Pemberontakan Sutawijaya [3]
Pembantaian di halaman Kaputren
Di Bale manguntur tinangkil Sultan Hadiwijaya (1548-1583 M) sedang ada pasewakan agung,
hadir para Sentana dan nayakapraja, juga segenap para bupati lengkap.
Materi persidangan pada hari itu memang sangat serius, membahas tentang
Bumi Mataram dan Senapati.
Mentaok yang dijanjikan sebagai hadiah dalam sayembara menumpas kraman
Arya Jipang, yang telah di berikan kepada Pamanahan, meskipun hadiah itu
masih berupa sebuah hutan lebat, namun Pamanahan masih harus
menunggunya selama lima tahun. Dan oleh Pamanahan hutan itu selama tiga
tahun lamanya dirombak menjadi sebuah desa yang ramai dan maju.
Laporan intelijen yang diterima di
sekretariat Kasultanan, bahwa kini Mataram dalam membuat pendapa
menyamai bentuk pendapa kasultanan, bahkan telah membuat baluwerti
lengkap bagaikan sebuah kerajaan besar. Kecuali itu, kini Mataram telah
mempunyai pasukan yang kuat, yang jumlahnya semakin besar, dan tiap hari
mendapatkan latihan-latihan kemiliteran, taktik perang, beladiri, dan
ulah kanuragan lainya.
Sutawijaya yang telah dianugerahi gelar Senapati ing Ngalaga, sudah ada satu tahun lamanya, tidak pernah seba
di kasultanan Pajang. Dan ini menjadikan pemikiran Sultan Hadiwijaya,
dengan penuh tanda tanya. Usul dan saran dari para sentanadalem dan
panglima militer Kasultanan Pajang, bahwa tanda-tanda makar telah
muncul, dan Senapti telah menjadi pemantik api.
***
Dari gerbang Sri Manganti emban Inya berlari menuju ke bale manguntur tinangkil sambil menangis “ ketiwasan gusti! ketiwasan gusti!
“(celaka sinuhun, celaka sinuhun). Kemudian tanpa dipanggil oleh bupati
gandek, emban inya segera memasuki ruang paséwakan, sambil menangis
sehingga membuat keadaan di pasewakan menjadi terganggu.
Sultan Hadiwijaya menegur emban Inya, “ Age matura inya, aja anangis ana jroning pasewakan, matura enggal !”(cepat katakanlah, ada apa sebenarnya, jangan menangis di dalam acara pertemuan ini).
“ Duh Gusti ketiwasan, kula
ingkang rumesèng putra ji, ing kedhaton kalebetan maling aguna, pan
inggih nyidra resmi putra paduka atu Sekar kedhaton, cinidrèng ing
asmara Raden Padbelan kang nami, inggih Tumenggung Mayang kang darbe
siwi. ” (celaka Tuanku, kami yang dipercaya untuk menjaga putra
paduka sang retna ayu Sekar Kedaton, melaporkan bahwa dipuri kaputren
telah kemasukan maling aguna , yang mencuri hati tuanku putri Raden Pabelan putra Tumenggung Mayang).
Sultan Pajang dan bahkan seisi ruangan
itu seperti mendengar suara petir di siang bolong, setelah mendengar
laporan emban Inya, para nayakapraja dan bupati yang hadir bergumam…ooo.
Sultan Hadiwijaya seketika itu tidak
bisa mengendalikan diri, dadanya terasa sesak mengepulkan api amarah
yang tak terhingga, kedua matanya merah mengeluarkan bara api yang akan
melebur semua yang ditatapnya, tangannya mengenggam erat, gigi
gemeretak, bibirnya bergetar menahan luapan amarahnya.
Kemudian memerintahkan wimbasara untuk
mengumpulkan tim khusus sandiyuda. Kemudian wimbasara maju melaporkan
bahwa tim sudah siap dan menunggu perintah.
“ Surakarti lan Wiratanu, pakenira
pandhégani, lumebwèng jroning puri, cekelen maling aguna si Pabelan
anake Tumenggung Mayang, iriden ana ing alun-alun pamagangan, Yen
nyembadani sun paring purbawasésa patènana!” (Surakerti dan
Wiratanu, kalian aku perintahkan untuk masuk kedalam kaputren, tangkap
si maling aguna Pabelan anaknya Tumenggung Mayang, kalau dia melawan
bunuhlah).
Keadaan di Bale manguntur tinangkil semakin resah, acara persidangan pada hari itu belum selesai, dan dibubarkan.
***
Yang ada di kaputren, para emban, cethi semua sudah berikrar untuk ikut mati bersama sang Putri. Sementara itu sang retna sekar Kedaton
memegang erat lengan raden Pabelan, serasa tak mau di pisahkan, mereka
sudah sepakat untuk rela mati bersama demi hasrat cintanya.
Ketika itu lurahing tamtama Kanjeng
Raden Ngabehi Surakarti, yang memimpin tim memasuki puri kaputren dan
segera mengepungnya, ia pun mendesak maju untuk mendobrak pintu
kaputren. Tetapi dari dalam Ratu Mas Murtèngningrum keluar dari ruang
kaputren sudah bergandeng erat, sementara di belakangnya para nyai emban
pengasuh tuan putri sudah siap untuk sabéla pati sabéla mukti.
Melihat kondisi yang seperti itu,
Raden Ngabehi Surakerti mundur beberapa langkah, dan berembug dengan
beberapa pembantunya. Beberapa prajurit yang lain untuk mengepung
melalui pintu lainnya. Kemudian ki Ngabehi Surakarti, masuk lagi ke
dalam puri kaputren dan mendekati Raden Pabelan.
“ anakingsun Pabelan, pun paman
ingkang ngaturi, metua inggal, sira ingsun bisiki, lah ta Raden aja
maras atènira, sun kang nanggung sireki, lamun tekeng pejah pu paman
belanana , njeng Sultan wus pracaya marang mami, wong dosa pejah Yen
ingsun kang ngalingi apan ingsun pinasrahan jroning pura, marang Gusti
Aji tuwin ramanira kakang Tumenggung Mayang. Manira wineling kalamun sira ana sajroning puri
!”(anakku Raden Pabelan, ini paman yang memintamu, keluarlah anakk kau
uberitahu, jangan engkau merasa takut dan was-was, aku yang akan
menjaminmu, kalaupun sampai mati maka pamanlah yang akan membelamu,
karena aku telah diberi wewenang oleh Raja, dan ia menyerahkan segala
sesuatu padaku, termasuk ayahamu, aku diberitahu bahwa kau memang ada di
dalam puri kaputren).
Pada saat itu Raden Pabelan sudah
dicegah oleh sang putri tidak perlu keluar, kecuali ayahnya sendiri yang
datang, tetapi Raden Pabelan memang hatinya lemah, mudah percaya pada
orang lain, sehingga sikap kewaspadaannya pun berkurang. Ia beranggapan
seperti dirinya, orang lain harus baik seperti apa yang dikatakannya.
Karena itu Raden Pabelan keluar dari bangsal kaputren; “ kawula arsa mijil paman, kang nanggel kula Gusti, pan punika wineling dhateng pun kanjengrama, katur Sri Bupati
“Aku akan keluar, paman yang menjamin keselamatanku, dan Gusti ayu
sudah menjamin kami berdua, kanjeng Rama juga sudah tahu, dan telah
disampaikan kepada kanjeng Sultan).
Sang putri kemudian melepaskan
pegangannya, jantungnya semakin berdebar keras, hatinya menjadi semakin
gundah, beberapa pintu puri kaputren terbuka, menyembul beberapa orang
prajurit pengawal dalam, dengan senjata lengkap. Ngabehi Wiratanu
menyuruh emban pangasuh untuk membawa tuan putri masuk dalam kedaton.
Sementara itu pintu keluar sudah terjaga rapat. Pasukan anti teror semakin merangseg maju mengepung Raden Pabelan.
Raden Pabelan mendatangi Ngabehi
Surakarti dan menghaturkan sembah pada Raden Ngabehi Surakarti, ketika
sedang berjongkok membalas penghormatan raden Pabelan, melesat dari
kanan dan kiri dua prajurit sandiyuda yang sudah memegang keris,
serentak keduanya menghunjamkan senjata kelambung kanan dan kirinya
raden Pabelan, yang diikuti oleh tiga puluh pasukan anti teror
menghunjamkan senjatanya ke tubuh raden Pabelan, putra Tumenggung Mayang
itu pun mengaduh, dan tewas seketika. Darah menyembur dari tubuhnya
dan membasahi halaman kaputren Pajang sebagai tumbal.
Pada saat itu secara bertubi-tubi
pasukan yang turut mengepung kaputrèn juga serentak massal menghunjamkan
senjatanya ke tubuh Raden Pabelan. Tubuhnya terkapar di tanah bersimbah
darah, mulutnya tersungging senyum kepuasan. Seluruh tubuhnya berlobang
karena tusukan pedang dan keris.
Kemudian tubuh yang tak bernyawa itu
diseret di buang di kali Laweyan. Setelah para prajurit dan Sentana
meninggalkan kali Laweyan. Tumengung Mayang dan isterinya, juga hadir
disitu, karena setelah pasewakan bubar, kecemasan Tumenggung Mayang
sudah dapat memperkiran apa yang akan terjadi.
Kemudian menyuruh beberapa orangnya
untuk mengambil jenasah anaknya, dan agar di kebumikan dengan baik .
Sementara itu Tumenggung Mayang dalam hatinya merasa terharu dan
menyesal atas perlakuannya pada putranya sendiri, menjerumuskan pada
jalan kematian.
Betapa pun orang tua terhadap anak; tega larané ora tega patiné . ooo ooooo surem surem diwangkara kingkin lwir manguswa kang layon …
***
Sumber: Babad Demak, Babad Mangir
create: ki Sastra
Sastra Diguna
No comments:
Post a Comment