setiap manusia yang belum terjamah oleh salib.
Celakanya, pernyataan Brewer itu tidak saja dimuat di dalam The Washington Post, tapi juga dikutip oleh sedikitnya 30 media cetak dan elektronik lainnya di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia pada hari yang sama.
The Telegraph menulis World Help mengklaim pihaknya telah membawa 300 anak yatim asal Aceh untuk ditampung di rumah Kristen. San Francisco Chronicle menulis bahwa anak-anak Aceh itu telah dibawa dari Aceh dan telah ditempatkan di sebuah rumah keluarga Kristen di Jakarta. Miami Herald juga menulis, Worldhelp telah bekerja sama dengan partner lokal untuk menanamkan prinsip-prinsip Kristen pada anak-anak Aceh itu.
Media Australia, Sydney Morning Herald menurunkan laporan bahwa Worlhelp mengaku, dalam situasi normal Aceh sangat tertutup bagi orang asing dan partner mereka. Karena tsunamilah, mereka bisa dan membawa anak-anak Aceh untuk dikristenkan
Setelah pengakuan Brewer itu mendapat reaksi keras, World Help segera menghapus pernyataan Brewer di situsnya. Kepada The Post, Brewer juga menganulir keterangannya, padahal The Post berencana untuk melakukan investigasi lebih dalam lagi. Kepada Kantor Berita Perancis AFP (Agence France Press), Brewer mengatakan bahwa World Help telah membatalkan niatnya untuk membawa 300 anak yatim Aceh itu. Menurutnya, anak-anak itu tidak jadi diasuh di rumah dan panti asuhan Kristen di Jakarta. Anak-anak itu, kilah Vernon, masih ada di Banda Aceh dan belum sempat dibawa ke Jakarta. Kelompok misionaris itu juga menghentikan kucuran dana 70 ribu dolar AS kepada Aceh.
Keterangan Brewer yang mencabut pernyatannya di sejumlah harian, terutama The Washington Post, agaknya berlawanan. Karena sebelumnya Brewer telah mengakui pihaknya telah membawa 300 anak yatim Aceh ke rumah-rumah dan panti asuhan Kristen di luar Aceh. Namun belakangan, Brewer meralat pernyataannya itu. Jelas, ini lebih sebagai upaya cari selamat saja.
Dalam pernyataan terakhirnya, Brewer menulis email yang dikirim ke seluruh pendukungnya, “Ketika kami sadar bahwa pemerintah Indonesia telah menolak anak-anak itu ditempatkan ke panti asuhan Kristen, kami menghentikan usaha pendanaan itu.” Sebelumnya, Brewer berniat memurtadkan 300 anak itu setelah menerima pesan dari satu keluarga Kristen di Indonesia bernama Henry dan Roy Lantang pada tanggal 3 Januari 2005. Pesan itu menyatakan, keluarga Lantang telah menerima kabar bahwa 300 anak yatim piatu di bahwa umur 12 tahun asal Aceh saat itu telah berada di bandara di Banda Aceh dan Medan, tengah menunggu pemberangkatan ke Jakarta.
Kasus World Help dan simpang-siurnya informasi sudah atau belum dibawanya 300-an anak yatim Aceh ke Jakarta ini mengundang reaksi keras masyarakat Indonesia. Secara formal, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi mengatakan akan mengusut kabar tentang pengambilan anak-anak yatim Aceh tersebut. Juru bicara Deplu Marty Natalegawa menegaskan pemerintah Indonesia tidak pernah mendukung aktivitas World Help.
Pendeta Nathan Setiabudi, mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja se-Indonesia (PGI), juga membantah adanya kristenisasi terhadap anak-anak Aceh. ”World Help tak ada kaitan dengan PGI,” tegasnya. Di Bekasi, Kepala Sekolah SMA Karya Iman, Simson Martinus Riki, mengatakan dua-tiga hari lalu ada telepon ke sekolah Kristen yang terdiri atas TK, SD, SMP, dan SMA itu. “Penelepon itu bernama Bu Nauli. Ia akan memasukkan dua kemenakannya dari Aceh. Ia bilang, mereka sudah tidak memiliki sanak saudara lagi di Aceh,” kata Simson.
World Help, menurut The Washington Post, merupakan organisasi misionaris yang fokus pada pengkristenan orang-orang di luar mereka. Selain World Help, banyak organisasi misi sejenis yang juga mengatakan bahwa Mulsim Aceh membutuhkan Kristus ‘untuk bisa hidup dalam kebahagiaan’. “Kita memberikan Injil kepada mereka karena korban bencana seperti halnya orang Aceh selalu mempertanyakan keberadaan Tuhan,” kata Oliver Asher, juru bicara Advancing Native Missions.
Bisa dibayangkan, sambung Asher, ada gelompang setinggi 15 meter dan banyak korban jatuh, tentu mereka bertanya-tanya soal Tuhan. Operation Mobilization, organisasi keagamaan berbasis di Tyrone, AS, juga telah mengumpulkan 60 ribu dolar AS. Douglas R Barclay, wakil presiden organisasi itu, mengatakan pihaknya telah mendukung kegiatan 3.700 misionaris di 110 negara.
Samaritan’s Purse of Boone, kelompok Evangelis ternama AS mengatakan pihaknya sudah masuk ke Aceh. Pendeta Franklin Graham yang sangat anti Islam mengatakan wilayah Aceh memang terlalu sensitif, tetapi mereka sudah melakukan ‘upaya-upaya besar’ di sana. Samaritan juga menyebarkan Kristen di Iraq begitu AS menjajah negeri itu. (Rizki Ridyasmara)
No comments:
Post a Comment