Serangan Kilat Jepang Menggulung Belanda di Kalijati
Awal Maret 1942, di luar dugaan, seluruh kekuatan bersenjata Belanda di Jawa yang diperkuat tentara Sekutu berhasil digulung tentara Jepang.
Kekalahan dramatis ini terjadi ketika armada Sekutu dan Belanda di bawah pimpinan Laksamana Muda Karel Doorman dipukul dan dihancurkan armada Jepang di Laut Jawa.
Usai keberhasilan tersebut, Jepang melakukan pendaratan kilat di empat tempat di Pulau Jawa, yakni di Merak dekat Serang (Banten), di Pantai Eretan Wetan sebelah barat Indramayu, di Jawa Tengah dekat Rembang, dan di Kranggan Jawa Timur.
Penyerbuan ke Kalijati
Pada 28 Februari 1942 malam, pasukan bala tentara Jepang pimpinan Kolonel Shoji beserta Divisi Udara III pimpinan Letnan Jenderal Sugawara Michio mendarat di Pantai Eretan Wetan Indramayu (Pantura, Jawa Barat). Pasukan Shoji yang berkekuatan sekira 3.000 personel ini terdiri dari dua batalyon infanteri masing-masing dipimpin Mayor Wakamatsu dan Mayor Egashira, yang dilengkapi sepeda dan panser mendapat tugas merebut kota Bandung. Satu batalyon bergerak ke arah selatan melalui Anjatan, satu batalyon ke arah barat melalui Pamanukan, dan sebagian lagi melalui Sungai Cipunagara. Batalyon Wakamatsu berhasil merebut Pangkalan Udara (Lanud) Kalijati tanpa banyak perlawanan dari Angkatan Udara Inggris yang tengah berjaga.
Pasukan Shoji ini bergerak cepat dan begitu sigap. Kehadiran mereka yang mendadak dan tiba-tiba membuat rakyat Kalijati, Subang dan sekitarnya terkaget-kaget. Pasalnya dalam waktu relatif singkat, Jumat pagi 1 Maret 1942 mereka bermunculan di setiap penjuru kota, terutama di sekitar Lanud Kalijati. Tidak berapa lama, pertempuran sengit pun meletus.
Meskipun pasukan Sekutu dan Belanda berusaha keras untuk mempertahankan Kalijati, namun mereka berada dalam kondisi yang kurang siap menerima serangan, karena tentara Jepang menyergap dengan gerak cepat. Serangan tentara Jepang semakin menghebat setelah mendapat bantuan udara yang melakukan pengeboman di Lanud Kalijati.
Dalam waktu relatif singkat Lanud Kalijati jatuh ke tangan tentara Jepang. Lepasnya Lanud Kalijati menjadi pukulan berat bagi tentara Belanda. Mereka berupaya merebut kembali dengan jalan mengerahkan pasukananya melalui Purwakarta dan Subang. Namun usaha ini tampaknya sia-sia belaka, bahkan menimbulkan banyak korban. Usai menguasai Lanud Kalijati dan Kota Subang, Shoji menempatkan pasukannya di Pusat Perkebunan Pamanukan, Ciasem sebagai markasnya dan dari sanalah pasukan Shoji bergerak lagi menuju Bandung.
Sejumlah meriam yang disiapkan Belanda untuk menghadang pasukan Shoji di sepanjang jalan raya Subang-Bandung rupanya kurang efektif. Di luar dugaan, tentara Jepang melakukan perembesan melalui perkebunan teh yang begitu luas dan mereka berhasil melakukan penyerangan mendadak dan menghujani Ciater dengan bom sebagai pembuka jalan. Hal ini menyebabkan pasukan Belanda kocar-kacir dan tidak terkonsentrasi, sehingga pasukan Jepang dengan mudah menghancurkan sekaligus menduduki kubu-kubu pertahanan Belanda di Ciater.
Tanggal 5 Maret 1942, seluruh detasemen tentara Jepang yang ada di Lanud Kalijati yang berhasil menggempur pertahanan Belanda di Ciater, bergerak menuju Bandung. Akibat serbuan ini tentara Belanda yang ada di Ciater mundur ke Lembang sebagai benteng pertahanan terakhir.
Selanjutnya pada 6 Maret 1942, Panglima Angkatan Darat Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten memerintahkan Komandan Pertahanan di Bandung, Mayor Jenderal J.J Pesman, untuk tidak melakukan pertempuran di Bandung. Ter Poorten menginginkan perundingan, karena Bandung sudah dipadati penduduk sipil, baik wanita maupun anak-anak, sehingga jika pertempuran terjadi akan mengakibatkan korban sipil berjatuhan.
Sore hari tanggal 7 Maret 1942 Lembang jatuh ke tangan Jepang. Keberhasilan Jepang memaksa pasukan KNIL (Koninklijk Netherlandsch Indische Leger)di bawah komando Letjen Ter Poorten melakukan gencatan senjata. Mayjen J.J. Pesman mengirim utusan ke Lembang untuk melakukan perundingan. Kolonel Shoji minta agar perundingan dapat dilakukan di Gedung Isola (sekarang dipakai sebagai Gedung Rektorat UPI, Bandung).
Sementara itu, Jenderal Imamura yang dihubungi Kolonel Shoji memerintahkan agar mengadakan kontak dengan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkendborgh Strachouwer untuk mengadakan perundingan di Kalijati, Subang pada pagi hari tanggal 8 Maret 1942. Akan tetapi, Letjen Ter Poorten meminta Gubernur Jenderal Tjarda untuk menolak usulan itu.
Mendengar penolakan itu, Jenderal Imamura mengeluarkan ultimatum bernada keras, bahwa: bila pada pagi hari 8 Maret 1942 pukul 10.00 para petinggi Belanda belum juga berada di Kalijati, maka Bandung akan dibom sampai hancur. Sebagai bukti bahwa ancaman itu bukan sekadar gertak sambal, maka sejumlah besar pesawat pengebom Jepang disiagakan di Pangkalan Udara Kalijati.
Melihat perkembangan yang semakin mengkhawatirkan, Jenderal Ter Poorten pemimpin Angkatan Perang Hindia Belanda dihadapkan pada situasi kritis. Akhirnya pada 7 Maret 1942 Letjen Ter Poorten dan Gubernur Tjarda mengutus Mayjen J.J Pesman, untuk menghubungi Komandan Tentara Jepang dalam upaya melakukan perundingan. Namun utusan Belanda ini ditolak mentah-mentah Panglima Imamura. Dia hanya mau berbicara dengan Panglima Tentara Belanda atau Gubenur Jenderal.
Pertemuan yang semula direncanakan di jalan Cagak Subang, akhirnya berlangsung di rumah dinas seorang perwira staf Sekolah Penerbang Hindia Belanda di Lanud Kalijati yang kini menjadi Museum Rumah Sejarah yang lokasinya berada di Komplek Garuda E-25 Lanud Suryadarma, Kalijati, Subang Jawa Barat.
Drama 10 Menit
Perundingan penyerahan kekuasaan dari kolonial Belanda kepada Jepang berlangsung amat singkat. Dalam transkrip perundingan Kalijati terungkap, Jenderal Immamura berbicara stright to the point kepada lawannya, “Apakah Gubernur Jenderal dan Panglima Tentara mempunyai wewenang untuk mengadakan perundingan ini?”
”Saya tidak memiliki wewenang bicara sebagai Panglima Tentara,” jawab Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh.
(Kolonel Sus M. Akbar Linggaprana, angkasa)
Kekalahan dramatis ini terjadi ketika armada Sekutu dan Belanda di bawah pimpinan Laksamana Muda Karel Doorman dipukul dan dihancurkan armada Jepang di Laut Jawa.
Usai keberhasilan tersebut, Jepang melakukan pendaratan kilat di empat tempat di Pulau Jawa, yakni di Merak dekat Serang (Banten), di Pantai Eretan Wetan sebelah barat Indramayu, di Jawa Tengah dekat Rembang, dan di Kranggan Jawa Timur.
Penyerbuan ke Kalijati
Pada 28 Februari 1942 malam, pasukan bala tentara Jepang pimpinan Kolonel Shoji beserta Divisi Udara III pimpinan Letnan Jenderal Sugawara Michio mendarat di Pantai Eretan Wetan Indramayu (Pantura, Jawa Barat). Pasukan Shoji yang berkekuatan sekira 3.000 personel ini terdiri dari dua batalyon infanteri masing-masing dipimpin Mayor Wakamatsu dan Mayor Egashira, yang dilengkapi sepeda dan panser mendapat tugas merebut kota Bandung. Satu batalyon bergerak ke arah selatan melalui Anjatan, satu batalyon ke arah barat melalui Pamanukan, dan sebagian lagi melalui Sungai Cipunagara. Batalyon Wakamatsu berhasil merebut Pangkalan Udara (Lanud) Kalijati tanpa banyak perlawanan dari Angkatan Udara Inggris yang tengah berjaga.
Pasukan Shoji ini bergerak cepat dan begitu sigap. Kehadiran mereka yang mendadak dan tiba-tiba membuat rakyat Kalijati, Subang dan sekitarnya terkaget-kaget. Pasalnya dalam waktu relatif singkat, Jumat pagi 1 Maret 1942 mereka bermunculan di setiap penjuru kota, terutama di sekitar Lanud Kalijati. Tidak berapa lama, pertempuran sengit pun meletus.
Meskipun pasukan Sekutu dan Belanda berusaha keras untuk mempertahankan Kalijati, namun mereka berada dalam kondisi yang kurang siap menerima serangan, karena tentara Jepang menyergap dengan gerak cepat. Serangan tentara Jepang semakin menghebat setelah mendapat bantuan udara yang melakukan pengeboman di Lanud Kalijati.
Dalam waktu relatif singkat Lanud Kalijati jatuh ke tangan tentara Jepang. Lepasnya Lanud Kalijati menjadi pukulan berat bagi tentara Belanda. Mereka berupaya merebut kembali dengan jalan mengerahkan pasukananya melalui Purwakarta dan Subang. Namun usaha ini tampaknya sia-sia belaka, bahkan menimbulkan banyak korban. Usai menguasai Lanud Kalijati dan Kota Subang, Shoji menempatkan pasukannya di Pusat Perkebunan Pamanukan, Ciasem sebagai markasnya dan dari sanalah pasukan Shoji bergerak lagi menuju Bandung.
Sejumlah meriam yang disiapkan Belanda untuk menghadang pasukan Shoji di sepanjang jalan raya Subang-Bandung rupanya kurang efektif. Di luar dugaan, tentara Jepang melakukan perembesan melalui perkebunan teh yang begitu luas dan mereka berhasil melakukan penyerangan mendadak dan menghujani Ciater dengan bom sebagai pembuka jalan. Hal ini menyebabkan pasukan Belanda kocar-kacir dan tidak terkonsentrasi, sehingga pasukan Jepang dengan mudah menghancurkan sekaligus menduduki kubu-kubu pertahanan Belanda di Ciater.
Tanggal 5 Maret 1942, seluruh detasemen tentara Jepang yang ada di Lanud Kalijati yang berhasil menggempur pertahanan Belanda di Ciater, bergerak menuju Bandung. Akibat serbuan ini tentara Belanda yang ada di Ciater mundur ke Lembang sebagai benteng pertahanan terakhir.
Selanjutnya pada 6 Maret 1942, Panglima Angkatan Darat Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten memerintahkan Komandan Pertahanan di Bandung, Mayor Jenderal J.J Pesman, untuk tidak melakukan pertempuran di Bandung. Ter Poorten menginginkan perundingan, karena Bandung sudah dipadati penduduk sipil, baik wanita maupun anak-anak, sehingga jika pertempuran terjadi akan mengakibatkan korban sipil berjatuhan.
Sore hari tanggal 7 Maret 1942 Lembang jatuh ke tangan Jepang. Keberhasilan Jepang memaksa pasukan KNIL (Koninklijk Netherlandsch Indische Leger)di bawah komando Letjen Ter Poorten melakukan gencatan senjata. Mayjen J.J. Pesman mengirim utusan ke Lembang untuk melakukan perundingan. Kolonel Shoji minta agar perundingan dapat dilakukan di Gedung Isola (sekarang dipakai sebagai Gedung Rektorat UPI, Bandung).
Sementara itu, Jenderal Imamura yang dihubungi Kolonel Shoji memerintahkan agar mengadakan kontak dengan Gubernur Jenderal Tjarda van Starkendborgh Strachouwer untuk mengadakan perundingan di Kalijati, Subang pada pagi hari tanggal 8 Maret 1942. Akan tetapi, Letjen Ter Poorten meminta Gubernur Jenderal Tjarda untuk menolak usulan itu.
Mendengar penolakan itu, Jenderal Imamura mengeluarkan ultimatum bernada keras, bahwa: bila pada pagi hari 8 Maret 1942 pukul 10.00 para petinggi Belanda belum juga berada di Kalijati, maka Bandung akan dibom sampai hancur. Sebagai bukti bahwa ancaman itu bukan sekadar gertak sambal, maka sejumlah besar pesawat pengebom Jepang disiagakan di Pangkalan Udara Kalijati.
Melihat perkembangan yang semakin mengkhawatirkan, Jenderal Ter Poorten pemimpin Angkatan Perang Hindia Belanda dihadapkan pada situasi kritis. Akhirnya pada 7 Maret 1942 Letjen Ter Poorten dan Gubernur Tjarda mengutus Mayjen J.J Pesman, untuk menghubungi Komandan Tentara Jepang dalam upaya melakukan perundingan. Namun utusan Belanda ini ditolak mentah-mentah Panglima Imamura. Dia hanya mau berbicara dengan Panglima Tentara Belanda atau Gubenur Jenderal.
Pertemuan yang semula direncanakan di jalan Cagak Subang, akhirnya berlangsung di rumah dinas seorang perwira staf Sekolah Penerbang Hindia Belanda di Lanud Kalijati yang kini menjadi Museum Rumah Sejarah yang lokasinya berada di Komplek Garuda E-25 Lanud Suryadarma, Kalijati, Subang Jawa Barat.
Drama 10 Menit
Perundingan penyerahan kekuasaan dari kolonial Belanda kepada Jepang berlangsung amat singkat. Dalam transkrip perundingan Kalijati terungkap, Jenderal Immamura berbicara stright to the point kepada lawannya, “Apakah Gubernur Jenderal dan Panglima Tentara mempunyai wewenang untuk mengadakan perundingan ini?”
”Saya tidak memiliki wewenang bicara sebagai Panglima Tentara,” jawab Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh.
(Kolonel Sus M. Akbar Linggaprana, angkasa)
No comments:
Post a Comment