Pemberontakan Sutawijaya [6]

Pajang menyerbu Mataram
Pasukan Pengawal terpidana Tumenggung Mayang dari Pajang sudah kocar-kacir, ada yang luka, kemudian semua kembali kearah Pajang.
Semua peristiwa yang terjadi di Desa Jatijajar dilaporkan kepada SultanPajang. “pejah gesang katura Gusti Nata, tiwas rumeksèng dasih pun Tumenggung Mayang, rinebat ing dusun Jatijajar déning tiyang kawandasa cacahipun saking Mataram” (hidup mati hamba kami srahkan kepda Sultan, tawanan ki Tumenggung Mayang , telah direbut oleh 40 tim dari Mataram, ketika kami sampai didesa Jatijajar).
Sultan Pajang ketika mendengar laporan komandan Pasukan, dengan suara keras bersabda: “wis nyata Yen Senapati wis cetha ing pambalikira, Dene wis wani murwa aprang, lah payo padha dilurugi Senapati , kabeh prajurit pada dandana aglis “ (sudah jelas sekarang ini Senapati ing Ngalaga melakukan pembelotan, dan bahkan sudah berani mendahului perang terbuka, Patih, segera kumpulkan para prajurit kita menuju ke bumi Mataram).
Sultan Pajang meninggalkan bale Manguntur, dan masuk ke istana untuk berganti busana prang. Semua piyandel disiapkan untuk menghadapi lawan yang tangguh. Seluruh pasukan tempur pemerintah disiapkan untuk menghantam pasukan Mataram, tim dipimpin langsung oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Ini jarang terjadi seorang raja memimpin perang sendiri, padahal banyak para Panglima muda yang sakti mandraguna. Tetapi pertimbangan Sultan Pajang berbeda, karena yang dihadapi adalah anak angkatnya sendiri, Danang Sutawijaya. Aba-aba pemberangkatan prajurit diiringi kendang, bende yang dipukul bertalu-talu gong maguru perunggu , gaung gong memberi sinyal berkumpulnya para wadyabala. Sultan mengenakan busana kapraboning prang dengan mahkota emas bertatahkan intan berlian. Dengan letusan meriam sekali, sebagai pertanda tim bergerak, suara gemuruh pasukan diiringi tambur dan terompet.
enjing bidhale gumuruh saking/
nagari Pajang kèhe kang bala /
kuswa abra busanane /
lir surya wêdalipun /
saking jalanidhi sajroning /
arsa madhangi jagad /
lagi mungup-mungup /
anèng pucaking aldaka /
bang sumirat kêna sorote hyang rawi /
mega lan arga-arga //
Jika dilihat dari kejauhan keberangkatan wadyabala Pajang itu bagaikan sekar setaman, pasukan berkuda bagian depan mengenakan seragam kuning, di belakangnya pasukan pemanah mengenakan seragam hitam. Pada pasukan bersenjata pedang mengenakan seragam merah, singkat cerita perjalanan prajurit Pajang tidak dikisahkan, tetapi sudah makuwon (berkemah) di perbatasan Mataram, di alas Prambanan.
***
Kita tinggalkan dulu yang sedang membuat perkemahan, di tepis wiring Perdikan Mataram, Senapati ing Ngalaga sebenarnya jauh sebelumnya sudah melakukan baris pendhem di sekitar perbatasan di desa Randhulawang. Pasukan Pajang tidak mengetahui sama sekali bahwa mereka sebenarnya sudah berada di mulut singa.
Ketika matahari sudah melaju ke ufuk barat, di langit merah membara, suara walang conggeret bersahut-sahutan menandakan musim kemarau.
Matahari semakin meredup, tujuh orang andalan Senapati ing Ngalaga memukul bende kyai Bicak, suaranya menggema. Di lereng gunung Merapi bagian selatan terdapat tumpukan rumput kering yang banyak memanjang kearah timur, kemudian tim kuda betina dan jantan dikumpulkan kemudian dicambuk kuda terdepan melompat seketika, suaranya gemuruh.
Bende kyai Bicak dipukul terus suaranya semakin menggaung mengepung seluruh penjuru. Prajurit Pajang melihat kearah selatan ada kebakaran, sementara itu seluruh pasukan merasa telah terkepung oleh pasukan berkuda.
Kemudian Adipati Tuban maju menghadap Sultan Pajang; “dhuh sang Nata, ngajrihi tiyang alit, Yen ngandika sang Prabu terkaning tyas kawula, taksih purun ulun aben prang pupuh kaliyan kakang Senapati, nadyan ngabena kasektèn, lan abdi dalem wadyabala Tuban ulun bekta mapagaken ing ajurit, samya sekti teguh timbul, nyepenga nggih kuwawa, mejahana mring Senapati Mataram, tiyang kawan dasa kelar “ (beliau, situasinya menakutkan pada rakyat kecil, ijinkan beliau memerintahkan kami untuk menghadapi Senapati ing Mataram, hamba masih berani tarung satu lawan satu untuk mengadu kesaktian dan tim hamba dari Tuban cukup 40 orang mampu untuk menghabisi wadyabala Mataram.).
Sultan Pajang yang sudah waskitha ing semu, berkata lirih; “sutèngsun dipati Tuban, aja sira age wani-wani mungsuh Senapati. Iku wruhanira wus teka janji, cahya Nurbuwat wus ngalih, iku kawengku Senapati ing Tanah Jawa sumiwi mbésuk ing Mataram “ (anakku Adipati Tuban, jangan gegabah untuk melawan Senapati ing Ngalaga, ketahuilah bahwa sebenarnya wahyu kedaton sudah pindah, dan kini sudah di kuasai oleh Senapati ing Tanah Jawa kelak akan memimpin Mataram).
Babad Demak II , GPH.Buminoto, 1937
create; Ki Sastra

No comments: