Sejarah Rahasia Freemasonry dan Iluminati (Bagian 12)
Seperti film Origins The Da Vinci Code[1] yang secara detil memuat proses kelahiran buku The Holy Blood and the Holy Grail, kita juga akan menengok terlebih dahulu sebuah desa di sebelah timur kaki gunung Pyrenees, di selatan Perancis, bernama Rennes-le-Château. Sebuah desa yang asri dan penuh aroma mistis, yang kemudian menjadi begitu terkenal setelah The Holy Blood and the Holy Grail terbit. Sampai sekarang, tak kurang dari 500 judul buku tentang Rennes-le-Château yang telah terbit. Angka ini terus bertambah.
MISTERI DI SELATAN PERANCIS
Tidaklah terlalu sulit jika Anda ingin ke Desa Rennes-le-Château. Dari Paris, tataplah matahari yang bersinar pada siang hari bolong, lalu berjalanlah lurus ke selatan, mengikuti garis bujur, melewati Burgundy, Saint Philibert de Tournus, Sungai Rheine, Vienne dan katedralnya di mana pada tahun 1312 di tempat itu berawal gerakan penumpasan terhadap Ksatria Templar, lewat Carcassonne, terus berjalan ke selatan hingga Limoux dan Lembah aude, melewati Kastil Kathari yang terkenal dalam peristiwa Perang Salib Albigensian, menyusuri jalan yang diapit pegunungan Pyrennes, dan tibalah di sebuah dataran tinggi, Rennes Le Château.
Perjalanan dari Paris ke desa ini bagaikan sebuah perjalanan sejarah, napak tilas, dari sejarah Eropa di abad pertengahan. Semua kisah dan misteri berawal dari desa ini, namun entah mengapa, Dan Brown sama sekali tidak menyinggung nama desa ini secuil pun dalam novel The Da Vinci Code.
Di Rennes-le-Château yang masuk dalam wilayah Languedoc, sudah sejak lama berdiri sebuah gereja kecil dan sederhana yang dipersembahkan kepada Maria Magdalena. Konon, gereja ini sudah ada sejak zaman Visigoth pada abad ke-6 Masehi. Beberapa mil di tenggara Rennes-le-Château, berdiri sebuah puncak gunung yang oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai Bézu. Di puncak gunung tersebut, berserakan puing-puing benteng abad pertengahan.
Menurut sejarah, lokasi tersebut pernah dijadikan salah satu kuil Ksatria Templar yang menyelamatkan diri dari kejaran pasukannya Phillipe le Bel dan Paus Clement V. Dan konon, tiap tahun pada tanggal-tanggal menjelang 13 Oktober, hantu-hantu para Templar berkeliaran di sekitar perbentengan tersebut. Puncak Bézu memang menyeramkan dilihat dari kejauhan, bagai panic raksasa terbalik di tengah bukit. Ini cerita warga sekitar yang menyebar dari mulut ke mulut. Kebenarannya tidak ada yang tahu.
Satu mil ke timur laut Rennes-le-Château, pada puncak lainnya, berdiri sisa-sisa puri Blanchefort, sebuah rumah leluhur Bertrand de Blanchefort, seorang Grand Master ke-4 Ksatria Templar. Sejak berabad-abad silam, daerah itu sudah menjadi rute perjalanan para peziarah yang terbentang dari Eropa Timur hingga Santiago de Compastela di Spanyol. Sebuah wilayah yang dipenuhi aroma mistis, legenda, mitos, dan juga bau darah.
Para peziarah Eropa Utara dan Timur sejak dulu selalu melalui wilayah ini sebelum mereka berlayar menuju Jaffa, kota pelabuhan di tanah Palestina, setelah melintasi Laut Tengah melewati perairan utara Tunisia, Pulau Sardinia dan Sisilia di selatan Itali, dan Malta, menuju Kota Suci Yerusalem.
Kisah tentang desa kecil namun aneh ini selalu berawal dari kedatangan Pastur Francois Bérenger Sauniére[2] (1852-1917), seorang Pastur muda berusia 33 tahun[3] yang berasal dari Desa Montazels, sekitar tiga kilometer dari Rennes le Château. Bérenger Sauniére menjejakkan kakinya pertama kali di desa ini pada hari Senin, 1 Juni 1889. Holy Blood, Holy Grail tidak menjelaskan secara detil latar belakang kehidupan Pastur Bérenger Sauniére. Namun sebuah film dokumenter yang diproduksi oleh Katana Production (Perancis, 2002) berjudul Rennes-Le-Château du trésor au vertige (Keajaiban Harta Karun Rennes le Chateau)[4] menyibak lebih dalam awal kehidupan Pastur muda tersebut.
Pada tahun 1850, di Desa Montazels yang berada di depan Desa Rennes le Château, di satu persimpangan tinggallah keluarga Sauniére. Sang ayah bekerja sebagai pengurus Marques de Castel majou, sebuah kastil besar di ujung desa. Sedang ibunya berasal dari keluarga terpandang. Oleh kedua orangtuanya, dua bersaudara Afred dan Berenger, yang pintar dan ambisius, disekolahkan ke Seminari Carcassonne agar kelak menjadi pastur dan meneruskan tradisi kehormatan bagi keluarganya.
Setelah lulus, Berenger ditunjuk menjadi pastur di Desa Le Clat, yang berada agak jauh dari Montazels, namun masih berada di sekitar Rennes le Château. Tanah Desa Le Clat dimiliki oleh keluarga Hautpoul-Fellines. Setelah tiga tahun mengabdi di Le Clat, Berenger dipindahkan oleh atasannya, Uskup Carcassonne, ke Rennes le Château.
Di awal Juni 1885, Pastur Bérenger Sauniére datang Rennes le Château. Di daerah penggembalaan barunya ini, Sauniére awalnya tinggal di rumah milik keluarga Denarnaud. Sang puteri, Marie Denarnaud bekerja menjadi pelayan dari Sang Pastur. Kehidupan pastur itu terbilang cukup sederhana. Pendapatannya hanya enam poundsterling tiap tahun ditambah dengan kolekte sukarela dari jemaat gerejanya. Pastur Berenger Sauniére bersahabat dengan Pastur Henri Boudet dari desa tetangga, Rennes-le-Bains.
Beberapa bulan tinggal di desa itu, Sauniére mendapat masalah besar ketika dalam salah satu misa yang dipimpinnya, Pastur muda itu mengkhotbahkan suatu ajaran yang sangat anti-Republikan, padahal pada waktu itu pemilihan umum tengah berlangsung. Untuk sementara waktu Sauniére dibebastugaskan dari jabatannya. Ketika akhirnya dia dikembalikan kepada posisinya pada musim panas 1886, dia menerima hadiah sebesar 3.000 franc dari Countess de Chambord, janda seseorang yang mengklaim sebagai raja Perancis, King Henry de Bourbon yang mengaku bergelar Henry V, yang merasa berhutang budi karena Sauniére membela kaum monarkis. Pastur itu kemudian menggunakan uang tersebut untuk merenovasi gereja kecilnya yang sudah rusak di sana-sini.
Pada saat inilah pastur itu menemukan sejumlah perkamen yang memuat kode rahasia. Ini menurut Picknet dan Prince. Namun menurut Baigent, Leigh, dan Lincoln, dana untuk merenovasi gerejanya diperoleh Sauniére dengan meminjam dari kas desa.
Ketika membetulkan bagian atas sebuah pilar dekat mimbar, ia menemukan sebuah laci rahasia yang menyimpan sebuah dokumen. Dokumen itu menuntunnya untuk mencongkel sebuah batu setapak yang terletak di tengah gereja. Di bawah batu terdapat sebuah pot yang tertanam dan berat. Ketika dibuka, pot itu penuh berisi koin emas. Kepada para pekerja yang melihatnya, Sauniére mengatakan bahwa itu merupakan medali dari Lourdes. Tapi banyak orang tidak percaya. Konon, koin emas itu sangat cukup untuk membangun desa tersebut menjadi desa yang makmur.
Setelah penemuan itu, Sauniére kembali menemukan empat lembar perkamen dari sebuah pilar bergaya Visigoth di dekat altar yang rencananya hendak dipindahkan. Pilar itu ternyata berongga. Empat lembar perkamen itu tersimpan di dalam sebuah tabung dari kayu. Perkamen-perkamen tersebut amat sulit dibaca karena susunan huruf-hurufnya tidak beraturan dan sekilas tidak ada arti. Tapi pendeta muda tersebut seorang yang cukup kritis. Ia meyakini, apa pun itu, temuannya itu pasti barang yang sangat berharga, sehingga membuat orang-orang menyimpannya rapat di sebuah tempat yang dirahasiakan. (Bersambung/Rizki Ridyasmara)
[1] ‘Origins The Da Vinci Code’ (Kelahiran The Da Vinci Code) merupakan sebuah film dokumenter yang mengisahkan perjalanan liburan seorang Henry Lincoln di sebuah desa terpencil di kaki gunung Pyrennes, Selatan Perancis, bernama Rennes-le-Château. Desa itu sejak berabad lalu memang dikenal karena kemisteriusan, legenda-legenda, dan aroma mistisnya. Suatu hari, saat berkunjung ke sebuah kedai buku kecil di desa itu, Lincoln tertarik pada sebuah buku sederhana berjudul ‘Le Tressor Maudit’. Buku kecil itu memuat teka-teki pencarian harta karun lengkap dengan legenda dan misterinya. Lincoln merasa ada sesuatu yang harus ditelusurinya. Upaya kecil ini kemudian menjadi besar dan serius hingga melahirkan sebuah buku tebal hasil penyusuran intelektual Henry Lincoln—yang dibantu oleh Michael Baigent dan Richard Leigh—berjudul “Holy Blod, Holy Grail” yang sangat controversial, terutama terhjadap keyakinan Gereja Katolik Roma (1982). Buku inilah yang kemudian dijadikan pegangan utama Dan Brown, untuk menulis novel ‘The Da Vinci Code’.
[2] Nama belakang pendeta ini oleh Dan Brown dipakai menjadi Jacques Sauniére, pelakon Grand Master Biarawan Sion sekaligus kakek dari Sophie Neveu—gadis salah satu keturunan Yesus—dan sahabat Robert Langdon, profesor simbologi Universitas Harvard, yang di awal novel The Da Vinci Code ditemukan oleh Robert Langdon mati terbunuh dengan posisi jasadnya membentuk The Vitruvian Man, salah satu karya Leonardo Da Vinci.
[3] Holy Blood, Holy Grail mencatat usia 30 tahun.
[4] Di Indonesia beredar dengan judul “The Sauniere’s Da Vinci, Where It All Began” (Awal Terungkapnya “Da Vinci Code”) dan didistribusikan pada bulan April 2006 oleh Emperor Edutainment.
No comments:
Post a Comment