Pelajaran dari Bung Karno

Kolom Politik Kompas 20 Juli 2013 memberikan kita banyak inspirasi. Kolom politik edisi 20 Juli itu ditulis oleh James Luhulima dengan judul “Yang Diperlukan adalah Solusi Kreatif”. Luhulima pada tulisan itu mengangkat satu contoh bagaimana Bung Karno pada masanya dapat membuat keputusan yang ujungnya mampu melahirkan kreatifitas anak bangsa.

Tahun 1962 Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games, dan untuk itu diperlukan suplai listrik besar ke Gelanggang Olahraga Senayan dari pembangkit tenaga listrik di Tanjung Priok. Maka tahun 1961 Bung Karno memberikan tenggat waktu pada Prof Dr Ir Sedijatmo sebagai pejabat Perusahaan Listrik Negara membangun menara listrik tegangan tinggi di daerah rawa-rawa Ancol, Jakarta.

Pada tenggat waktu pertama Sedijatmo hanya mampu membangun dua menara listrik dari tujuh yang dibutuhkan. Yang betul-betul melintasi rawa-rawa Ancol sama sekali belum ditemukan solusinya. Bung Karno memberi tenggat waktu lagi. Sedijatmo pun berupaya keras menemukan sistem fondasi yang cocok untuk digunakan di daerah rawa-rawa. Tenggat yang ditentukan sudah semakin dekat, tetapi oret-oretan rumus yang ditorehkan Soedijatmo di atas kertas kerja belum memberikan hasil seperti yang diharapkan.

Disampaikan oleh Luhulima: Sedijatmo kemudian istirahat piknik dengan keluarga ke pantai Cilincing. Ketika melihat pohon kelapa masih tegak walaupun tanah sekitarnya sudah terkikis oleh ombak, Sedijatmoko mendekat karena penasaran. Ia menemukan bahwa akar pohon kelapa tidak menghunjam jauh ke dalam, melainkan merambah menjauh dari sekeliling pangkal batangnya sehingga dapat menahan terpaan angin. Maka lahirlah kemudian fondasi cakar ayam yang mengambil inspirasi dari pohon kelapa itu. Dan, pekerjaan lima menara listrik tegangan tinggi yang tersisa pun dapat diselesaikan.

Apa pelajaran yang bisa kita ambil dari hal di atas?

Pertama adalah faktor pemimpin dalam bersikap, dalam hal ini Bung Karno yang mengambil sikap: percaya pada potensi anak bangsa. Bisa saja ada bagian-bagian dari bangunan menara atau perlengkapan elektrik yang nantinya ditempatkan pada menara itu bukan buatan anak bangsa sendiri, tetapi satu hal: itu dimulai dari keputusan yang mempercayakan sesuatu pada potensi anak bangsa.

Yang kedua masih dari sisi pemimpin. Apa yang dipercayakan pada anak bangsa itu mungkin Bung Karno masih melihat: dapat dikerjakan! Bung Karno tidak meminta untuk dibuatkan satelit atau apalah yang si Bung tahu persis potensi kita waktu itu belum mampu menghadapinya.

Yang ketiga, dari sisi Sedijatmo, anak bangsa. Dengan kepercayaan itu dia pun mendapat tantangan baru. Tantangan yang sekaligus di belakangnya ada sanksi, ada ‘hukuman’ yang melekat, maka ia tidak boleh main-main. Juga sebagai guru besar, ada reputasi yang dipertaruhkan di sini. Tantangan dan pertaruhan inilah yang kemudian mampu mendorong kreatifitasnya. Apakah mungkin sebuah pohon kelapa akan memberikan inpirasi kreatif bagi Sedijatmo jika tidak dalam tantangan (dan pertaruhan) seperti yang didapatkannya saat itu dari Bung Karno? Kita ragu akan itu.

Dari hal di atas, kita seakan dapat mengafirmasi pendapat Arnold J. Toynbee yang mengatakan bahwa peradaban itu berkembang karena adanya tantangan dan respon. Tantangan yang terlalu besar atau pun yang terlalu kecil, tidak akan berdampak positif terhadap peradaban. Atau mengambil contoh di atas, tantangan membuat menara listrik di rawa-rawa, jelas bukannya tantangan yang tidak ‘terpikul’, tetapi jelas juga bukan sesuatu yang ‘remeh-temeh’.

Yang kedua menurut Toynbee, dalam dinamika tantangan dan respon ini, di antara keduanya ada yang disebut dengan ‘minoritas kreatif’. Siapa minoritas kreatif dalam contoh di atas? Tanpa ragu kita bisa menunjuk, Bung Karno dan Sedijatmoko. Tidak salah satunya, tapi kedua-duanya. Yang satu, secara politik, satu lagi secara teknik.

Yang satu mempunyai keberanian dalam membuat keputusan politik, satunya mempunyai potensi kreatifitas teknis. *** (Greg, 20 Juli 2013)

James Luhulima, Yang Diperlukan adalah Solusi Kreatif, Kompas 20 Juli 2013, hlm. 5

Keseluruhan cerita soal Sedijatmo ini diambil dari tulisan James Luhulima

Lihat, Arnold J. Toynbee, A Study of History, Dell Publishing Co Inc., 1971 (cet-3)

Grego S

No comments: