Dimensi Kemanusiaan Nabi Muhammad
SATU tradisi lokal yang merupakan khazanah kekayaan kebudayaan Islam yang masih mengakar kuat di Aceh adalah peringatan/perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. Tradisi ini di Aceh disebut pula dengan Mulud. Tradisi perayaan maulid akan bisa menjadi momentum emas untuk membumikan ajaran dan nilai-nilai universal Islam di tengah-tengah umat yang sudah semakin larut menganut mazhab materialis ini.
Sejarah membuktikan bahwa pemamfaatan tradisi budaya lokal cukup ampuh dijadikan sebagai media untuk mengembangkan ajaran Islam. Hal ini tampak jelas bagaiman dulu para wali memanfaatkan budaya lokal untuk mengembangkan misinya. Hasilnya, misi yang dijalankan pun sukses besar, di mana ajaran Islam semakin tersebar dan berkembang saat itu.
Begitupun tradisi maulid ini, tentu ia merupakan budaya yang juga bisa membuat ajaran Islam cepat meresap di masyarakat. Bahkan kalau kita mau melihat sejarah, latar belakang diadakan budaya perayaan maulid yang pelopori oleh pendirinya pada dasarnya bertujuan untuk lebih mengekalkan ingatan kita terhadap Nabi Muhammad saw. Sehingga umat bisa meneladani seluruh perilaku yang dicontohkannya.
Namun, apabila kita amati, harapan dan dugaan kita terkadang sering terbalik. Dugaan bahwa semakin intens kita mengadakan perayaan maulid maka kualitas kesadaran keberagamaan juga meningkat ternyata sering tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Kenyataan di lapangan sering menunjukan bahwa meskipun intensitas tradisi maulid sering diadakan, namun tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kesadaran beragama. Kita belum melihat adanya pergeseran yang signifikan pada perilaku ummat ke arah yang lebih positif sebagaimana perilaku yang telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw.
Mengernyitkan dahi
Fenomena di atas mungkin saja membuat kita mengeryitkan dahi, dan bertanya mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa tradisi maulid belum juga memberi perubahan signifikan pada perubahan akhlak umat ke arah yang lebih baik sesuai dengan tujuan maulid? Jawaban terhadap pertanyaan itu tentu saja tidak tunggal, masing-masing kita mungkin punya jawaban yang berbeda-beda, dan mungkin pula jawaban itu benar.
Kita mungkin bisa menjawab karena perayaan itu sudah terlalu sering, sehingga kita menganggapnya biasa-biasa saja, perayaan itu seolah sudah berjalan secara mekanis. Mungkin juga kita bisa menjawab barangkali karena kita sudah terjebak pada dimensi simbol perayaan semata. Sementara esensi dan substansi maulid sendiri terabaikan, selain itu semua, tentu saja banyak jawaban lainnya yang mungkin bisa kita kemukakan.
Namun demikian, saya menduga keras, ada faktor lagi yang menyebabkan mengapa kita sulit meneladani perilaku yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, sementara perayaan maulid sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Faktor yang saya maksud adalah adanya pengabaian ummat Islam terhadap dimensi kemanusiaan Nabi Muhammad saw sebagai manusia biasa, yang juga sama seperti manusia-manusia lainnya. Nabi Muhammad saw juga punya emosi, punya kecenderungan biologis, dan berlaku pula sunnatullah padanya.
Kita seringkali mempersepsi bahwa Nabi Muhammad saw bukan sebagai manusia biasa yang seolah tidak mungkin diikuti oleh manusia. Kehidupan Nabi kita disampaikan dan diceritakan terlalu “melangit”, bahkan dalam ceramah-ceramah maulid sering sekali penceramah menonjolkan kehidupan Nabi dari dimensi yang bersifat supranatural, ketimbang Nabi sebagai manusia biasa.
Hal ini tentu memberi efek dan akibat, di mana, secara psikologis muncul persepsi di alam bawah sadar ummat kita bahwa Muhammad tidak mungkin untuk ditiru, sehingga tidak sedikit orang ketika diingatkan padanya contoh kepribadian Nabi, ia malah menjawab enteng: “Ah... Muhammad itu kan Nabi, saya kan bukan Nabi!” Ungkapan ini seolah menjustifikasi bahwa kita tidak mungkin dan tidak bisa menyontoh dan mengikuti Nabi.
Kita tentu tidak mengabaikan adanya sisi kehidupan Nabi Muhammad yang bersifat supranatural yang padanya ada mukjizat, akan tetapi kita harus melihat kehidupan Nabi secara proporsional. Di samping adanya kehidupan Nabi yang berdimensi supranatural, Nabi Muhammad juga manusia biasa seperti kita di mana ia makan seperti kita, istirahat, lelah, sakit dan beristeri seperti kita.
Secara emosional, bukankah Nabi saw juga pernah bersedih ketika isteri dan kakeknya meninggal? Ketika ia bergembira, bukankah Nabi tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya? Bukankah Nabi pernah marah ketika Aisyah terlalu cemburu karena nama Khadijah sering disebut-sebutnya?
Nabi juga manusia
Dari segi sunattullah bukanlah Nabi pernah mengalami kekalahan dalam perang, dan bahkan giginya tanggal dan berdarah karena strategi perang yang dijalankan tidak berjalan sebagaimana yang direncanakan. Semua fakta ini menunjukkan bahwa Nabi adalah juga manusia. Inilah yang seharusnya perlu sering ditekankan, sehingga kepribadian Nabi Muhammad saw menjadi lebih “membumi” dan kepribadiannya sebagai lentera hidup akan mudah untuk diikuti.
Sebenarnya Tuhan sengaja menjadikan Muhammad sebagai Nabi pada dasarnya didasari faktor kemanusiaannya. Dengan tujuan agar manusia memaklumi bahwa layak dan logis kalau yang diikuti manusia adalah manusia juga, coba bayangkan kalau Nabi berasal dari malaikat, tentu manusia bisa saja berkilah untuk mengatakan tidak mampu mengikuti apa yang diteladankan malaikat.
Di zaman yang semakin cenderung rasional ini, agaknya sangat tepat bila kita memperkenalkan sosok Muhammad dari dimensi kemanusiaannya secara rasional pula, sehingga umat akan lebih memahami kehidupan Nabi yang sebenarnya, dan mau melakukan apa yang diteladankan Rasulullah sekaligus menghapus persepsi bahwa Muhammad tidak mungkin ditiru. Sehingga tidak ada lagi ungkapan “ah... Muhammad itu kan Nabi, saya kan bukan Nabi”.
Semoga kita orang yang selalu menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai idola hidup, yang pada akhirnya membuat kita benar-benar merasakan bahwa beliau adalah sosok yang yang paling tepat diciptakan Allah untuk ditiru. Wallahu a’lam.
* Hadini Murdhana, M.Ag., Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, DPK Al-Hilal, Sigli. Email: hadinimanik@yahoo.co.id
Sejarah membuktikan bahwa pemamfaatan tradisi budaya lokal cukup ampuh dijadikan sebagai media untuk mengembangkan ajaran Islam. Hal ini tampak jelas bagaiman dulu para wali memanfaatkan budaya lokal untuk mengembangkan misinya. Hasilnya, misi yang dijalankan pun sukses besar, di mana ajaran Islam semakin tersebar dan berkembang saat itu.
Begitupun tradisi maulid ini, tentu ia merupakan budaya yang juga bisa membuat ajaran Islam cepat meresap di masyarakat. Bahkan kalau kita mau melihat sejarah, latar belakang diadakan budaya perayaan maulid yang pelopori oleh pendirinya pada dasarnya bertujuan untuk lebih mengekalkan ingatan kita terhadap Nabi Muhammad saw. Sehingga umat bisa meneladani seluruh perilaku yang dicontohkannya.
Namun, apabila kita amati, harapan dan dugaan kita terkadang sering terbalik. Dugaan bahwa semakin intens kita mengadakan perayaan maulid maka kualitas kesadaran keberagamaan juga meningkat ternyata sering tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Kenyataan di lapangan sering menunjukan bahwa meskipun intensitas tradisi maulid sering diadakan, namun tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kesadaran beragama. Kita belum melihat adanya pergeseran yang signifikan pada perilaku ummat ke arah yang lebih positif sebagaimana perilaku yang telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw.
Mengernyitkan dahi
Fenomena di atas mungkin saja membuat kita mengeryitkan dahi, dan bertanya mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa tradisi maulid belum juga memberi perubahan signifikan pada perubahan akhlak umat ke arah yang lebih baik sesuai dengan tujuan maulid? Jawaban terhadap pertanyaan itu tentu saja tidak tunggal, masing-masing kita mungkin punya jawaban yang berbeda-beda, dan mungkin pula jawaban itu benar.
Kita mungkin bisa menjawab karena perayaan itu sudah terlalu sering, sehingga kita menganggapnya biasa-biasa saja, perayaan itu seolah sudah berjalan secara mekanis. Mungkin juga kita bisa menjawab barangkali karena kita sudah terjebak pada dimensi simbol perayaan semata. Sementara esensi dan substansi maulid sendiri terabaikan, selain itu semua, tentu saja banyak jawaban lainnya yang mungkin bisa kita kemukakan.
Namun demikian, saya menduga keras, ada faktor lagi yang menyebabkan mengapa kita sulit meneladani perilaku yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, sementara perayaan maulid sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Faktor yang saya maksud adalah adanya pengabaian ummat Islam terhadap dimensi kemanusiaan Nabi Muhammad saw sebagai manusia biasa, yang juga sama seperti manusia-manusia lainnya. Nabi Muhammad saw juga punya emosi, punya kecenderungan biologis, dan berlaku pula sunnatullah padanya.
Kita seringkali mempersepsi bahwa Nabi Muhammad saw bukan sebagai manusia biasa yang seolah tidak mungkin diikuti oleh manusia. Kehidupan Nabi kita disampaikan dan diceritakan terlalu “melangit”, bahkan dalam ceramah-ceramah maulid sering sekali penceramah menonjolkan kehidupan Nabi dari dimensi yang bersifat supranatural, ketimbang Nabi sebagai manusia biasa.
Hal ini tentu memberi efek dan akibat, di mana, secara psikologis muncul persepsi di alam bawah sadar ummat kita bahwa Muhammad tidak mungkin untuk ditiru, sehingga tidak sedikit orang ketika diingatkan padanya contoh kepribadian Nabi, ia malah menjawab enteng: “Ah... Muhammad itu kan Nabi, saya kan bukan Nabi!” Ungkapan ini seolah menjustifikasi bahwa kita tidak mungkin dan tidak bisa menyontoh dan mengikuti Nabi.
Kita tentu tidak mengabaikan adanya sisi kehidupan Nabi Muhammad yang bersifat supranatural yang padanya ada mukjizat, akan tetapi kita harus melihat kehidupan Nabi secara proporsional. Di samping adanya kehidupan Nabi yang berdimensi supranatural, Nabi Muhammad juga manusia biasa seperti kita di mana ia makan seperti kita, istirahat, lelah, sakit dan beristeri seperti kita.
Secara emosional, bukankah Nabi saw juga pernah bersedih ketika isteri dan kakeknya meninggal? Ketika ia bergembira, bukankah Nabi tertawa sampai terlihat gigi gerahamnya? Bukankah Nabi pernah marah ketika Aisyah terlalu cemburu karena nama Khadijah sering disebut-sebutnya?
Nabi juga manusia
Dari segi sunattullah bukanlah Nabi pernah mengalami kekalahan dalam perang, dan bahkan giginya tanggal dan berdarah karena strategi perang yang dijalankan tidak berjalan sebagaimana yang direncanakan. Semua fakta ini menunjukkan bahwa Nabi adalah juga manusia. Inilah yang seharusnya perlu sering ditekankan, sehingga kepribadian Nabi Muhammad saw menjadi lebih “membumi” dan kepribadiannya sebagai lentera hidup akan mudah untuk diikuti.
Sebenarnya Tuhan sengaja menjadikan Muhammad sebagai Nabi pada dasarnya didasari faktor kemanusiaannya. Dengan tujuan agar manusia memaklumi bahwa layak dan logis kalau yang diikuti manusia adalah manusia juga, coba bayangkan kalau Nabi berasal dari malaikat, tentu manusia bisa saja berkilah untuk mengatakan tidak mampu mengikuti apa yang diteladankan malaikat.
Di zaman yang semakin cenderung rasional ini, agaknya sangat tepat bila kita memperkenalkan sosok Muhammad dari dimensi kemanusiaannya secara rasional pula, sehingga umat akan lebih memahami kehidupan Nabi yang sebenarnya, dan mau melakukan apa yang diteladankan Rasulullah sekaligus menghapus persepsi bahwa Muhammad tidak mungkin ditiru. Sehingga tidak ada lagi ungkapan “ah... Muhammad itu kan Nabi, saya kan bukan Nabi”.
Semoga kita orang yang selalu menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai idola hidup, yang pada akhirnya membuat kita benar-benar merasakan bahwa beliau adalah sosok yang yang paling tepat diciptakan Allah untuk ditiru. Wallahu a’lam.
* Hadini Murdhana, M.Ag., Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, DPK Al-Hilal, Sigli. Email: hadinimanik@yahoo.co.id
No comments:
Post a Comment