Mengislamkan Jawa, Pelajaran dari Masa Lalu dan Masa Kini

java islam Mengislamkan Jawa, Pelajaran dari Masa Lalu dan Masa Kini

Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
“…. dahulu Nyi Roro Kidul tidak punya agama tetapi sekarang – tahun 1990-an – ia sudah menjadi seorang Muslim dan bisa membaca tulisan Arab.” (Penuturan seorang dukun kepada seorang peneliti asal Korea Selatan. Dikutip oleh Ricklefs)
Jika anda orang Jawa, Muslim, dan tinggal di daerah berbahasa Jawa sadarkah anda bahwa masyarakat Jawa kini jauh lebih Islam dibandingkan 50 tahun silam? Gambaran itulah yang akan kita temukan dalam buku “Islamisation and Its Opponents in Java. c 1930 to Present” karya sejarawan Australia M.C. Ricklefs. “Islamisation and Its Opponents in Java” adalah buku pertama yang mengupas secara komprehensif proses Islamisasi di Jawa sejak awal era Orde Baru sampai dengan era politik liberal-transaksional dewasa ini. Buku ini adalah hasil penelitian Ricklefs selama lebih dari 40 tahun di berbagai penjuru wilayah kultural Jawa dan merupakan jilid ketiga dari trilogi bukunya yang membahas sejarah perjumpaan Islam dan Jawa – 2 buku sebelumnya adalah “Mystic Synhthesis in Java” dan “Polarizing Javanese Society”.
Dari Polarisasi hingga Konflik
Sebelum membahas Islamisasi di masa Orde Baru hingga Reformasi, Ricklefs bercerita tentang mengkristalnya polarisasi masyarakat Jawa antara santri vis a vis abangan atau pengusung identitas keislaman vis a vis pengusung identitas kejawaan yang bibit-bibitnya sudah terlihat sejak pertengahan abad ke-19. Memasuki dekade 1930-an polarisasi itu semakin jelas, seiring dengan terbelahnya organisasi-organisasi pergerakan ke dalam 3 arus besar ideologi: nasionalisme sekuler, Islam politik, dan komunisme -yang bergerak di bawah tanah pasca pemberontakan 1926. Polarisasi dalam masyarakat Jawa menemukan penyalurannya dalam organisasi-organisasi yang mengusung identitas komunal, apa yang kemudian kita kenal sebagai politik aliran.
Masa pendudukan Jepang dan revolusi fisik menghadirkan militansi dan kekerasan ke tengah masyarakat Jawa. Ini kian mempertajam polarisasi yang sudah terbentuk. Usai proklamasi kemerdekaan laskar-laskar sipil bersenjata bermunculan. Laskar-laskar ini tidak saja menjadi tantangan bagi kekuatan kolonial yang hendak menguasai kembali Jawa – dan Indonesia – tetapi juga memicu konflik di tengah masyarakat pribumi sendiri. Pergolakan di Surakarta dan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 menandai dimulainya pertumpahan darah dalam konflik santri-abangan yang berlanjut hingga hampir 2 dasawarsa kemudian.
Tahun-tahun pasca-revolusi – era Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin – merupakan tahun-tahun penuh ketegangan antara kaum santri dan abangan. Pertarungan antara keduanya tidak hanya berlangsung di arena politik tetapi meluas sampai ke kancah seni-budaya. PKI sebagai organisasi sosial-politik yang mewadahi massa abangan tidak segan-segan menggunakan simbol-simbol budaya – termasuk seni – kaum abangan untuk menghantam lawan-lawan politiknya, khususnya kalangan Islam politik. Sepanjang periode itu identitas kejawaan seolah menjadi milik eksklusif kaum abangan dan kekuatan politik non – bahkan anti – Islam. Sebaliknya identitas keislaman yang sampai awal abad ke-19 merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas orang Jawa praktis menjadi monopoli kaum santri dengan partai-partai dan organisasi Islam sebagai wadahnya.
Islam di Era Orde Baru: Dari Ketegangan menuju Bulan Madu
Ketegangan santri-abangan yang terbangun selama bertahun-tahun mencapai puncaknya dalam pembantaian massal pasca-G-30-S/PKI tahun 1965-1966. Lembaran hitam dalam sejarah Indonesia itu tidak hanya membuka jalan bagi berdirinya rezim Orde Baru namun sekaligus juga mengakhiri politik aliran. PKI sebagai representasi politik kaum abangan hancur total, demikian pula dengan PNI yang dikebiri setelah Sokarno ditendang dari panggung politik nasional. Kaum abangan tidak lagi mempunyai saluran aspirasi yang sebelumnya disalurkan lewat kedua partai itu. Sementara itu militer bersama-sama kalangan Islam politik tampil sebagai “pemenang”. Namun masa bulan madu keduanya singkat saja. Militer di bawah kepemimpinan Soeharto tampil sebagai pengendali kekuasaan negara. Di bawah Soeharto rezim Orde Baru menerapkan kebijakan atas Islam yang sama dengan kebijakan pemerintah kolonial Hindia-Belanda: mengakomodasi “Islam ibadah” dan menyingkirkan jauh-jauh Islam politik.
Hubungan antara rezim Orde Baru dengan umat Islam (baca: kaum santri) tidak selalu mesra. Pada dekade 1970-an-1980-an hubungan politik keduanya diwarnai ketegangan. Rezim Orde baru hendak mengubur politik aliran dan menggantikannya dengan politik massa mengambang guna menyukseskan jalannya “pembangunan” (baca: modernisasi). Tidak heran jika setelah menghancurkan kekuatan komunis dan menyingkirkan kaum nasionalis-sekuler rezim Orde Baru melakukan hal serupa pada kekuatan Islam politik. Sekalipun demikian, dimarjinalkannya Islam politik tidak lantas berarti de-Islamisasi sebagaimana yang disangkakan sebagian umat Islam. Sebaliknya pada masa Orde Baru inilah Islamisasi masyarakat Jawa di tingkat akar rumput berlangsung secara intensif.
Pasca-1965 ribuan orang abangan memang meninggalkan Islam dan memilih beralih ke Kristen, Hindu, dan Buddha. Akan tetapi lebih banyak lagi yang memilih meneguhkan komitmennya pada Islam. Dengan dukungan pemerintah – dan dalam batas-batas tertentu Golkar – dakwah Islam masuk ke desa-desa abangan. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah umum, memberikan kesempatan yang sama bagi anak-anak kaum abangan untuk mendapatkan pelajaran agama sebagaimana anak-anak kaum santri. Perlahan tapi pasti batas-batas santri-abangan semakin memudar. Paham kejawen yang sempat begitu kuat pada periode 1950-an-1960-an pun kian surut pengaruhnya. Memang sempat ada upaya menjadikan aliran kepercayaan – termasuk kejawen di dalamnya – sebagai agama yang diakui kedudukannya oleh negara namun bisa dibilang gagal. Aliran kepercayaan tidak mampu membendung Islamisasi yang terus berjalan intens.
Islamisasi mendapatkan momentumnya pada dekade 1990-an – masa-masa akhir Orde Baru – seiring dengan menguatnya politik akomodasi rezim Orde baru terhadap Islam. Dicabutnya larangan berjilbab di sekolah-sekolah umum, disahkannya UU Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, berdirinya ICMI, berdirinya Bank Muamalat, dan ibadah haji Soeharto beserta keluarganya menandai masa bulan madu baru rezim Orde baru dan umat Islam. Identitas Islam makin menguat di Jawa sampai konon Nyi Roro Kidul pun kini menjadi Muslim (hal. 211). Sementara itu identitas kejawaan yang mewarisi masa lalu pra-Islam Jawa semakin surut ke belakang kalau bukan semakin terwarnai oleh corak keislaman.
Kontestasi atas Islam dan Jawa yang semakin ‘Islami’
Berakhirnya Orde baru tidak berarti berakhirnya Islamisasi Jawa, bahkan sebaliknya. Jawa di era pasca-Orde Baru jauh lebih Islam dibandingkan Jawa di masa kolonial ataupun awal kemerdekaan. Apa yang terjadi setelah Orde Baru adalah munculnya dinamika yang mewarnai Islamisasi di Jawa. Sebagai sebuah proses, Islamisasi Jawa itu sendiri menurut Ricklefs nampaknya sangat sulit – kalau bukan mustahil – dihentikan. Dalam konteks demikian, berbicara tentang polarisasi santri vs abangan atau Islam vs Jawa sepertinya tidak lagi relevan. Hal yang lebih relevan diperbincangkan adalah versi pemahaman Islam yang bagaimana yang dominan atau setidaknya berpengaruh paling kuat dalam Islamisasi Jawa dewasa ini.
Di era Reformasi ini kita memang menyaksikan begitu beragamnya versi pemahaman Islam yang berkembang dan mewarnai wacana publik di Jawa dan Indonesia pada umumnya. Dari mulai kelompok yang menganggap semua agama sama benarnya sampai kelompok yang mengafirkan sesama Muslim yang tidak sepaham dengannya dapat kita temukan di Jawa. Berbagai kelompok dengan penafsirannya masing-masing berkontestasi memperebutkan pemaknaan atas apa itu “Islam”, bagaimana Islam dipahami, dan bagaimana Islam dipraktikkan. Terlepas dari begitu jauhnya rentang pemaknaan tentang Islam dari pelbagai kelompok Islam – atau yang mengatasnamakan dirinya sebagai Islam – di Jawa, satu hal yang pasti kini orang tidak bisa mengabaikan apalagi melecehkan Islam begitu saja. Bahkan kaum liberal sekalipun tidak menyatakan dirinya menolak Islam namun “sekadar” menafsirkan Islam secara berbeda. Ini berbeda dengan situasi di tahun 1960-an ketika para seniman komunis bisa mementaskan ketoprak dengan lakon “Patine Gusti Allah” (Matinya Allah) secara terbuka tanpa merasa perlu menghiraukan kecaman keras kaum santri, apatah lagi takut dibubarkan aparat keamanan atau diserang massa ormas Islam.
Melihat Islamisasi Jawa dari Perspektif Sosio-historis
Membaca buku setebal 576 halaman ini akan mengantarkan kita pada perspektif baru mengenai Islamisasi Jawa di era kontemporer. Dalam buku yang kaya data dan ilustrasi ini kita bisa melihat bahwa pelan namun pasti Islam telah menjadi kekuatan sosial-budaya yang dominan di Jawa. Dengan demikian kita bisa memandang masa depan Islam di Jawa – dan di Indonesia pada umumnya – secara lebih optimistik. Selama ini umat Islam Indonesia sadar atau tidak kerap terjebak dalam apa yang disebut W.F. Wertheim sebagai sindrom “mayoritas dengan mentalitas minoritas”. Meskipun mayoritas namun umat Islam Indonesia sering terjebak dalam paranoia sebagai pihak yang “dikepung musuh dari segala penjuru” sebagaimana yang lazim dirasakan kelompok minoritas. Ini adalah dampak psikologis dari marjinalisasi yang telah berlangsung sejak masa kolonial. Bila kita membaca uraian fakta dan analisis Ricklefs dalam buku ini, paranoia semacam itu dalam konteks kekinian tampak tidak mempunyai dasar yang kuat karena justru umat Islam kini berada pada posisi yang dominan di Indonesia – termasuk di Jawa. Satu hal yang perlu dicatat dalam hal ini yaitu bahwa kekalahan politik Islam tidak berarti surutnya Islam itu sendiri, bahkan sebaliknya. De-politisasi Islam membuat Islam tidak menjadi milik partai tertentu saja sehingga akhirnya Islam dapat diterima berbagai segmen masyarakat tanpa harus menanggung beban politik tertentu.
Kita patut bersyukur bahwa di tengah masih banyaknya kekurangan dan kelemahan dalam dakwah Islam selama ini ternyata dakwah telah mampu menjadikan Islam sebagai kekuatan dominan di Jawa sampai pada tingkat yang membuat seorang Barat sekuler-liberal seperti Ricklefs tampak ketar-ketir. Dalam uraian-uraiannya di buku ini – terutama di bagian penutup – ada kesan Ricklefs menyayangkan semakin kuatnya pengaruh Islam di Jawa dewasa ini. Mungkin dalam benaknyaJawa pernah menjadi semacam “pulau surga” dengan segala eksotismenya sebelum akhirnya “dirusak” oleh kedatangan Islam yang kian hari kian kuat menancapkan pengaruhnya di Jawa.
Pada akhirnya adalah penting bagi umat Islam untuk lebih percaya diri menghadapi tantangan-tantangan ke depan seraya membuang sindrom “mayoritas dengan mentalitas minoritas”. Menghadapi dinamika internal, tugas umat Islam adalah bagaimana umat mengelola dinamika itu dengan benar dan tepat sehingga dapat menguntungkan bagi umat Islam sendiri dan bukan menghasilkan konflik internal di tengah umat. Wallahu a’lam.

Adif Fahrizal

No comments: