Hubungan Portugis dengan Nusantara

Pendahuluan

Lombard (2000:11—39) dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu; menyatakan bahwa selama ini nusantara telah mendapat pengaruh dari budaya-budaya besar dunia seperti India, Cina, Islam, dan Barat. Kesemuanya mempengaruhi corak budaya Indonesia. Khusus pengaruh dari Barat, wilayah Eropa adalah wilayah yang paling mempengaruhi budaya di nusantara. Kedatangan mereka pun memiliki latar belakang Sejarah yang cukup menarik untuk diulas.

Kedatangan orang-orang Eropa di nusantara disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah Jatuhnya wilayah Konstantinopel pada kelompok Islam dibawah pimpinan Muhammad Al Fatih pada tahun 1453. Hal ini memberikan dampak yang luas bagi lalu lintas perdagangan dunia, sebab dengan dikuasainya wilayah tersebut oleh kelompok Islam, kelompok Kristen tidak bisa lagi melakukan transaksi perdagangan sebagaimana biasanya. Blokade ekonomi ini mengakibatkan terjadinya kenaikan harga rempah-rempah di Eropa.

Terdorong oleh motif ekonomi untuk mencari wilayah penghasil rempah-rempah dan spirit Reconquista yang muncul akibat perang salib, maka Spanyol dan Portugal dibawah pimpinan Paus Alexander VI melakukan pengusiran secara besar-besaran pada bangsa moor (Islam) dari Semenanjung Iberia serta melakukan Perjanjian Tordesillas pada tahun 1494. Melalui perjanjian ini Gereja membagi dunia menjadi dua bagian, garis demarkasi dalam perjanjian Tordesillas mengikuti lingkaran garis lintang dari tanjung Verde yang melampaui dua kutub bumi. Dalam perjanjian ini Spanyol mendapatkan benua Amerika, sedangkan Portugis mendapatkan benua Afrika dan India hingga akhirnya kelak mereka bertemu di wilayah nusantara tepatnya Maluku atau saat ini lebih dikenal dengan provinsi Maluku utara. Kedatangan Portugis pada tahun 1511 di Malaka dan 1512 di wilayah Maluku Utara menimbulkan konflik baru dengan Spanyol sehingga muncullah perjanjian Saragosa yang kemudian mengatur kembali garis demarkasi baru, perjanjian ini mengakibatkan Spanyol meninggalkan nusantara dan menuju Philipina.

Dalam ekspedisi yang dilakukan oleh Portugis terdapat beberapa warga negara Belanda yang ikut serta, diantaranya adalah Jan Huygen Van Linschoten.

Dengan

pemahamannya yang baik terhadap peta pelayaran Portugis ke Nusantara, Jan Huygen berinisiatif menulis dan menerbitkan sebuah buku pada tahun 1595 tentang pedoman perjalanan ke timur yang ia beri judul Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien. Buku ini laku keras di Eropa saat itu dan memberikan inspirasi kepada banyak negara untuk turut melakukan pelayaran menuju nusantara, diantaranya adalah negara asal Jan Huygan Van Linschoten yaitu Belanda.

Berbekal buku tersebut dan pengetahuan tentang pelayaran yang dimilikinya maka Pada 2 April 1595 berangkatlah sebuah ekspedisi di bawah pimpinan Cornelis de Houtman seorang Belanda yang telah lama bekerja pada Portugis di Lisbon. Tercatat ada empat buah kapal yang ikut dalam ekspedisi mencari “Kepulauan Rempah-rempah” ini yaitu: Amsterdam, Hollandia, Mauritius dan Duyfken. Belum ada informasi yang jelas mengenai jumlah awak kapal sebenarnya yang turut serta dalam ekspedisi ini, namun Vlekke dalam buku Nusantara sejarah Indonesia menyatakan bahwa sejak awal pelayaran penyakit sariawan telah merebak di kalangan awak kapal akibat kurangnya bahan makanan. Pertengkaran di antara para kapten kapal dan para pedagang menyebabkan beberapa orang terbunuh atau dipenjara di atas kapal. Di Madagaskar, di mana sebuah perhentian sesaat direncanakan, masalah lebih lanjut menyebabkan kematian lagi, dan kapal-kapalnya bertahan di sana selama enam bulan sehingga kini wilayah tersebut dikenal dengan nama pemakaman Belanda[1]. Rombongan Belanda ini Akhirnya tiba di Banten pada 27 Juni 1596 dengan jumlah seluruh awak yang selamat sebanyak 249 awak.

Kisah tentang perjalanan bangsa Portugis, Spanyol, Belanda dan kemudian disusul oleh Prancis serta Inggris sudah sangat banyak dimuat oleh berbagai buku, namun belum banyak sejarawan yang merefleksikan tentang bagaimana dampak serta pengaruh hubungan yang terjadi antara nusantara dengan Eropa. Oleh karenanya makalah ini akan mencoba melakukan analisis mendalam terkait dengan interaksi antara Nusantara dengan Eropa pada kurun waktu 1511 hingga 1942.

Wilayah yang menjadi Fokus dalam makalah ini adalah wilayah-wilayah yang pernah diduduki oleh masyarakat Eropa. Tahun 1511 dipilih sebagai batasan awal kedatangan bangsa Portugis di Malaka, sedangkan 1942 dipilih sebagai batasan akhir sebab pada tahun ini Belanda menyerahkan “estafet penjajahan” di wilayah Nusantara pada Jepang. Makalah ini akan coba merefleksikan apakah terdapat pengaruh Eropa yang muncul di nusantara akibat

interaksi selama kurun waktu tersebut? Ataukah Ada pengaruh Nusantara yang kemudian menimbulkan budaya baru bagi masyarakat Eropa yang masih berlangsung hingga saat ini?

Pengaruh Portugis di Nusantara

Pendudukan Portugis di Malaka pada 1511 menurut Vlekke telah menimbulkan polarisasi pada beberapa kerajaan bercorak Islam di Nusantara. Sebab pertempuran yang terjadi antara Portugis dengan Malaka yang kemudian dicampuri oleh serangan-serangan yang dilakukan oleh Demak dan kerajaan Aceh membuat jumlah pemeluk Islam kian banyak. Kenaikan pemeluk Islam ini menurut Vlekke tidak hanya disebabkan oleh daya tarik Islam yang disebarkan dengan kedamaian dan tidak mengenal sistem kasta saja, tapi juga disebabkan permasalahan politik antara berdamai dengan Portugis atau bekerja sama dengan Johor juga Aceh dan Demak yang berarti memilih antara Kristen dan Islam. Pilihan untuk bergabung dengan Islam juga muncul sebagai bentuk “kesadaran kolektif” atas kesalahan Alburquerque yang langsung membangun Benteng Portugis di Malaka dan menghancurkan kuburuan muslim dalam rangka memperoleh bahan bangunan serta menghukum mati para pedagang Jawa dengan tuduhan menentang pemerintahan Portugis.[1]

Kerja sama Portugis dengan Ternate pada tahun 1512 merupakan salah satu kasus yang unik untuk dikaji, sebab kerja sama tersebut ternyata bukanlah tanpa masalah sebab Ternate yang Muslim dan merupakan salah satu musuh utama Katolik Portugis disaat yang bersamaan justru bekerja sama dengan para perwira Portugis dalam rangka memerangi “duet” Tidore dan Spanyol. Vlekke menyatakan bahwa dalam peristiwa tersebut sesungguhnya banyak misionaris yang memprotes kebijakan para perwira Portugis, namun bayang-bayang keuntungan dari kerja sama yang menghasilkan kebijakan Monopoli Cengkeh membuat para perwira portugis mengabaikan protes para misionaris. Dari peristiwa ini dapatlah kita ambil sebuah kesimpulan bahwa dibandingkan dengan misi Gospel (penyebaran Agama) misi mendapatkan kekayaan (Gold) dan kejayaan (Glory) rasanya lebih Portugis dahulukan sebab menurut Vlekke rata-rata Portugis mendapatkan keuntungan sebesar 2500 persen dalam tiap transaksi cengkeh di Eropa.[2]

Dalam rangka memaksimalkan pendudukan Portugis di Nusantara berbagai hal dilakukan diantaranya dengan mempelajari bahasa Melayu yang digunakan oleh penduduk nusantara saat itu. Dalam pembelajaran ini menurut Collins Portugis beruntung sebab Antonio Pigafetta pada tahun 1522 pernah menyusun sebuah Kamus kecil berbahasa Italia-Melayu yang kemudian diterbitkan di Eropa. Kamus ini juga bertransformasi dengan berbagai bahasa Asing lainnya seperti Latin-Melayu dan Prancis-Melayu[3].

Pengetahuan dasar tentang bahasa Melayu ini kemudian dimanfaatkan oleh para misionaris dalam rangka menyebarkan pemahaman Kristennya kepada penduduk. Kita pun kemudian mengenal Javier seorang Misionaris yang pertama kali menerjemahkan perjanjian lama ke dalam bahasa Melayu. Misionaris yang masuk berbondong-bondong ke kawasan nusantara[4] ini kemudian memaksimalkan Injil berbahasa Melayu tersebut dalam tiap moment dan pertemuan sehingga Bahasa Portugis cukup banyak mempengaruhi Bahasa Melayu, wajar Jika Adeelar kemudian menyatakan bahwa Bahasa Portugis adalah salah satu bahasa yang paling mempengaruhi kekayaan bahasa Melayu selain Bahasa Sansekerta dan Bahasa Arab.[5]

Ada beberapa kata dalam Bahasa Indonesia yang merupakan kata serapan dari Bahasa Portugis diantaranya :

No
   

Bahasa Indonesia
   

Bahasa Portugis

1
   

Bangku
   

Banco

2
   

Bendera
   

Bandaira

3
   

Biola
   

Viola

4
   

Boneka
   

Boneca

5
   

Garpu
   

Garfo

6
   

Meja
   

Mesa

Masuknya Portugis ke Nusantara juga membawa dampak baru, yaitu masuknya bahasa Latin ke Nusantara sehingga Aksara Latin ini mulai mampu mengubah Aksara Arab- Pegon yang merupakan Aksara Khas Bahasa Melayu.

Pengaruh Belanda di Nusantara

Pada bagian sebelumnya penulis telah membicarakan tentang pengaruh Portugis di Nusantara, lalu apakah ada pengaruh Nusantara di Eropa? Jelas ada, pengetahuan orang-orang Eropa tentang bahasa Melayu muncul dari interaksi yang terjadi antara masyarakat di Nusantara dengan orang-orang Eropa. Salah satu karya penting yang harus diungkap adalah karya dari Frederick de Houtman, adik Dari Cornelis De Houtman. Apa karya De Houtman yang kemudian secara tidak langsung membawa pengaruh Nusantara di Eropa? Dan bagaimana proses terciptanya?

Cornelis De Houtman memang sempat berlabuh di Banten, pada awalnya ia diterima dengan baik oleh masyarakat Banten saat itu. Namun sikap angkuh yang dimunculkan oleh De Houtman membuat masyarakat geram sehingga waktu kunjungan De Houtman tidaklah lama. Selanjutnya De Houtman memutar kemudi dan mengunjungi wilayah lainnya. salah satu wilayah yang dikunjungi adalah Kesultanan Aceh Darussalam yang saat itu berada dibawah pemerintahan Sultan Alaaddin Riayat Syah al-Mukammil (1588-1604).

Dalam perjalanan ini De Houtman ditemani oleh awak kapal termasuk saudaranya yang bernama Frederick de Houtman. Tujuan utama perlayaran tersebut adalah untuk mewakili Belanda dalam urusan perniagaan dan perdagangan rempah. Menurut Harun Aminurrasyid mengutip dari buku Linehan A History of Pahang, de Houtman belayar ke tanah Melayu pada tanggal 23 Maret 1598 dengan disertai dua buah kapal yang dinamai ‘Lion and Liones’ dan memasuki perairan Aceh, tepatnya Pulau Weh, pada 21 dan atau 26 Juni 1599.[6]

Bagaimana respon masyarakat Aceh saat itu? Aceh merespon kedatangan Belanda dengan penyerangan, Kesultanan Aceh memerintahkan Laksamana Keumalahayati untuk menangkap awak kapal de Houtman. Dalam penyerangan ini beberapa awak kapal terbunuh dan sisanya dimasukkan ke dalam penjara termasuk Adik dari Cornelis De Houtman, yaitu Frederick De Houtman. Frederick de Houtman dan beberapa awak kapal yang hidup menjadi tawanan Kesultanan Aceh sejak tahun 1599 hingga 1601. Pada saat menjadi Tahanan inilah De Houtman membuat sebuah Kamus bahasa Melayu-Belanda.

De Houtman hanya 24 Bulan berada dalam tahanan Aceh, sebab Ia ditebus oleh saudagar-saudagar Belanda seperti Laurence Bicker dan Gerard Le Roy yang khusus dikirim oleh Pangeran Maurice. Melalui utusan ini, Pangeran Maurice meminta Sultan al-Mukammil untuk membebaskan Frederick dan tahanan Belanda lainnya sekaligus memulai urusan perniagaan secara resmi dengan kesultanan Aceh Darussalam. Permintaan tersebut dikabulkan Sultan kemudian mengutus Abdul Samad, Laksamana Sri Muhammad, dan bangsawan Mir Hasan ke Belanda pada 29 November 1601 dan tiba pada 6 Juli 1602.

Pertanyaan yang patut kita ajukan adalah bagaimana bisa seorang tahanan dapat menghasilkan sebuah karya yang sangat ilmiah dari balik jeruji? Menurut Nia Deliana mengutip dari Takeshi, Salah satu kemungkinannya adalah De Houtman mendapatkan bantuan dari orang lain. De Houtman sempat bertemu dengan Syeikh Shamsuddin as-Sumatrani yang saat itu memegang tempat dan tanggung jawab penting di istana mengingat kondisi umur Sultan al-Mukammil yang memerintah saat itu terbilang tua untuk mampu mengurus administrasi kerajaan.

Dari sini kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa dalam pembuatan kamus Melayu-Belanda De Houtman juga turut mendapatkan bantuan dari masyarakat Pribumi, khususnya para cendikiawan Aceh. Setelah de Houtman diperbolehkan pulang ke negeri asalnya, ia menyusun kembali rekaman-rekaman tertulisnya yang kemudian berhasil diterbitkan di Amsterdam dengan tajuk “Spraeck de woordboek in de Maleysche en de Madagaskarse Talen (Grammar and Dictionary of the Malayan and Malagasy Languages)” pada tahun 1603. Karya ini dikatakan menarik karena memuat 12 bentuk percakapan dan dialog dalam bahasa Melayu, 3 bentuk dialog dalam bahasa Malagasi dan lebih dari 2000 kosa kata Melayu-Belanda atau Belanda-Malagasi.

Catatan A.W. Hamilton dalam artikelnya yang bertajuk “The First Dutch-Malay Vocabulary”, menyebutkan bahwa kamus tersebut pada awalnya tidak disertai dalam bahasa Inggris tapi hanya bergantung pada karakter huruf versi de Houtman. Kosa kata yang telah ditulis oleh de Houtman merupakan kosa kata umum yang digunakan dalam perniagaan. Kamus Melayu de Houtman ini telah disusun dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Magister Gothard Arthus dan diterbitkan di Cologne, Jerman, pada tahun 1608[7].

Berkembangnya Ajaran Kristen di Nusantara

Kita telah mengulas tentang beberapa pengaruh Eropa dari perspektif budaya, kini kita coba mengkaji pengaruh lainnya yang tidak kalah penting atas interaksi yang terjadi antara masyarakat nusantara dengan orang-orang Eropa. Salah satu pengaruh yang ditinggalkan oleh orang-orang Eropa di nusantara adalah ajaran Kristen yang kini menjadi salah satu agama resmi di Tanah Air.

Bagaimana proses penetrasi mereka dan respon apa yang muncul dikalangan masyarakat Pribumi ketika itu yang mayoritas telah menjadi muslim? Isa Anshary dalam buku Mengkristenkan Jawa : Dukungan pemerintah kolonial Belanda terhadap penetrasi Misi Kristen menyatakan bahwa laju penyebaran agama Kristen di Hindia Belanda sangat terkait erat dengan perkembangan politik kolonial Awal abad ke-20 yang ditandai dengan peningkatan kegiatan misi Kristen.

Disadari atau tidak Politik Etis yang merupakan buah pemikiran dari Van Deventer dalam sebuah catatannya yang berjudul een ereschuld (Hutang Kehormatan) diterapkan dalam sebuah suasana politik dimana Abraham Kuyper, pemimpin Partai Kristen Anti-Revolusioner, menduduki kursi Perdana Menteri Belanda pada tahun 1901.

Dalam perspektif umum kita menyadari bahwa sisi positif politik etis yang juga dikenal dengan istilah “politik balas budi” telah menimbulkan gelombang baru, yakni pemuda-pemuda terdidik yang kelak menjadi The Founding Fathers republik ini, namun dalam perspektif berbeda ketika Politik Etis diimplementasikan pada masa kekuasaan Abraham Kuyper, aroma kebijakan politik etis ini tidak bisa dilepaskan dari Islamophobia yang telah muncul kala itu.

Pada tahun 1901 Banyak anggota Parlemen Belanda menuntut agar pemerintah Hindia Belanda membatasi pengaruh Islam di Indonesia. Van Baylant, misalnya, memperingatkan pemerintah akan seriusnya bahaya penyebaran Islam dan menuntut ditingkatkannya misi Kristen. Sementara itu, W.H. Bogat meluncurkan kampanye anti-Islam yang keras dan menuduh agama ini sebagai penyebab ”kurang bermoralnya” masyarakat.

Pengangkatan Alexander Willem Frederik Idenburg sebagai Menteri Urusan Penjajahan (1902—1909) dan selanjutnya sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda (1909—1916) semakin memperkuat arus Kristenisasi. Sebab setelah tahun 1909, kelompok misi Kristen dengan cepat meluaskan kegiatan mereka di kepulauan Indonesia.

Mereka menjalankan “operasi senyap” dengan melakukan penetrasi pada sektor-sektor strategis seperti pendidikan dan ekonomi. Idenburg menjadikan Kristenisasi sebagai tugas politik utama pemerintahannya. Adian Husaini menyatakan bahwa Idenburg di hadapan Tweede Kamer mengucapkan: De uitbreiding van het Christendom in Indië, als wortel van onze hoogere beschaving, is een zaak van groot politiek belang. (Penyebaran agama Kristen di Hindia Belanda sebagai dasar peradaban yang tinggi adalah tugas politik utama) dalam forum yang lain juga Idenburg menegaskan: ”The issue for Mohammedan world is not Mohammed and Christ. Ia not Mohammed or Christ. It is Christ. It is Christ or decay and death.” (Pilihan untuk dunia Islam bukan Muhammad dan Kristus; bukan Muhammad atau Kristus; tetapi pilihannya hanya Kristus. Pilih Kristus atau akan mengalami pembusukan dan kematian)[8].

Upaya menjauhkan Bahasa Melayu dari dialektika masyarakat

Strategi lain dalam menyebarkan agama Kristen di Jawa pada dekade pertama abad ke-20 adalah penyesuaian ajaran Kristen dengan budaya Jawa. Strategi yang dijalankan adalah dengan memisahkan agama Islam dari budaya Jawa. Bahasa Melayu yang identik dengan Bahasa Muslim dan penggunaan Arab Pegon di kalangan masyarakat Jawa saat itu coba di eleminir. J.D. Wolterbeek mengatakan, “Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya.”  Senada dengan ini, Imam Yesuit Frans van Lith berpendapat, dua bahasa di sekolah-sekolah dasar (yaitu bahasa Jawa dan Belanda) adalah batasannya. Bahasa ketiga hanya mungkin bila kedua bahasa yang lain dianggap tidak memadai. Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.[9]

Tentu menjadi sebuah pertanyaan besar bagaimana peranan masyarakat pribumi kala itu? Dalam menghadapi Penetrasi Kolonialisme yang memasukkan penyebaran Ajaran Agama Kristen (Gospel) sebagai salah satu target utamanya, masyarakat tidak tinggal diam. K.H. Ahmad Dahlan salah satunya, Ia mendirikan Muhammadiyah pada 1912 –masa gubernur jenderal Idenburg- dalam rangka mengeliminir ruang gerak misionaris dan Zending serta mengembalikan pemahaman Umat Islam pada ajarannya yang otentik. Bahkan Tahun 1933, Muhammadiyah bersama 30 organisasi Islam mengadakan rapat akbar di Solo untuk menentang pemberian izin masuknya dua orang misionaris Kristen Advent dari pemerintah Jajahan di Vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta).

Tahun 1939, Sidang Tanwir Muhammadiyah di Kudus juga menolak dicabutnya artikel 177 Indische Staatsregeling  yang isinya adalah kewajiban misionaris untuk mendapat izin dari pemerintah Jajahan. Bahkan Ahmad Dahlan pernah berujar : “Islam tak mungkin lenyap dari seluruh dunia, tetapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggungjawab?”

Kesimpulan

Interaksi yang berlangsung antara masyarakat di Nusantara selama 431 Tahun (1511-1942) memberikan pengalaman berharga kepada kita bahwa tiap penetrasi Budaya yang masuk ke dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat Indonesia mampu memberikan pengaruh yang sebagian besarnya masih dapat kita temukan hingga saat ini. Dalam konteks masuknya pengaruh eropa maka peninggalan mereka dapat kita lihat dari aspek Budaya, Bahasa maupun agama. Sisi Negatif ada, namun sisi positif karena Khazanah budaya bangsa semakin beragam pun hendaknya kita syukuri.

Tak usah kita merasa malu karena pernah memiliki label sebagai “bangsa terjajah” sebab banyak Negara di dunia ini juga pernah mendapatkan label serupa, namun jadikan pengalaman “terjajah” ini sebagai tonggak sejarah yang membuat kita bangga karena sejak dahulu hingga hari ini Allah masih memberikan kekayaan berlimpah kepada tanah air kita, sehingga berbondong-bondong masyarakat dari negeri nun jauh disana ingin mengunjungi tanah air kita dan merasakan sedikit kekayaan yang dititipkan oleh-Nya.

Kekayaan bangsa berupa Sumber Daya Alam yang amat berlimpah harus selalu kita jaga demi eksistensi dan keberlangsungan negeri ini. Kekayaan ini tentunya harus dijaga oleh orang-orang yang berkualitas secara intelektual, emosional dan spiritual. Sebab jika bangsa kita tidak mengedepankan pembangunan SDM maka bukan tidak mungkin Neo Kolonialisme dan Neo Imperialisme kembali menari-menari di atas tanah ibu pertiwi

Daftar Pusataka

Buku :

Adeelar, K. Alexander. Bahasa Melayik purba rekonstruksi fonologi dan sebagian dari leksikon dan morfologi. Jakarta : Pembinaan dan pengembangan bahasa, 1994.

Anshory, Muhammad Isa. Mengkristenkan Jawa : Dukungan pemerintah colonial

Belanda terhadap penetrasi misi Kristen. Surakarta : Pustaka Lir Ilir, 2013.

Collins, James T.Bahasa Melayu bahasa Dunia Sejarah Singkat. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005

Husaini, Adian. Wajah Peradaban Barat. Jakarta : Gema Insani, 2005.

Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya Jilid I. Jakarta : Gramedia, 2008.

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Yogjakarta : Gadjah Mada University Press, 2007

Vlekke, Bernard. H.M. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta : Gramedia, 2008.

Zarkasyi, Hamid Fahmi. Misykat ; refleksi tentang westernisasi, liberalisasi dan Islam. Jakarta : INSIST, 2012.

Makalah :

Nia Deliana. Sosiolinguistik Melayu. Universitas Teknologi Malaysia

Internet :

“Sejarah bahasa Melayu” . http://melayuonline.com di akses pada 14 oktober 2014 pukul 03.00 wib

Husaini, Adian. “Kristen Jawa kolonial” . http://www.hidayatullah.com. Diakses pada 14 oktober pukul 04.00 wib

[1] Bernard H.M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia (Jakarta : Gramedia, 2008), h. 99.

[2] Ibid., h. 113.

[3] James T. Collins, Bahasa Melayu bahasa Dunia Sejarah Singkat (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 22.

[4] Menurut Vlekke data tentang Jumlah penganut Katolik yang masuk ke Roma pada tahun 1522 adalah 70.000 orang, banyaknya jumlah ini mengakibatkan Gereja Katolik cukup sering mengirimkan Misionaris ke Nusantara khususnya wilayah Timur Indonesia dibawah koordinasi Franciscus Xaverius

[5] K. Alexaner Adeelar, Bahasa Melayik purba rekonstruksi fonologi dan sebagian dari leksikon dan morfologi (Jakarta : Pembinaan dan pengembangan Bahasa, 1994), h. 312.

[6] Makalah Nia Deliana kandidat Master Sosio-linguistik Universitas Teknologi Malaysia di unduh pada 14 oktober pukul 03.00

[7] Ibid., h. 3.

[8] http://www.hidayatullah.com/kolom/catatan-akhir-pekan/read/2013/04/04/3865/mengkristenkan-jawa.html#.VEA1t9LbSGM diunduh pada 16 oktober 2014 pukul 04.19

[9] Ibid.,

Fahmi I

No comments: