Jejak Mu’allim Samudera Pasai
Lhokseumawe ternyata pernah dihuni para navigator Samudera Pasai. Kawasan maritim ini memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi objek wisata sejarah
AIR mengalir tenang dalam kanal tua itu. Pohon bakau tumbuh subur di kanan kiri. Letak saluran air ini tak jauh dari Jalan Merdeka Barat, jalur masuk ke pusat Kota Lhokseumawe. Terusan yang menyambung dengan Krueng Cunda dan bermuara ke laut itu juga bisa dilihat dari lokasi makam Teungku Lhokseumawe di Gampông Banda Masen, Kecamatan Banda Sakti.
“Kanal Cunda dari Banda Masen, Uteun Bayi sampai Kutablang (Kecamatan Banda Sakti), sebelah utara ataupun timur laut, itu aktif di zaman (Kerajaan) Samudera Pasai. Pada masa itu mungkin kanal ini menjadi jalur yang sering dilewati (kapal) tongkang-tongkang,” ujar peneliti sejarah dan kebudayaan Samudera Pasai, Taqiyuddin Muhammad.
Di atas balai markas Central Information for Samudera Pasai Heritage atau CISAH di Gampông Uteun Bayi, Jumat malam pekan lalu, Taqiyuddin mempresentasikan hasil penelitiannya. Presentasi diprakarsai salah seorang tokoh masyarakat, T. Anwar Haiva, dihadiri Kepala Dinas Perhubungan, Pariwisata, dan Kebudayaan Lhokseumawe Ishaq Rizal, Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Lhokseumawe Ibrahim, dan warga pencinta sejarah.
Hasil penelitian Taqiyuddin, ditemukan bukti konkret ada kehidupan maritim yang kuat pada era Samudera Pasai. Ya, Samudera Pasai adalah pangkalan di jalur sutra bahari. Para sejarawan sering menyebutkan letak geografis Samudera Pasai sangat strategis.
Taqiyuddin meyakini, Samudera Pasai sebagai kerajaan maritim pada masa silam tentu mempunyai armada dagang, armada militer, atau angkatan laut yang menunjukkan kekuatan maritimnya sangat kuat. “Jadi, ini sebenarnya kemaritiman atau kelautan Lhokseumawe yang sangat berpotensi. Saya kira, Kanal Cunda itu bisa diaktifkan kembali, dan jika dipadu dengan hutan mangrove (bakau), tentu akan menjadi daya tarik wisata yang cukup potensial,” ujar Taqiyuddin.
Namun, kata Taqiyuddin, pemerintah harus membatasi bangunan permanen di lintasan kanal. Kalau tidak ada bangunan rangka baja, setiap orang yang melewati jalur masuk ke kawasan pusat Kota Lhokseumawe bisa melihat kanal.
Di sekitar lintasan kanal, Taqiyuddin melanjutkan, ditemukan banyak batu nisan kuno yang menunjukkan kawasan ini dulunya pemukiman Samudera Pasai. Di lokasi ini juga sering ditemukan dirham atau koin emas sebagai alat tukar masa Kerajaan Samudera Pasai.
Hasil identifikasi Taqiyuddin, kawasan inti pemukiman para pelaut era Samudera Pasai berada di Jeulikat dan Blang Weu Baroh, Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe, saat ini. Di kawasan itu ada kompleks pemakaman amat luas, makam-makam yang batu nisannya bersurat. Lokasi ini belum dilestarikan, bahkan menjadi tempat peliharaan ternak warga.
“Di kompleks pemakaman juga ada lambang-lambang yang berkaitan erat dengan kelautan atau ilmu bahari. Ada beberapa kompleks yang dihuni mu’allim-mu’alim atau para pelayar atau navigator. Salah satunya kompleks, makam Mu’allim Ahmad. Di sana ada sekitar 50 batu nisan kuno,” ujar Taqiyuddin.
Di Jeulikat, hasil identifikasi Taqiyuddin ada pula nisan dari makam anak Mu’allim (navigator) Damah. Karena itu, kata dia, ketika muncul pertanyaan di mana letak pemukiman para pelaut kalau benar Samudera Pasai dikenal dengan kemaritiman, Jeulikat-lah jawabannya.
“Kalau sebelumnya kita bertanya, di mana pangkalan laut Samudera Pasai, pangkalan lautnya di Lhokseumawe. Jadi, kalau kita ingin merancang Lhokseumawe sebagai ikon Bandar Samudera Pasai, sah-sah saja karena kita memiliki bukti konkret, termasuk pemakaman abad ke-15 dan abad 16,” ujar Taqiyuddin.
Namun, kata Taqiyuddin, perlu penelitian lebih lanjut dengan melibatkan tim lebih lengkap, termasuk para arkeolog guna memetakan bagaimana sebenarnya Lhokseumawe abad ke-16. Kemudian potensi ini diberdayakan menjadi aset pariwisata yang sangat baik sebagai lokasi wisata sejarah dan religi.
“Karena untuk mengundang investasi luar, kita harus punya sesuatu yang bisa kita tawarkan, yang memiliki nilai jual. Saya kira, ini bisa kita tawarkan karena punya nilai besar; Lhokseumawe sebagai Bandar Samudera Pasai, dengan keberadaan kanal dan pemukiman pelaut,” ujarnya.
Melalui penelitian lanjutan, Taqiyuddin meyakini akan ditemukan lebih banyak informasi dan aset sejarah berupa artefak. Temuan artefak-artefak, kata dia, membuat Lhokseumawe berpotensi membangun museum sejarah dengan spesialisasi museum maritim.
“Kita orang laut, maka kehidupan bahari diangkat kembali. Apalagi ternyata Lhokseumawe pernah dihuni oleh mu’allim-mu’allim (navigator) besar. Selat Malaka tidak mungkin dilalui tanpa navigator karena lantai laut ada yang dangkal, berbukit, dan sebagainya. Para mu’allim itu bermukim di sini,” ujarnya. Taqiyuddin optimis Lhokseumawe akan menjadi pusat perhatian dunia kalau potensi ini diangkat.
Paparan Taqiyuddin membuat Kepala Dinas Perhubungan Lhokseumawe Ishaq Rizal, terharu. “Ternyata kita punya banyak potensi purbakala yang luar biasa, bagi saya pribadi ini sesuatu yang baru. Informasi seperti inilah yang selama ini saya cari-cari,” ujar Ishaq Rizal.
Temuan Taqiyuddin, kata Ishaq Rizal, ibarat “gayung bersambut” dengan program Dinas Perhubungan yang tengah memprioritaskan pengembangan sektor pariwisata, termasuk rencana membangun museum sejarah. Karena itu, Ishaq ingin menjalin “ijab kabul” dengan CISAH guna melanjutkan penelitian. []
“Kanal Cunda dari Banda Masen, Uteun Bayi sampai Kutablang (Kecamatan Banda Sakti), sebelah utara ataupun timur laut, itu aktif di zaman (Kerajaan) Samudera Pasai. Pada masa itu mungkin kanal ini menjadi jalur yang sering dilewati (kapal) tongkang-tongkang,” ujar peneliti sejarah dan kebudayaan Samudera Pasai, Taqiyuddin Muhammad.
Di atas balai markas Central Information for Samudera Pasai Heritage atau CISAH di Gampông Uteun Bayi, Jumat malam pekan lalu, Taqiyuddin mempresentasikan hasil penelitiannya. Presentasi diprakarsai salah seorang tokoh masyarakat, T. Anwar Haiva, dihadiri Kepala Dinas Perhubungan, Pariwisata, dan Kebudayaan Lhokseumawe Ishaq Rizal, Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Lhokseumawe Ibrahim, dan warga pencinta sejarah.
Hasil penelitian Taqiyuddin, ditemukan bukti konkret ada kehidupan maritim yang kuat pada era Samudera Pasai. Ya, Samudera Pasai adalah pangkalan di jalur sutra bahari. Para sejarawan sering menyebutkan letak geografis Samudera Pasai sangat strategis.
Taqiyuddin meyakini, Samudera Pasai sebagai kerajaan maritim pada masa silam tentu mempunyai armada dagang, armada militer, atau angkatan laut yang menunjukkan kekuatan maritimnya sangat kuat. “Jadi, ini sebenarnya kemaritiman atau kelautan Lhokseumawe yang sangat berpotensi. Saya kira, Kanal Cunda itu bisa diaktifkan kembali, dan jika dipadu dengan hutan mangrove (bakau), tentu akan menjadi daya tarik wisata yang cukup potensial,” ujar Taqiyuddin.
Namun, kata Taqiyuddin, pemerintah harus membatasi bangunan permanen di lintasan kanal. Kalau tidak ada bangunan rangka baja, setiap orang yang melewati jalur masuk ke kawasan pusat Kota Lhokseumawe bisa melihat kanal.
Di sekitar lintasan kanal, Taqiyuddin melanjutkan, ditemukan banyak batu nisan kuno yang menunjukkan kawasan ini dulunya pemukiman Samudera Pasai. Di lokasi ini juga sering ditemukan dirham atau koin emas sebagai alat tukar masa Kerajaan Samudera Pasai.
Hasil identifikasi Taqiyuddin, kawasan inti pemukiman para pelaut era Samudera Pasai berada di Jeulikat dan Blang Weu Baroh, Kecamatan Blang Mangat, Lhokseumawe, saat ini. Di kawasan itu ada kompleks pemakaman amat luas, makam-makam yang batu nisannya bersurat. Lokasi ini belum dilestarikan, bahkan menjadi tempat peliharaan ternak warga.
“Di kompleks pemakaman juga ada lambang-lambang yang berkaitan erat dengan kelautan atau ilmu bahari. Ada beberapa kompleks yang dihuni mu’allim-mu’alim atau para pelayar atau navigator. Salah satunya kompleks, makam Mu’allim Ahmad. Di sana ada sekitar 50 batu nisan kuno,” ujar Taqiyuddin.
Di Jeulikat, hasil identifikasi Taqiyuddin ada pula nisan dari makam anak Mu’allim (navigator) Damah. Karena itu, kata dia, ketika muncul pertanyaan di mana letak pemukiman para pelaut kalau benar Samudera Pasai dikenal dengan kemaritiman, Jeulikat-lah jawabannya.
“Kalau sebelumnya kita bertanya, di mana pangkalan laut Samudera Pasai, pangkalan lautnya di Lhokseumawe. Jadi, kalau kita ingin merancang Lhokseumawe sebagai ikon Bandar Samudera Pasai, sah-sah saja karena kita memiliki bukti konkret, termasuk pemakaman abad ke-15 dan abad 16,” ujar Taqiyuddin.
Namun, kata Taqiyuddin, perlu penelitian lebih lanjut dengan melibatkan tim lebih lengkap, termasuk para arkeolog guna memetakan bagaimana sebenarnya Lhokseumawe abad ke-16. Kemudian potensi ini diberdayakan menjadi aset pariwisata yang sangat baik sebagai lokasi wisata sejarah dan religi.
“Karena untuk mengundang investasi luar, kita harus punya sesuatu yang bisa kita tawarkan, yang memiliki nilai jual. Saya kira, ini bisa kita tawarkan karena punya nilai besar; Lhokseumawe sebagai Bandar Samudera Pasai, dengan keberadaan kanal dan pemukiman pelaut,” ujarnya.
Melalui penelitian lanjutan, Taqiyuddin meyakini akan ditemukan lebih banyak informasi dan aset sejarah berupa artefak. Temuan artefak-artefak, kata dia, membuat Lhokseumawe berpotensi membangun museum sejarah dengan spesialisasi museum maritim.
“Kita orang laut, maka kehidupan bahari diangkat kembali. Apalagi ternyata Lhokseumawe pernah dihuni oleh mu’allim-mu’allim (navigator) besar. Selat Malaka tidak mungkin dilalui tanpa navigator karena lantai laut ada yang dangkal, berbukit, dan sebagainya. Para mu’allim itu bermukim di sini,” ujarnya. Taqiyuddin optimis Lhokseumawe akan menjadi pusat perhatian dunia kalau potensi ini diangkat.
Paparan Taqiyuddin membuat Kepala Dinas Perhubungan Lhokseumawe Ishaq Rizal, terharu. “Ternyata kita punya banyak potensi purbakala yang luar biasa, bagi saya pribadi ini sesuatu yang baru. Informasi seperti inilah yang selama ini saya cari-cari,” ujar Ishaq Rizal.
Temuan Taqiyuddin, kata Ishaq Rizal, ibarat “gayung bersambut” dengan program Dinas Perhubungan yang tengah memprioritaskan pengembangan sektor pariwisata, termasuk rencana membangun museum sejarah. Karena itu, Ishaq ingin menjalin “ijab kabul” dengan CISAH guna melanjutkan penelitian. []
No comments:
Post a Comment