Memahami Syafi’i dan Syafi’iyah

TULISAN Saudara Dr Aslam Nur (AN) bertajuk “Mazhab Syafi’i atau Syafi’iyah” di rubrik Opini (Serambi, 26/9/2014) perlu mendapat apresiasi, mengingat hal ini merupakan satu bentuk kepedulian nyata kalangan akademisi terhadap pengawalan syariat Islam di Aceh demi melahirkan suatu konsep pelaksanaan yang terpadu dan terarah. Namun patut pula disayangkan pandangan kurang simpatik AN (paragraf 2 dan 3) terhadap metode “wajib” bermazhab Syafi’i yang telah berakar kuat dalam proses tafaqquh fid-din umat Islam di Aceh. Bahkan opsi kembali kepada Alquran dan Hadis yang ditawarkan sebagai solusi pengganti (paragraf 17), justru menjadikan proses penyelenggaraan syariat Islam akan terus berada dalam daftar waiting list, karena harus menunggu kehadiran intelektual Muslim yang mempunyai predikat Imam Mujtahid. Lantas, sampai kapan syariat Islam hanya sekadar mimpi belaka?

Secara terminologi, mazhab adalah pendapat imam mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari Alquran dan Hadis serta pemahaman para muridnya mengenai hukum syariat melalui asasi yang telah diqanunkan oleh imam mujtahid tersebut. Jadi yang dikatakan dengan bermazhab adalah mengikuti pendapat imam mazhab dan para muridnya, sehingga seseorang yang beramal sesuai dengan pendapat Imam al-Syafi’i dan para muridnya dikategorikan sebagai seorang yang bermazhab Syafi’i atau dengan sebutan lain, yaitu Syafi’iyah.

Karena itu, tidak ada perbedaan antara Mazhab Syafi’i dan Syafi’iyah, bahkan tidak ada seorang ulama pun yang membedakan makna Mazhab Syafi’i dengan Syafi’iyah. Tentunya, bila kita mengerti seluk-beluk mazhab dengan segala qanun asasi yang telah ditetapkan oleh pendirinya, maka menjadi suatu hal aneh bila mempertanyakan kesesuaian antara pendapat Imam al-Syafi’i dengan para muridnya dikarenakan setiap analisa yang lahir dari pemikiran para muridnya tidak pernah terlepas dari aturan baku (qa’idah) Imam al-Syafi’i sendiri.

Perbedaan pemahaman yang timbul antara sesama ulama Syafi’iyah pun bukanlah hal yang perlu diperdebatkan karena para pengikut mazhab Syafi’i telah memiliki kriteria tersendiri dalam memilih dan memilah pendapat-pendapat tersebut melalui klasifikasi mujtahid tarjih (Imam al-Rafi’i dan Imam al-Nawawi) dan para ulama Syafi’iyah lainnya, seperti Imam Ibnu Hajar al-Haitami ataupun Imam al-Ramli yang kapasitas intelektual mereka telah diakui oleh Syafi’iyah di seluruh dunia.

 Praktik keagamaan
Pengamalan ibadah masyarakat Muslim di Indonesia seperti zikir dan doa secara jihar berjamaah bukanlah praktik keliru yang bertentangan dengan mazhab yang dianutnya. Kebolehan zikir dan doa secara jihar ini bukan hanya untuk ta’lim, karena ta’lim hanyalah satu afrad untuk kebolehan secara jihar sebagaimana yang dimaksud oleh Imam al-Syafi’i, bukan satu-satunya afrad. Begitu pula halnya dengan pelaksanaan azan Jumat sebanyak dua kali yang telah dimulai sejak periode Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan ra, sementara di masa Nabi saw hanya dilakukan sekali. Apakah menantu Rasul saw ini digolongkan sebagai muta’arridhin (penentang) sunnah Nabi saw, padahal para sahabat lainnya yang masih hidup pada saat itu tidak sedikit pun mempermasalahkannya?

Terkait kutipan tulisan Syaikh Dr Wahbah al-Zuhaili dalam bukunya al-Fiqh al-Syafi’i al-Muyassar (paragaraf 13), AN hanya mengungkapkan redaksi dari satu buku beliau saja tanpa mencoba menelisik pernyataan Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya yang lain, al-Fiqh al-Maliki al-Muyassar. Dalam kitab tersebut, Syaikh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan tentang kesepakatan para ulama empat mazhab muktabar lainnya tentang sampainya pahala bacaan Alquran dan sedekah yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal. Rasanya, kurang bijak bila kita terlalu tergesa-gesa memvonis suatu permasalahan sebagai hal yang terlarang dan diharamkan.

Tradisi yang berkembang saat ini, dimana makanan yang disediakan untuk para tamu yang mengunjungi kenduri kematian adalah berasal dari para tamu yang datang melayat, baik dalam bentuk uang ataupun sembako. Dan andaipun biaya persediaan makanan tersebut berasal dari harta ahli waris, hal ini juga tidak mengapa bila ia meniatkannya sebagai sedekah yang pahalanya diniatkan kepada anggota keluarga yang meninggal. Dalam karya tulisnya yang lain, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, Syaikh Wahbah al-Zuhaili juga menegaskan sampainya hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal.

Mengenai pendapat Imam al-Syafi’i tentang tidak sampainya pahala bacaan Alquran kepada orang yang telah meninggal, ini hanya satu dari dua pendapat beliau pada permasalahan yang sama. Pendapat lainnya, Imam al-Syafi’i menyebutkan ke-sunnah-an membaca Alquran ketika ziarah kubur. Maksud dari nash Imam al-Syafi’i yang pertama adalah bila Alquran dibacakan bukan di depan mayat. Sedangkan bila dibacakan di depan mayat, pahala bacaan tersebut akan sampai kepada si mayat baik diiringi doa ataupun tidak. Kemudian bila dibacakan bukan di depan mayat dan tidak diiringi doa, bacaan tersebut tidak akan bermanfaat untuk mayat.

Sementara itu, para Imam Mazhab lainnya berpendapat bahwa hadiah pahala bacaan Alquran akan sampai kepada orang yang meninggal walaupun dibaca bukan di depan mayat. Adapun bila bacaan Alquran tersebut disertai dengan doa, maka para ulama sepakat menyatakan bahwa doa bermanfaat untuk mayat dan membaca Alquran sebelum berdoa akan menjadikan doanya semakin mustajabah. Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan surat an-Najm ayat 39 juga mengutip kesepakatan para ulama tentang bermanfaatnya doa dan sedekah untuk mayat. Inilah yang diamalkan oleh kaum Muslim baik di Aceh ataupun di Indonesia dimana sebelum berdoa mereka membaca ayat Alquran terlebih dulu.

 Tidak kontradiksi
Selanjutnya kita juga harus cermat dalam memahami wasiat Imam al-Syafi’i yang memerintahkan mengambil hadis shahih dan meninggalkan pendapat beliau. Wasiat ini hanya ditujukan kepada orang yang telah mencapai derajat ijtihad dalam mazhab. Syarat seorang mujtahid mazhab baru boleh menjalankan wasiat Imam al-Syafi’i adalah bila ia mempunyai dugaan kuat bahwa Imam al-Syafi’i tidak mengetahui hadis tersebut atau tidak mengetahui keshahihan hadisnya. Hal ini mungkin baru bisa diketahui setelah menelaah dan menganalisa seluruh kitab Imam al-Syafi’i dan kitab-kitab ashhab beliau lainnya. Beranjak dari beberapa permasalahan tersebut, jelas bahwa sebenarnya tidak pernah timbul kontradiksi antara pendapat Imam al-Syafi’i dengan para muridnya (Syafi’iyah).

Usulan AN terhadap Rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, pada Bab IV, Syariah, Bagian Kesatu, Ibadah, Pasal 14 ayat (1, 2, dan 3) agar diamalkan selalu berlandaskan kepada Alquran dan al-Sunnah al-Shahihah (paragraf 17) memang perlu dihargai. Akan tetapi, Raqan sebelumnya yang memprioritaskan tata cara pengamalan ibadah menurut Mazhab Syafi’i ataupun dalam bingkai Mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali bila tidak mengacu pada Mazhab Syafi’i adalah usaha yang ditempuh untuk menyatukan seluruh komponen masyarakat Aceh dalam pelaksanaan syariat Islam kaffah, dimana saat ini masih terpecah belah dengan berbagai pemahaman Alquran dan Hadis menurut versi pribadi masing-masing, tanpa menyadari kapasitas keilmuan yang dititipkan Tuhan kepadanya.

Mengapa Mazhab Syafi’i yang dipilih? Karena mazhab inilah satu-satunya mazhab yang telah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Aceh. Tentunya, tidak butuh waktu lebih lama bagi Pemerintah Aceh untuk mengadopsi dan mengaplikasikannya sebagai substansi utama tata cara peribadatan umat Islam di Aceh. Atra kana, tinggai ta peu timang mantong. Ketika Mazhab Syafi’i telah mengatur seluruh tata cara peribadatan, bermuamalah hingga hubungan interaksi dengan non-Muslim secara teratur dan terperinci sebagai mata rantai keilmuan dari Alquran dan Hadis, maka apa alasannya untuk phobia terhadap mazhab ini, bahkan menganggapnya sebagai mazhab yang tidak mempunyai toleransi? Na’uudzubillaah!

* Tgk. H. Muhammad Baidhawi H. Mukhtar, Dewan Pembina Lajnah Bahtsul Masa-il (LBM), Wadir III LPI MUDI Masjid Raya Samalanga, Bireuen, dan Anggota Litbang PB-HUDA Aceh. Email: baidhawimukhtar@gmail.com

No comments: