KH Isa Anshary, Pejuang Islam Penentang Sekularisme

KH Isa Anshary.
KH Isa Anshary.

Lahir di Maninjau, Agam, Sumatra Barat, 1 Juli 1916, Muhammad Isa Anshary memiliki kontribusi besar dalam memajukan dan membawa Persatuan Islam (Persis), satu dari sekian organisasi massa Islam terbesar di Tanah Air, ke kancah nasional.

Sejak kecil dikenal sebagai pribadi dengan jiwa petualang dan lekat dengan pendidikan agama. Ia besar di lingkungan yang agamais. Menginjak usia 16 tahun, setelah menyelesaikan madrasah Islam, ia kemudian merantau ke Kota Bandung untuk mengenyam pendidikan lebih dalam.

Dalam usia belia, ia sudah terlibat aktif dalam organisasi pergerakan Islam. Ia tercatat pernah aktif di Muhammadiyah, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia, dan Indonesia Berparlemen.

Di Bandung inilah semangat pergerakannya kembali ia kembangkan dengan bergabung dengan Persis. Dari jam'iyyah (organisasi) ini, kemudian kiprah Muhammad Isa Anshory muncul di kancah nasional.

Pada 1940, Kiai Isa, begitu akrab disapa, dilantik sebagai anggota hoofbestuur atau pimpinan pusat. Ia banyak menorehkan torehan penting dalam sejarah perjalanan Persis. Di antaranya, melakukan reorganisasi. Sejak masa pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan, Persis sempat mengalami masa-masa vakum.

Pascakemerdekaan Indonesia merupakan masa-masa terpenting bagi revitalisasi Persis, kembali kepada prinsip Alquran dan sunah. Gaya kepemimpinan dan kepakarannya di bidang agama menempatkan sosok Kiai Isa sebagai pemimpin yang brilian.

Keberhasilannya mereorganisasi Persis membuatnya terpilih menjadi ketua umum Pimpinan Pusat Persis dalam beberapa periode kemudian pada 1953 hingga 1960. Ia sukses menggantikan para pendahulunya, seperti KH Zamzam, KH Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Mohammad Natsir. 

Nama Kiai Isa juga masuk seabagai tim perumus Qanun Asasi Persis yang diterima secara bulat oleh Muktamar V Persis (1953) dan disempurnakan pada Muktamar VIII Persis (1967).

Kebijakan organisasinya telah memperjuangkan Persis sebagai organisasi Islam yang vital dalam perjuangan sosial masyarakat bersama organisasi Islam lainnya.

Dalam bidang pembinaan kader Persis, Isa Anshary menekankan pentingnya sebuah madrasah, tempat membina kader-kader muda Persis. Semangatnya dalam hal pembinaan kader tidak pernah padam meskipun ia mendekam dalam tahanan Orde Lama di Madiun.

Isa Anshary mencoba menghidupkan semangat para kadernya dalam usaha mengembangkan serta menyebarkan agama Islam dan perjuangan organisasi Persis.

Antisekularisme
Selama memimpin Persis, Kiai Isa dikenal sebagai figur  yang keras menentang sekularisme dan komunisme. Dua ideologi yang berseberangan dengan Islam itu tengah merebak di sendi-sendi Orde Lama.

Ia juga dikenal dengan kegigihannya menyerukan dengan lantang penerapan syariat Islam. Untuk mengaktualisasikan gagasannya itu, ia memutuskan terlibat di jalur politik. Partai Masyumi menjadi pilihan kendaraannya saat itu.

Soal penguasaan massa dan kemampuan memengaruhi orang lain, Kiai Isa jagonya. Ini tampak dari pidatonya yang berapi-api dan membakar bara semangat. Sebab itulah, ia mendapat julukan Singa Podiom. Ia bukan hanya jago retorika, melainkan juga piawai menulis.

Analisisnya tajam, goretan penanya sekuat pidato-pidato yang ia sampaikan di atas podium. Tak sedikit buah karyanya yang menyulut Soekarno, pemimpin Orde Lama ketika itu, gerah.

Menentang SoekarnoJanuari 1953, pidato Soekarno di Kalimantan Selatan menuai polemik. Tokoh proklamator itu menegaskan, berdirinya negara Islam akan memicu perpecahan NKRI.

Mendengar pidato itu, Kiai Isa tidak terima. Ia menilai isi pembicaraan presiden pertama RI itu tidak demokratis serta inkonstitusional.

Ia memberi contoh negara Islam yang dibangun Rasulullah SAW di Madinah justru membuat kehidupan masyarakat lebih baik, aman, serta melindungi dan menjamin hak-hak kehidupan non-Muslim.

Kiai Isa mengatakan, berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok separatis Islam adalah kesalahan dari pemerintah sekuler itu sendiri yang tidak menjadikan Islam sebagai filsafat negara.

Sikap dan pendirian Kiai Isa yang teguh terlihat pula saat berpidato di Semarang. Pada masa itu, suhu perpolitikan nasional tengah memanas buntut dari merajalelanya Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ia dengan lantang berpidato menentang komunis di alun-alun Kota Semarang yang saat itu menjadi basis komunis. Di depan ribuan pengunjung, pidatonya yang keras menjadi sorotan hampir semua media dan masyarakat karena aksi-aksinya menolak ideologi tak bertuhan ini.

Strateginya dalam menyibak rahasia perlawanan kaum komunis banyak menginspirasi masyarakat yang membuat para petinggi Masyumi terperangah.

Mereka tak menyangka orasi sang Singa Podium ini membuat masyarakat bangkit. Ini ditandai dengan munculnya gerakan yang menentang koalisi PNI-PKI menjelang Pemilu 1955. Di tengah koalisi PNI-PKI yang berusaha menjegal Masyumi, dengan cepatnya ia mengajak masyarakat membentuk Front Anti Komunis.

Menurut dia, komunisme adalah musuh paling berbahaya di Tanah Air karena mereka menganggap agama hanyalah candu yang mengekang manusia. Paham ini tidak boleh hidup di atas bumi pertiwi nusantara. Alhasil, perlawanan anti-PKI ini yang semakin tumbuh subur, kemudian menyebar ke seluruh nusantara.

Perjuangannya tak pernah berhenti meski menjelang ajal. Meski dalam kondisi sakit, Kiai Isa tetap memberikan khotbah Idul Fitri. Satu hari pasca-Idul Fitri, tepatnya 11 Desember 1969, akhirnya sang mujadid dan mujahid penegak syariah Islam di Tanah Air ini wafat, meninggalkan sejuta semangat.

Amri Amrullah

No comments: