Rousseau, Pujaan yang Tak Layak Jadi Teladan
SEBUAH kotak kardus dibungkus pakaian bayi. Atas perintah majikannya, seorang pembantu membawanya ke luar. Tepat di depan pintu lembaga sosial, kardus itu dijatuhkan. Buk!
Esoknya, kardus itu dibuka petugas lembaga sosial dengan ekspresi biasa-biasa saja. Lembaga itu memang sudah sering mendapat kiriman bayi merah. Dalam setahun, tak kurang 3000 bayi “dibuang” ke lembaga ini. Kebanyakan tak berusia panjang alias mati. Lalu, siapakah majikan yang tak berperi kemanusiaan itu?
Dialah Jean Jacques Rousseau, filosof tersohor. Pengkaji teori politk Barat tentu taka sing dengan nama ini. Karyanya yang sangat terkenal di antaranya adalah The Social Contract, yang banyak dijadikan rujukan negara-negara penganut sistem totaliter.
Sebagai intelektual, banyak kalangan memuji Rousseau. Tetapi sebagai pribadi, sungguh banyak perilakunya yang tidak terpuji yang sangat tak pantas ditiru. Betapa tidak, jenis ayah macam apa yang dengan enteng hati membuang anaknya, hanya karena alasan yang sangat sepele? “Bagaimana mungkin saya dapat memperoleh ketenangan pikiran yang saya perlukan untuk membuat karya-karya, jika loteng saya dipenuhi urusan domestik dan kegaduhan anak-anak?” katanya.
Anaknya yang dibuang bukan cuma satu. Empat lainnya juga mengalami nasib yang sama, tanpa sempat punya nama. Istrinya yang tak kuasa menahan tindakan gila Rousseau, hanya bisa menangis. Hatinya remuk.
Rousseau masih punya kegilaan lainnya. Sebelum bertemu dengan Therese Levasseur, wanita yang melahirkan 5 anaknya itu, ia pernah kumpul kebo dengan Madame de Warens. Itu dilakukan hanya untuk memperoleh bantuan dana dari wanita mantan pegawai Kerajaan Prancis dan Gereja Katolik Roma itu. Tak tanggung-tanggung, kumpul kebonya selama 14 tahun.
IA mengindap hiperseks dan telah berganti pasangan dengan lebih dari 40 wanita. “Saya butuh wanita-wanita muda,” ujarnya. Beberapa kalangan menduga, boleh jadi perilakunya disebabkan karena sedari kecil ia sudah ditinggal mati oleh ibunya.
Ia lahir dari rahim seorang wanita bernama Suzanne Bernard pada 1712. Ibunya meninggal sesaat setelah melahirkan Rosseau. Ia kemudian besar di bawah asuhan ayahnya Isaac.
Ayahnya seorang pembuat jam yang gagal. Mungkin karena frustasi, ia kerap bikin ulah dan terlibat tindak kekerasan. Mentalnya sungguh labil. Tentu saja ini berpengaruh buruk kepada diri Rousseau. Kadang ia mendapat limpahan kasih sayang dari sang ayah. Namun, hanya dalam hitungan detik keadaan itu bisa berubah. Ayahnya bisa menjadi kasar, ganas dan menakutkan.
Kakaknya pernah menjadi korban keganasan ayahnya itu. Kakak satu-satunya akhirnya melarikan diri dan tak pernah kembali lagi. Dia tak tahan dengan perlakuan kasar sang ayah.
Nafsu seks Rousseau yang terlampau besar sudah Nampak sejak remaja. Ia gemar melakukan masturbasi. Baginya, masturbasi itu berefek positif, di antaranya mencegah pemuda dari penyakit. Juga, katanya, membuat orang penakut dan pemalu menemukan kenyamanan, lebih dari satu kenikmatan khayalan-khayalan yang hidup.
Ketika masih remaja, ia suka bertindak porno. Misalnya sambil berjalan-jalan ia memamerkan, maaf, pantatnya yang telanjang kepada para wanita. Kata dosa memang tidak ada di dalam kamus hidup Rousseau. Menurutnya, agama itu tak penting.
Di sisi lain, Rousseau punya ambisi besar menjadi orang terkenal. Berbagai pekerjaan pernah dicicipinya, demi menggapai impian itu. Setidaknya ia pernah mencoba 13 pekerjaan mulai dari sebagai pengukir, pesuruh, murid seminari, musisi, pegawai negeri, tutor, kasir, penulis dan sekretaris pribadi.
TAHUN 1743, Rousseau sempat mendapat pekerjaan cukup mentereng sebagai sekretaris kedutaan Prancis di Venesia. Ia bekerja di situ selama sebelas bulan. Tapi kemudian dipecat karena sifat pribadinya yang buruk.
Rousseau juga dicap pengkhianat oleh Gereja Perancis karena suka berganti-ganti agama, sesuai kepentingannya. Ketika ia berkepentingan terhadap duitnya Madame de Warens, ia pindah ke agama Katolik. Namun, ketika ingin menjadi warga Genewa lagi, ia kembali ke keyakinannya semula, yaitu Calvinis.
Soal pemikiran politik, tokoh yang meninggal 1778 ini lebih mengarah kepada otoritarianisme. Negara, menurut Rousseau, tidak hanya otoriter, tetapi juga totaliter. Sebab, negara mengatur setiap aspek kehidupan manusia, termasuk pemikiran.
Dalam The Social Contract ia menegaskan bahwa setiap pribadi diwajibkan untuk memindahkan semua haknya ke negara secara keseluruhan. Ia berpendapat bahwa ada sebuah konflik yang tidak dapat dihilangkan antara sifat manusia yang mementingkan diri sendiri dan tugas sosialnya, antara manusia dan negara.
“Membuat manusia itu satu, dan kamu akan membuatnya bahagia. Berikan semua kepada negara, atau biarkan dia semua pada diri mereka sendiri. Tetapi jika kamu membagi hatinya, kamu telah merobeknya. Oleh karena itu, kamu harus memperlakukan warga negara sebagai anak dan mengontrol pertumbuhan dan pikiran mereka untuk menanamkan hukum sosial ke dalam hati mereka,” jelasnya.
MEREKA kemudian menjadi manusia sosial karena sifat-sifatnya, dan warga negara karena perilakunya. “Mereka adalah satu, mereka akan baik, mereka akan bahagia, dan kebahagiaan mereka akan menjadi kebahagiaan republik,” katanya.
Laporkan iklan ?
Prosedur ini mempersyaratkan penyerahan total. “Saya mengikat diri saya sendiri, tubuh, harta, kemauan, dan semua kekuatan saya kepada negara. Mengakui kepemilikan negara atas saya, dan apa-apa yang bergantung kepada diri saya.”
Dengan demikian, negara akan memiliki manusia dan seluruh kekuatannya. Negara mengontrol setiap aspek kehidupan sosial dan ekonominya.
Dalam beberapa hal, ide negara yang direncanakan Rousseau itu menyebabkan lahirnya rezim Pol Pot di Kamboja. Rezim ini dikenal sangat kejam karena tega membantai jutaan rakyatnya. Ini tidaklah mengherankan, karena pemimpin-pemimpin rezim itu dididik di Paris dan telah menyerap ide-ide Rousseau.
Rousseau sangat yakin bahwa negara yang dibayangkan itu bakal diperdebatkan. Sebab, “Mereka (negara) yang mengontrol opini rakyat, mengontrol juga tindakan-tindakan mereka.”
Kontrol semacam itu dibangun dengan memperlakukan warga negaranya, dari sejak bayi, sebagai anak negara yang dilatih untuk “mempertimbangkan diri mereka sendiri hanya berhubungan dengan lembaga negara. Untuk tidak menjadi apa-apa kecuali dengan negara, mereka tidak akan menjadi apa-apa kecuali untuk negara. Negara akan memiliki mereka semua dan negara menjadi milik mereka semua.”
Doktrin ini salah satunya telah menyebabkan lahirnya doktrin sentra Fasis Mussolini di Italia. “Segala sesuatu di dalam negara, tidak ada satu pun di luar negara, dan tidak ada satu pun melawan negara.”
Dengan demikian proses pendidikan merupakan kunci sukses dari teknik pembudayaan yang dibutuhkan untuk membuat negara dapat diterima dan sukses. Poros dari ide-ide Rousseau ini adalah warga negara sebagai orangtua. Menurutnya, pemerintah harus sepenuhnya membesarkan semua anak-anaknya. Sungguh berbeda 180 derajat dengan kelakuan pribadinya.
Bambang Subagyo, disadur dari jurnal Islamia/Hidayatullah]
No comments:
Post a Comment